Di perjalanan pulang Sherin lebih banyak diam, Ravin tahu tapi tak peduli. Ada sedikit rasa senang mengetahui luka di wajahnya bisa hilang tanpa bekas tapi sayang ternyata butuh waktu lama.
Berkali-kali Sherin mengembus napas berat, ia terlihat seperti seorang yang sedang menanggung beban yang amat berat, padahal nyatanya bebannya hanya ingin menghilangkan bekas luka dan menjadi cantik.
Sherin tersentak kala mobil tiba-tiba berhenti, ia menoleh pada Ravin sambil mengangkat alis. “Kenapa berhenti?” tanyanya.
“Turun!” perintah Ravin.
“Turun?” Sherin membeo.
“Iya, turun.”
“Kenapa?”
“Ya kamu silahkan turun, aku masih ada pekerjaan dan harus ke kantor,” kata Ravin singkat, Sherin yang baru sadar itu langsung melebarkan kedua matanya.
“Nggak mau!” tolaknya.
“Turun!” ulang Ravin, Sherin benar-benar merasa marah. Kenapa Ravin sangat menyebalkan? Begitu tega menurunkan Sherin di pinggir jalan yang sepi.
Tanpa bisa Sherin cegah, Ravin benar-benar tidak mau menuruti dirinya dan tetap menurunkan Sherin di pinggir jalan. Kedua tangan Sherin mengepal di iringi mobil Ravin yang berjalan semakin jauh.
“Argghh ... dasar Monyet!” umpatnya sambil mengacak rambut.
Sherin menatap sekeliling, saat ini ia ada di pinggir jalan yang terlihat sepi. Hanya ada beberapa rumah kecil milik penduduk. Seketika Sherin ingat dengan jalan ini, tidak jauh dari tempat ini maka Sherin bisa pergi ke rumah Prisha.
Lalu Sherin kembali mencari seseorang yang mungkin bisa mengantar dirinya. Tepat di sebuah pos ada beberapa orang lelaki dengan motor mereka masing-masing. Dengan cepat ia menghampiri para lelaki itu.
“Pak, ojek,” kata Sherin.
“Kemana, Neng?” lelaki berjaket coklat yang usianya sekitar empat puluhan tahun itu bertanya.
“Jalan mawar,” jawabnya.
“Ohhh ... Perumahan elit ya, Neng?” Sherin mengangguk, lalu lelaki mulai memutar motor, tak lupa memberi sebuah helm pada Sherin agar di pakai.
Benar dugaannya, untuk sampai ke rumah Prisha hanya butuh waktu sepuluh menit, beruntung Sherin punya uang simpanan dari tas kecilnya yang ia tidak tahu ternyata ada walaupun secuil. Setelah membayar Sherin mulai mendekati gerbang, di sana ada satpam yg berjaga.
“Maaf, Mbak siapa?” tanya satpam itu.
“Sherin,” jawabnya.
“Ingin bertemu dengan siapa dan ada urusan apa?” satpam bertanya lagi, Sherin memutar bola matanya malas, karena sesungguhnya Sherin tidak suka di beri banyak pertanyaan.
“Saya mau ketemu Kael, ada urusan penting karena saya pacarnya,” Sherin berucap asal, satpam ini dulu adalah anak buahnya, seorang pria yang bekerja pada Sherin untuk menghasilkan uang.
Dulu ia merasa satpam ini kerjanya bagus dan Sherin tidak pernah menggantinya, rupanya ia baru menyadari satpam ini sama seperti Ravin, menyebalkan.
“Lho, saya kok nggak tahu kalau den Kael punya pacar, sejak kapan, Mbak?” satpam itu malah bertanya dan hal itu sungguh membuat Sherin kesal.
“Sejak zaman purba,” Sherin kembali menjawab asal, “Udah lah, Pak. Saya beneran ada urusan penting sama Kael, bukan cuma mau pacaran tapi ada tugas kuliah bareng juga.”
“Oalah, bilang dong, Mbak Ririn, saya 'kan nggak tahu.”
Sherin berdecak kesal, satpam yang dulunya baik kini berubah lebih menyebalkan. “Jadi, saya boleh masuk nggak nih?”
“Ya, boleh dong, Mbak Ririn, Bentar saya buka dulu.” Satpam itu sedikit terkekeh, ia percaya dengan ucapan yang Sherin lontaran padahal Sherin berbohong.
Tiba di depan pintu, tak ada pelayan yang berjaga. Hal ini sudah biasa lantaran rumah Prisha selalu sepi dan hanya ada Kael seorang. Pintu tidak di kunci membuat Sherin langsung masuk.
Rumah ini terlihat amat sepi, seperti tak berpenghuni. Semakin dalam ia melangkah, terdengar suara musik mengalun, memecah kesunyian yang ada.
Musik itu berasal dari kamar Kael, Sherin menaiki tangga menuju lantai dua. Di sebelah kanan ada kamar Kael yang pintunya terbuka sedikit, Sherin perlahan membuka pintu itu.
Ia melihat Kael sedang duduk di depan meja belajar, dengan tumpukan buku yang membuat Sherin pusing sendiri jika membacanya. Meja belajar Kael tepat di depan jendela, jika siang hari dan tirai di buka maka angin sepoi akan masuk dan menerpa wajah.
Sherin maju, mendekati Kael dan menepuk pundak remaja itu. Hal itu membuat Kael tersentak hampir terjungkal kalau Sherin tak menahannya.
“Anjirr, ngagetin. Siapa sih?” Kael mengusap dada yang kini jantungnya berdebar lebih kencang, lalu ia menoleh ke belakang dan mendapati Sherin sedang memegang kursinya yang tadi hampir membuatnya terjungkal.
“Ngapain kamu ke sini?” Kael bertanya dengan nada yang berubah kesal, apalagi melihat wajah tanpa dosa milik Sherin yang tersenyum dan dengan tidak sopan berjalan ke arah kasurnya.
“Pacaran,” celetuk Sherin, ia asal menjawab hanya untuk sekedar menghidupkan suasana.
“Ogah gue pacaran sama cewek kayak lo,” panggilan dari Kael kini berubah, ia sudah merasa tidak asing lagi dengan Sherin walaupun hanya beberapa kali bertemu.
“Bosan, aku tertekan di rumah,” ucap Sherin mendramatis.
“Lagi pula kenapa satpam bisa ngizinin lo masuk sih? Lo pakai sihir apa sampai satpam mau nurut bukain gerbang?” ucap Kael.
“Pakai pelet cinta, hehehe ... ” Sherin tertawa geli.
Kael tak mempedulikan ucapan Sherin lagi, sekarang ia tengah fokus pada pelajarannya karena sebentar lagi mau menghadapi ujian nasional. Sherin mengamati dari jarak yang tidak jauh, walaupun jarang di rumah, sebagai Prisha dulu Sherin tahu kalau Kael jarang keluar rumah.
Kael tidak seperti remaja lainnya yang suka nongkrong bersama teman, adiknya ini lebih cenderung introvert. Walaupun dengan kakaknya sendiri Kael tidak suka bicara apalagi mengeluh. Asal keinginannya di penuhi, maka Kael benar-benar tidak akan mengganggu waktu Prisha.
Bahkan tanpa di sadari oleh Prisha, bahwa Kael juga kesepian. Tak ada teman mengobrol, di sekolah ia juga penyendiri. Di rumah hanya berhadapan dengan buku, ponsel dan alat musik milik Prisha. Kael juga jago bernyanyi sama seperti kakaknya.
Di rumah sebesar ini, hanya di tinggali oleh Kael seorang beserta pelayan yang tidak bisa di ajak mengobrol. Tapi, Kael sudah biasa akan hal itu. Karena, ia juga mengerti dengan keadaan kakaknya yang sudah mau bekerja keras agar mereka tidak hidup susah.
Sherin menghela napas, keadaan Kael saat ini baru ia sadari sekarang. Tanpa pamit pada Kael, Sherin pergi dari kamarnya. Ia pergi ke dapur untuk mengambil es krim yang ada di freezer. Lalu kembali lagi ke kamar Kael.
“Jangan terlalu serius, otak juga butuh istirahat.” Sherin memberikan satu cup es krim di hadapan Kael, membuat remaja itu menoleh.
“Darimana lo dapet itu?” tunjuknya pada es krim di tangan Sherin.
“Dapur,” jawab Sherin.
“Lo emang tahu dapurnya ada dimana?”
“Tahu.”
Kael mengernyitkan dahi, ia bingung dengan Sherin. Baru kali ini Sherin masuk ke dalam rumahnya dan tiba-tiba sudah tahu dimana letak dapur. Tapi, buru-buru ia tepis karena mungkin saja Sherin bertanya pada pelayan.
Kael mengambil es krim pemberian Sherin, ia menatap es krim itu diam. Dalam hidup Kael, baru kali ini ia di perhatikan seseorang. Kakaknya memang baik dan ia sayang, tapi kakaknya selalu sibuk pada pekerjaan membuat Kael terasingkan.
Kael selalu berusaha mencari perhatian kakaknya dengan cara meminta ini dan itu, tapi Prisha selalu memberinya tanpa tahu bahwa Kael sangat ingin di perhatikan oleh dirinya. Dalam hal materi, Kael tak kekurangan apapun tapi, dalam hal kasih sayang, Kael belum mendapatkannya. Ia butuh itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Jupilin Kaitang
penuhi kenginan adik biar dengan tubuh lain. jadikan dia teman, ini lagi satu tunangan suka2 saja menurun dimnah2 gila kalau inda suka jangan betunang
2022-04-27
1
Um_bell29
kasihan kael😢
2022-04-11
2
B aja
peluk jauh untuk Kael
2022-04-06
0