Terpaksa Menerima Perjodohan
Seragam sekolah SMA Trisakti sudah terpasang lengkap di tubuh Tiara. Sekolah elit dengan popularitas yang tinggi di kalangan orang-orang kaya kini akan menjadi sekolah barunya. Kemeja putih lengan pendek, dasi hitam melingkar di leher, serta rok hitam dengan panjang di atas lutut membuat Tiara terlihat seksi dengan penampilannya. Seragam sekolah dengan style yang jauh berbeda dengan seragam sekolah di kampung halamannya.
"Apa seperti ini gaya hidup di kota? Kalau saja bukan seragam sekolah aku tidak akan mengenakan nya."
Tiara menghela nafas, menyisir rambut panjangnya sambil melihat pantulan badannya di cermin. Gadis desa yang belum terbiasa dengan hiruk pikuk kehidupan di kota merasa tabu dengan yang di rasakan nya sekarang.
Merasa tidak nyaman melihat pantulan penampilan nya sendiri yang harus mengekspos kaki mulusnya karena menggunakan rok pendek.
"Dari pada tidak nyaman, lebih baik aku mengenakan ini saja."
Tiara kembali bergumam dengan senyuman manisnya, otaknya mulai berputar, seingatnya tidak ada larangan mengenakan stocking kan? Gadis polos itupun bergegas menggunakan stoking hitam untuk menutupi kulit putih kakinya, meraih tas sekolahnya dan bergegas turun untuk sarapan bersama Paman, Bibi dan juga sepupunya.
Di meja makan. Ayah, Ibu dan putrinya sudah terlihat duduk bersama.
"Bagaimana sekolah mu, Sha? Hari ini adalah hari pertama Tiara masuk sekolah. Kalian juga akan di satu kelas yang sama. Ayah harap kamu bisa membantunya beradaptasi di sekolah."
Arya, laki-laki paruh baya yang merupakan paman Tiara mulai berbicara pada putri semata wayangnya. Shasa, itulah namanya. Sepupu Tiara yang seumuran dengan nya.
"Baik, Yah."
Shasa menjawab singkat. Suara dari
bibir mungkin terdengar baik baik saja, tapi tidak dengan hatinya. Tangannya sudah mengepal meremas ujung rok seragamnya. Hatinya kesal, kenapa Ayahnya selalu saja memperhatikan Tiara. Lagi, lagi dan lagi. Bahkan dia sampai muak karena terlalu sering mendengar kata Tiara yang keluar dari mulut Ayahnya.
"Dan lagi. Apa kamu sudah mempertimbangkan permintaan Ayah minggu lalu?"
Arya kembali bertanya. Inilah pokok permasalahannya. Percakapan tempo lalu kini harus segera di selesaikan.
Permintaan Arya agar Shasa bisa menerima perjodohan harus mendapatkan kepastian.
Keadaan di meja makan terlihat semakin tegang dengan apa yang mereka bicarakan. Suasana yang baru baru ini terjadi, adanya sebuah masalah bertepatan dengan kehadiran Tiara di keluarga mereka, membuat hubungan di antara Ayah dan putrinya itu sedikit meregang karena semuanya.
"Sudah ku bilang aku tidak mau, Yah. Mau di pertimbangkan seperti apapun jawaban ku tak tetap sama. Tidak mau."
Shasa menolak dengan begitu tegas.
Bahkan intonasinya begitu tinggi dengan penuh amarah. Masih kesal karena masalah Tiara, kini sang Ayah malah membahas perjodohan yang sama sekali tidak dia inginkan.
"Sha, jangan seperti itu sayang! Ini juga demi kebaikan mu dan kebaikan kita semua."
Widia menimpali, wanita paruh baya yang merupakan Ibu Shasa dan adik ipar dari Ayahnya Tiara berusaha melerai ketegangan di antara suami dan putrinya itu.
"Hah. Kebaikan ku?"
Shasa menyeringai, sambil menekuk kan kepalanya. Mengulang kembali perkataan sang Ibu. Seolah perkataan itu hanyalah sebuah lelucon yang membuat nya bergidik jijik saat mendengarnya.
"Aku tidak akan pernah mau. Wanita mana yang mau di jodohkan dengan laki-laki yang tidak jelas. Sakit-sakitan, tidak tahu rupanya seperti apa. Sekalipun dia anak orang kaya aku tidak mau."
Shasa menegaskan penolakannya. Bukan tanpa alasan dia menolak keras perjodohan dengan putra dari sang CEO perusahaan Ayahnya bekerja. Sekalipun mereka keluarga ternama dengan kekayaannya yang tidak terhitung entah di mana saja. Tapi rumor sudah beredar cukup luas, bahwa putra CEO tersebut memiliki kelainan fisik dan mudah sakit-sakitan. Makanya sampai sekarang identitas nya selalu di sembunyikan. Bahkan orang-orang kantor pun tidak tahu seperti apa rupa sang Tuan muda mereka. Hingga mereka semua membuat rumor bahwa sang putra CEO pasti laki-laki yang buruk rupa dan punya kelainan.
"Shasa!"
Arya marah. Tidak sepantasnya putrinya itu sampai menghina putra dari atasannya.
"Kenapa? Apa Ayah berpihak pada laki-laki itu dan lebih mengasihaninya dari pada putri Ayah sendiri?"
Iya, hanya itu pembelaan Shasa. Sekalipun Ayahnya akan marah. Dia masih punya alasan untuk tetap berdiri teguh dalam keputusan nya.
"Sha, putra Pak Kenan tidak seburuk yang orang rumorkan."
Arya pun tidak kalah memberikan alasan.
Walaupun dia belum tahu seperti apa laki-laki yang akan di jodohkan dengan putrinya, tapi dia percaya kalau putra Pak Kenan adalah anak baik seperti sosok Pak Kenan sendiri yang menjadi panutan banyak orang.
"Jika masih ingin melanjutkan perjodohan ini kenapa Ayah tidak menjodohkan nya dengan Tiara. Bukunya Tiara juga bagian dari anggota keluarga kita sekarang. Jodohkan saja dengannya. Agar gadis kampung itu tidak hanya menjadi benalu di keluarga ini."
Shasa bicara dengan begitu tegas dengan penuh penekanan. Bagai sebuah angin segar. Ternyata ada manfaatnya juga Tiara hadir di keluarga mereka. Gadis desa itu bisa menjadi tumbal untuk menyelamatkan nya.
"Anak pintar."
Widia ikut tersenyum. Sebenarnya dia juga menyesalkan jika Shasa benar benar akan di jodohkan dengan laki-laki yang tidak sesuai dengan kriteria yang di inginkan putrinya. Tapi dia tidak mungkin juga melepaskan kesempatan emas ini dan tidak terpikirkan pula kalau Tiara bisa menggantikan posisi putrinya. Dengan adanya ide ini, kini dia bisa bernafas lega.
"Tidak bisa, Sha."
Baru saja Arya mau menyangkal perkataan Shasa. Putrinya itu malah beranjak dari meja makan dan meninggalkan sarapannya.
"Maaf, Yah. Bu. Shasa harus segera berangkat sekolah. Ada buku di perpustakaan yang harus aku ambil sebelum masuk kelas."
Shasa sudah tidak mau lagi meladeni perkataan Ayahnya. Tidak mempedulikan lagi perkataan Arya. Melangkah pergi keluar dan memanggil sopir yang akan mengantarkan nya ke sekolah.
"Sha. Shasa!"
Arya berusaha memanggilnya, namun percuma tidak ada jawaban dari putrinya.
"Setidaknya habiskan dulu sarapan mu, Nak."
Punggung Shasa mulai menghilang dari pelupuk matanya. Arya hanya bisa menghela nafas panjang. Bagaimana pun Shasa adalah putrinya, ia pun ingin putrinya itu hidup bahagia dengan jalan yang di pilihnya.
"Harus menjawab apa kalau nanti Pak Kenan membicarakan perihal ini lagi?"
Pikiran nya buntu. Akal logikanya mulai merespon perkataan Shasa. Pak Kenan tidak meminta dengan siapa putranya akan di jodohkan. Dia hanya meminta keluarga mereka bisa lebih dekat dengan sebuah ikatan.
"Apa mungkin aku harus menjodohkan nya dengan Tiara saja."
Hatinya mulai terhanyut oleh perkataan Shasa. Tapi tidak mungkin juga melibatkan Tiara yang baru saja satu minggu bergabung dan hadir di keluarga nya.
"Mas, perkataan Shasa benar. Tiara bisa menggantikan nya untuk melanjutkan perjodohan ini."
Tangan Widia bergerak menggenggam tangan suaminya. Berusaha meyakinkan Arya kalau cara itu lebih baik dari pada mengorbankan putrinya sendiri.
"Bu..."
Arya ingin menyangkal, akal sehatnya masih memiliki rasa iba pada Tiara yang baru saja merasakan duka. Tidak mungkin dia di libatkan dengan permasalahan keluarganya.
"Pagi Paman, Bibi."
Belum Arya bicara panjang lebar. Suara lembut Tiara terdengar di antara mereka. Entah gadis itu sudah berapa lama berada di sana. Arya hanya bisa berharap Tiara tidak mendengar percakapan mereka.
"Tiara! Pagi, Nak. Ayo sini duduk, kita sarapan bersama!"
Perasaan Arya sudah gelisah, rasa gugup bercampur aduk dengan senyuman nya, berusaha terlihat baik baik saja untuk menutupi semuanya.
"Terima kasih, Paman."
Tiara tersenyum menganggukkan kepala menyapa kedua orang tua paruh baya itu. Walau masih canggung dengan keadaan nya yang tiba-tiba hadir di keluarga Arya, dia akan berusaha patuh dan sadar diri agar tidak jadi benalu untuk keluarga pamannya.
"Shasa di mana, paman?"
Tiara mulai duduk. Melihat kursi kosong di sampingnya yang biasa menjadi tempat duduk Shasa.
"Akh, syukurlah. Sepertinya Tiara tidak mendengar percakapan kita."
Hati Arya mulai sedikit lega. Sepertinya gadis yang duduk di depannya itu tidak mendengar apa yang mereka debat kan. Tidak tahu alasan putrinya sampai meninggalkan sarapannya.
"Dia anak yang rajin. Jadi dia harus secepat mungkin sampai di sekolah."
Dengan ketusnya Widia yang menjawab. Menggerakkan bola matanya seolah menegaskan kalau Tiara harus tahu diri dan seperti apa posisinya di sini.
"Maaf, Mas. Aku duluan, sepertinya aku mendadak jadi kenyang."
Widia bangkit, bergegas pergi meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan sarapan.
"Nek, apa sebenarnya yang Nenek inginkan saat menyuruh aku tinggal di sini. Jika Nenek mengharapkan kebahagiaan, sepertinya aku akan lebih bahagia jika aku tetap hidup di desa."
Tiara hanya bisa menahan sesak di dada. Dia bukan gadis bodoh yang tidak mengerti dengan keadaan. Dia hanya tidak tahu apa yang harus dia lakukan agar tidak melakukan kesalahan dan menjadi beban.
"Tiara, maafkan paman, Nak."
Hanya itu yang keluar dari bibir Arya.
Dia bisa melihat dengan jelas raut wajah Tiara yang melemas saat sang istri meninggalkan mereka. Bak pukulan keras bagi gadis remaja yang kini hanya hidup sebatang kara.
"Kenapa Paman minat maaf, seharusnya aku yang minta maaf. Maaf karena sudah hadir di keluarga paman dan malah menjadi benalu di sini."
Pikiran Tiara sesaat membeku. Haruskah dia terus tinggal di sini? Dia benar benar malu melihat dirinya sendiri.
Iya, bukan hanya menampungnya di rumah ini. Arya juga sudah merogoh kocek yang cukup besar untuk mendaftarkan Tiara di sekolah yang sama dengan putrinya. Memenuhi segala kebutuhannya, bak sang Ayah yang akan melakukan apapun yang terbaik untuk putrinya. Tapi balasan dia apa. Dia hanya menjadi benalu yang merusak kerukunan keluarga mereka.
"Jangan bicara seperti itu, Tiara. Paman sudah menganggap mu seperti putri paman sendiri. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Cepat habiskan sarapan mu. Biar paman yang mengantarkan mu ke sekolah."
Arya berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak enak dengan sikap sang istri dan putrinya yang belum juga menerima kehadiran Tiara. Tapi tidak mampu untuk menegur keras mereka. Dia hanya butuh waktu, mungkin istri dan putrinya lambat laun bisa menerima Tiara dan bisa hidup rukun bersama-sama.
"Paman, jika ada yang bisa aku lakukan. Paman jangan sungkan untuk meminta bantuan ku."
Tiara tersenyum. Dia harus terlihat ceria. Dia akan berusaha meringankan beban Arya. Apapun itu. Sungguh dia tidak ingin jadi benalu untuk keluarga mereka.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
FuryaRa Mawa
ceritanya seru 👏👏👏
2022-11-09
0
Exha Aer
🥰🥰
2022-11-04
0
nuhes
.
2022-08-27
0