Siang itu bersama Bisma, sejenak Kanaya bisa melupakan perihal kelamnya hidupnya. Setidaknya siang itu, dia bisa tertawa, dia bisa mengobrol dengan orang lain, dan ada orang yang mau mendengarkannya.
“Aku tidak mengira kamu memiliki ‘sense of humor’ Nay ….” ucap Darren sembari menggeleng-gelengkan kepalanya lantaran tertawa.
Sontak Kanaya pun tertawa dengan kikuk. Memang benar selama SMA dulu, Kanaya memang pribadi yang tertutup dan jarang terlibat obrolan dengan teman sekelasnya. Maka dari itu, mendengar Kanaya yang bisa menciptakan selera humor sederhana, rasanya itu hal yang tidak pernah Bisma ketahui.
“Aku hanya spontanitas saja, Dok … lagipula, entah kenapa saat terpikirkan tentang cita-cita, seorang anak kecil pun pasti akan berkata dia ingin menjadi Dokter saat besar nanti.” jawab Kanaya sembari tersenyum.
“Sudah terpatri dalam pola didik dan pola pengasuhan orang tua di negeri kita ya kalau besok gede anaknya diharapkan bisa menjadi Dokter. Padahal semua profesi itu mulia kok. Tinggal bagaimana kita menjalaninya dan dalam pekerjaan dan profesi kita itu adalah wujud ibadah kita.” ucap Bisma dengan sungguh-sungguh.
Terlihat sependapat dengan Bisma, Kanaya pun menganggukkan kepalanya. “Aku setuju dengan ucapanmu. Dalam profesi dan pekerjaan itu adalah wujud ibadah kita, karena itu kita harus bekerja sungguh-sungguh, jangan lupa dalam sebagian rezeki yang kita miliki, Allah titipkan rezeki untuk orang lain. Berbagi untuk mereka yang tidak mampu.” ucap Kanaya dengan serius.
Satu kalimat yang Kanaya ucapkan rupanya begitu berkesan untuk Bisma, dia sungguh-sungguh tidak menyangka bahwa teman SMA nya itu ternyata memiliki wawasan yang luas dan juga ingat bahwa dalam rezeki kita terselip juga rezeki untuk orang lain. Sungguh pengamalan dari ibadah yang begitu mulia.
Setelah cukup lama mengobrol dan menghabiskan minuman yang mereka pesan, Kanaya pun berniat pamit, dia perlu mawas diri karena meninggalkan apartemen tanpa pamit. Berjaga-jaga kalau singa pemilik kandang mengamuk kepadanya.
“Baik Dokter, aku pamit dulu. Terima kasih banyak.” ucap Kanaya yang memilih pamit.
“Iya … hati-hati Nay, senang bertemu denganmu.” balas Dokter Bisma sembari menjabat tangan Kanaya.
Pertemuan yang terasa begitu formal. Belasan tahun berlalu, sepasang teman dari masa putih abu-abu itu terasa kikuk dan kini justru keduanya bertemu sebagai Dokter dan pasien. Kanaya kemudian memilih mengendarai taksi dari depan Coffee shop itu dan bertolak ke apartemen Darren.
Perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu 15 menit, dan Kanaya layaknya seorang pencuri, dia mengendap-endap memasuki apartemen Darren. Sayangnya, keberuntungan tidak memayungi Kanaya saat ini. Baru saja dia memasuki pintu apartemen, tampak Darren dengan wajahnya yang kusut duduk di kitchen island.
“Darimana saja kau Kalkun?” sapa pria itu dengan rahangnya yang mengeras dan tampak kemarahan menyelimuti wajahnya.
Kanaya menghela napasnya. Dia tidak menyangka baru saja sampai di dalam apartemen sudah harus menghadapi amukan singa yang lapar. Maka Kanaya memilih diam. Menghadapi kemarahan seorang Darren dengan memilih diam.
“Jawab! Kamu dari mana?” teriak Darren terasa memekik hingga menggetarkan gendang telinga Kanaya.
“Dari Rumah Sakit.” jawab Kanaya perlahan.
“Jangan sekali-kali kamu berbohong ya!” ucap Darren dengan berteriak.
Sungguh Kanaya begitu ketakutan saat ini, sebelumnya dia tidak pernah mendapat teriakan dari orang lain termasuk dari Ayahnya sendiri. Sementara kini dia harus menghadapi suami yang justru begitu mudahnya emosi dan meneriakinya sesuka hati. Jika bisa memilih, sudah pasti Kanaya tidak ingin berada dalam situasi seperti.
“Kamu boleh cek langsung ke Rumah Sakitnya kapan dan karena apa aku dirawat. Jangan menuduh orang lain berbohong, jika kamu sendiri adalah pembohong besar itu sendiri.” ucap Kanaya dengan memincingkan matanya.
Perlahan Darren bergerak dan turun dari kursi yang saat ini dia duduki di kitchen island, kemudian dia berjalan mendekati Kanaya. Mengerjap, gadis itu sontak mundur beberapa langkah ke belakang hingga kini punggungnya terantuk pada pintu apartemennya.
“Berani-beraninya kamu melawan aku. Ha? Apakah seperti ini sikap seorang istri kepada suaminya? Aku tanya sekali lagi, kamu darimana?” tanya Darren dengan raut wajah yang begitu menegangkan.
Kanaya berusaha membesarkan hatinya sendiri. Jujur, dia sangat ketakutan, tetapi di hadapan singa seperti Darren, Kanaya tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya. Dia harus kuat, walaupun sesungguhnya dia sangat rapuh.
Kanaya mengangkat tangannya ke atas, memperlihatkan bekas jarum infus yang sebelumnya tertanam di tangannya. “Lihat ini, apa ini sudah bisa menjadi bukti nyata jika aku memang dari Rumah Sakit? Oh, ya … tolong bilang kepada wanita ****** yang menemuimu kemarin, jika mencampurkan obat pencahar ke dalam makananku tidak perlu sembunyi-sembunyi. Lakukan di depan mataku, karena aku akan langsung membalas dengan melemparkan racun tikus ke wajahnya.” ucap Kanaya dengan penuh emosi.
Memberanikan diri, Kanaya berjalan melewati Darren begitu saja kemudian berusaha melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamarnya.
Satu fakta baru yang Darren ketahui bahwa Sandra telah mencampurkan obat pencahar ke dalam makanan Kanaya hingga membuat gadis itu berakhir di atas ranjang kesakitan di Rumah Sakit. Kendati demikian, Darren meyakinkan dirinya sendiri bahwa Sandra tidak akan mungkin mencampurkan obat pencahar ke dalam makanan Kanaya. Di mata Darren, Sandra adalah wanita baik-baik yang tidak akan pernah melakukan tindakan licik.
“Jangan coba-coba berbicara tanpa bukti. Apa buktinya?” tanya Darren dan sekaligus pertanyaan itu menghenti langkah kaki Kanaya yang hendak memasuki kamarnya.
Kanaya menghela napasnya dengan kasar. “Bukankah teknologi sekarang sudah sangat maju? Kenapa kamu tidak mengecek rekaman CCTV. Lihatlah di sana, temukan sendiri kebenarannya siapa yang sudah berusaha mencelakaiku. Apakah seorang wanita baik-baik akan berusaha menemui pria yang kini statusnya sudah menjadi suami orang lain? Apakah seorang wanita baik-baik akan bertindak licik dan dengan sembunyi-sembunyi mencelakai orang lain? Kita tidak perlu lagi melakukan perang gerilya. Kalau ingin balas dendam, lakukan secara terang-terangan. Hanya orang munafik yang melempar batu dengan sembunyi tangan.”
Tercekat. Seakan lidah Darren terasa kelu, pria itu merasa tidak bisa lagi menjawab ucapan Kanaya. Mungkin saja yang Kanaya ucapan benar adanya, melakukan tindakan secara sembunyi-sembunyi adalah orang yang munafik. Akan tetapi, sekali lagi Darren ingin mengenyahkan fakta bahwa tidak mungkin seorang Sandra bertindak seperti itu.
Merasa tidak ada sahutan dari Darren, Kanaya lantas membalik kembali badannya dan berjalan menuju kamarnya. Membiarkan Darren termangu berdiri di depan pintu.
Sepeninggal Kanaya, Darren berteriak. Terdengar suara benda yang dia lempar ke lantai. Pria itu menyalurkan emosinya dengan melempar sebuah benda. Suara lemparan itu begitu membuat Kanaya ketakutan, di dalam kamarnya gadis itu mulai berlinangan air mata.
Sungguh, bukan maksud hatinya untuk membangkang terhadap suaminya sendiri. Namun, jika bukan Kanaya yang membela dirinya sendiri, siapa yang akan membelanya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 295 Episodes
Comments
andi hastutty
hebat Kanaya good 😘😘😘😘👍
2023-07-28
1
Nur Inuhan
aku suka perempuan yg tegas
2023-05-29
1
Mila Puspasari
bagus, perempuan yg berprinsip,sy sendiri gak pny keberanian seperti itu👍lanjut Thor..
2023-04-12
0