Saat pantulan cahaya mentari mulai menerpa masuk melalui cela cela tirai jendela. Wulan bangkit dari pembaringannya. Ia menatap Pria yang sedang terlelap di atas ranjang yang kini terlihat berantakan. Dengan suara ngorok yang tak beraturan.
Ia bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga menuju kamar sang kakek. Di jam jam seperti itu, kakek Hendy pasti sudah bangun.
“Kakek.”
Tok tok tok.
“Kakek sudah bangun?” tanya nya.
Kakek membuka pintu. “Ada apa pagi pagi begini sudah bangun? Kenapa nggak tidur lagi lebih lama? Kamu pasti butuh istirahat lebih,” ujar sang kakek.
“Wulan sudah terbiasa bangun pagi, mau se capek apa pun pasti bangun pagi. Kakek kan tau sendiri,” ujar Wulan.
“Haha, tapi di sini bukan di kampung, nggak ada yang bisa kamu lakukan saat pagi seperti ini,” ujar kakek.
“Wulan akan buatkan kopi untuk kakek, dan masak makanan kesukaan kakek.” ucap Wulan bersemangat.
“Ya sudah sana, kakek akan keliling keling dulu,” ujar kakek Hendy.
“Awas nyasar kek, disini bukan di kampung,” canda Wulan.
“Nyasar di halaman rumah? Kamu pikir kakek sudah terlalu pikun haha,” jawab sang kakek gembira.
Saat itu Wulan langsung menuju ke dapur. Bi Narsih bersama seorang pelayan wanita tua lainnya sedang memotong motong wortel dan mengupas kentang.
“Pagi bi,” sapa Wulan ramah.
“Pagi nyonya, ada yang bisa bi Narsih bantu Nyah?” tanya bi Narsih seketika, jika saja nyonya rumah nya itu butuh sesuatu.
“Bi justru saya yang ingin tanya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Wulan.
“Maksud nyonya mau bantu pekerjaan kami? Kalau itu nggak usah Nyah, kami bisa sendiri. Lagian kami hanya sedang mempersiapkan bahan untuk makan siang nanti. Pagi ini nyonya Wulan dan tuan akan sungkeman ke rumah mertua pukul sembilan pagi,” ujar bi Narsih mengingatkan.
“Loh bukannya pas jam makan siang?” tanya Wulan.
“Pagi ini Nyah, karena kedua orang tua Tuan Brian akan ke Belgia sore nanti. Jadi sungkeman di majukan pagi ini Nyah,” ujar Wulan.
Wulan berjalan mengitari dapur luas itu mencari teh, gula, dan kopi.
“Nyonya cari apa?” tanya bi Narsih.
“Tempat kopi di mana bi?” tanya nya.
“Itu Nyah,” bi Narsih menujuk sebuah mesin coffee maker di atas nakas.
“Mana?” tanya Wulan masih mencari di arah yang di tunjuk bi Narsih.
“Ini Nyah. Mau bibi buat kan?” tanya bi Narsih.
“Boleh bi, tiga sendok kopi dan setengah sendok gula,” ucap Wulan.
“Kalau gitu, bibi buatkan manual ya,” ucap bi Narsih.
Ia mulai membuat kopi seperti takaran yang di ucapkan Wulan barusan. Wulan terus memperhatikan mesin kopi itu, yang menurutnya agak ribet dan lama.
“Bi buatkan satu lagi,” pinta Wulan karena aroma yang keluar tercium sangat harum di hidungnya.
“Yang normal ya Nyah atau takaran yang sama seperti tadi?”
“Normal aja bi, agak manis juga boleh,” ucap Wulan.
Bi Narsih mulai menyeduh kopi seperti yang di inginkan Wulan.
“Ini Nyah.”
“Makasih bi.”
Wulan membawa dua gelas kopi itu ke teras samping rumah dimana terdapat sebuah meja dan kursi menghadap ke arah taman. Ia berkeliling beberapa putaran di halaman kaya itu mencari sang kakek.
“Kakek,” panggilnya.
“Kek. Jangan jauh jauh kek,” lanjut Wulan.
Kakek Hendy berdiri dari balik bunga bersama seorang pekerja.
“Wulan, coba sini lihat. Pak Mun ini sangat ahli. Dia lah yang mengurus taman di sini,” ujar kakek Hendy antusias.
“Oh ya?”
Wulan melangkah mendekati kakek dan si tukang kebun. Di tempat kakek dan pak Mun berdiri, berbagai macam bunga yang di stek cangkok tumbuh dengan indah. Bermacam macam warna dan bentuk.
“Nyonya Wulan, suka bunga juga?” tanya pak Mun.
“Haha, jangan di tanya. Halaman rumah kami di kampung isinya bunga semua,” jawab kakek Hendy senang.
“Wah pak Mun ternyata sangat ahli,” puji Wulan sembari memegang tangkai Kamboja yang telah berbunga lebat.
“Nanti saya belajar sama pak Mun gimana caranya stek ya?” tanya Wulan.
“Boleh Nyah, setiap pagi jika nyonya mau nyonya bisa praktek langsung di sini,” ujar pak Mun sopan.
“Baiklah pak Mun. Oh ya pak Mun, saya ijin mau bawa kakek saya.” Pamit Wulan.
“Oh Silahkan Nyah,”
“Kek ayo, Wulan sudah siap kan kopi untuk kakek di teras samping,” ujar Wulan.
Sementara Wulan dan sang kakek menikmati secangkir kopi mereka, sebuah suara terdengar dari dalam rumah.
“Bi Narsih?” teriak kencang seorang pria yang tak lain adalah Brian.
“Ya tuan,” jawab bi Narsih samar.
“Mana wanita itu, suruh dia ke sini siapkan pakaianku sekarang,” ucap Brian penuh tekanan.
“Tapi tuan, baju tuan sudah bibi siap kan di dalam ruangan pakaian tuan. Beberapa pasang sudah bibi setrika rapih di sana. Bisa tuan pilih sendiri yang ingin tuan pakai,” ucap Bi Narsih.
“Aku mau wanita itu yang melayani ku,” bentak Brian.
“Masuk lah Wulan, suami kamu membutuhkan kamu,” ucap kakek Hendi lembut.
“Wulan masuk dulu kek, nanti kakek langsung siap siap ya kita akan ke rumah mertua Wulan.”
“Iya iya. Kakek juga akan mandi sekarang,” jawab sang kakek.
Wulan meninggalkan kakeknya menuju lantai dua dimana Brian berada.
“Pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya Wulan seraya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap wajah Brian. Ditambah saat itu Brian hanya mengenakan handuk yang menutupi separuh badan nya.
Brian menatap risih terhadap penampilan Wulan.
“Apa yang kamu pakai itu? Bahkan bi Narsih tidak mengenakan pakaian yang seperti itu. Cepat lepaskan pakaian buruk itu, pakaian mu lebih buruk daripada kain pel lantai di rumah ini!” Bentak Brian.
Wulan meremas daster biru yang di kenakan nya. “Baik Mas, akan saya ganti sekarang,” sambil berlalu di samping Brian.
Tiba tiba tangan kokoh Brian menarik lengan Wulan dengan kasar. Tangan kanannya langsung mengerat pada rahang Wulan. “Mas? Mas katamu? Cuiihhh.” Diikuti gerakan seolah sedang meludah ke kiri. “Mulut kampungan mu tidak layak menyebut ku seperti itu!” Tutur kasar Brian penuh amarah.
Ia menarik wajah Wulan mendekat hingga hanya mengikis jarak beberapa centi meter dari wajahnya. “Panggil aku tuan Brian. Tentu saja kamu harus memanggilku My Love saat berada di hadapan kedua orang tua ku nanti,” ucap Brian kemudian mendorong wajah Wulan dengan kasar.
“Ehm,” dehem seorang pria dari arah tangga.
“Sudah selesai? Aku datang ke sini bukan untuk menonton drama kalian. Tolong tanda tangani berkas ini,” ucap pria itu tegas.
“Mana Farel? Kenapa bukan dia yang datang ke sini?” tanya Brian lantang.
“Mulai saat ini aku adalah akuntan perusahan yang akan memantau langsung management perusahan atas kesepakatan kedua orang tua kita,” jelas Pria yang tak lain adalah sepupu Brian bernama Arkan.
Sementara tak jauh dari keberadaan kedua pria itu, Wulan mundur perlahan kemudian pergi dari situ. Mata Arkan sesaat tertuju pada Wulan yang kemudian menghilang di balik pintu.
“Arkan, sejak kapan kamu peduli dengan perusahan? Kenapa kamu tidak urus saja pabrik mu itu? Saat ini perusahan sudah menjadi milik ku. Kamu tidak memiliki wewenang apa pun di dalam perusahan. Dan jangan sekali kali kamu mencoba mencampuri urusan perusahan!” ucap Brian dengan nada berat dan rendah.
“Ini adalah keputusan kedua orang tua kita. Karena paman tidak akan kembali ke Belgia sebelum kamu menanda tangani berkas ini. Aku tak akan mengganggu masalah perusahan. Aku hanya di tugaskan memberikan laporan rinci mengenai uang keluar dan uang masuk ke dalam rekening perusahan,” jelas Arkan.
Brian memukul tembok di dekatnya. “Bukan kah itu sama saja kamu mencampuri urusan perusahan?” Bentak Brian.
Arkan menyerahkan map yang dibawanya kepada Brian. “Paman dan bibi meminta mu menyerahkan surat ini ke tangan mereka jam sembilan nanti. Atau paman akan mengambil alih perusahan sebagai dewan komisaris, paman hanya ingin memantau kinerja anaknya hingga beberapa bulan kedepan hingga perusahan stabil di tangan anaknya,” tegas Arkan kemudian berbalik badan meninggalkan Brian yang masih terlihat emosi.
Brian mengepal kedua telapak tangannya bersamaan dengan map yang sedang di pegang nya.
“Sialan, bukankah syarat nya sudah aku lakukan, aku sudah menikahi wanita kampung itu? Kenapa mereka masih turut campur masalah perusahan kakek. Para orang tua tidak tau di untung,” umpat Brian.
.
.
.
TBC…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Ariana
Lumayan agak ngena di hati
2022-10-12
1
⃝⃞🦋⃟ℛ★ᴊᴀɴᴇ★ᴬ∙ᴴ N⃟ʲᵃᵃ࿐
beneran itu, cuma setengah sendok gula tapi kopinya 3 sendok? gak pahit kah?
2022-10-12
1
Meilan
Coba ada visual picture nya
2022-10-12
1