Usai melakukan yoga bersama calon mertua, Sherin istirahat sebentar karena merasa lelah. Keringat jatuh beberapa tetes dari dahinya, ia mengelap dengan handuk kecil yang tadi di berikan oleh Dina.
“Sherin, kamu hebat. Mamah jadi semangat mau olahraga terus bareng kamu,” celetuk Dina, mereka sudah cukup duduk dan sekarang sedang menuju dapur, Dina hampir lupa dengan kue yang mereka buat.
“Aku juga tambah semangat kalau yoga bareng Mamah,” Sherin mengacungkan jempol.
Mereka sampai di dapur, Dina bernapas lega karena kue tidak gosong dan baru akan matang. Aromanya tercium begitu wangi, Sherin memejamkan mata merasakan aroma yang mulai menggoda imannya.
“Rin, kuenya cantik. Walaupun baru pertama kali buat ternyata kamu bisa,” puji Dina, Sherin juga terlihat antusias ketika kue itu sudah di taruh di nampan.
Kue pertama buatan Sherin.
“Oh ya, Mamah lupa bilang, hari ini Ravin di rumah jadi tolong panggilin dia di kamarnya, ya,” pinta Dina.
Sherin menoleh pada calon mertuanya, ia baru tahu kalau Ravin sedang di rumah. Setelah menimang sebentar Sherin menganggukkan kepalanya.
Dina sudah memberi tahu di mana letak kamar Ravin. Tak jauh dari tempat dia dan Dina yoga tadi. Tiba di depan pintu, Sherin sedikit ragu untuk mengetuk. Tapi, tetap ia ketuk untuk memanggil sang empu.
Beberapa kali ketukan tak ada tanda-tanda akan di buka, Sherin jadi sedikit kesal. Dengan berani ia memegang handle pintu dan membukanya, pintu bercat coklat ini tidak di kunci.
Ketika Sherin masuk rupanya tidak ada orang, dahinya berkerut. Kata Dina Ravin ada di sini tapi kemana? Lalu matanya terpaku pada satu tempat, kamar mandi yang pintunya tertutup rapat, Sherin yakin Ravin sedang mandi.
Kedua mata Sherin menatap sekeliling kamar, kamar ini bernuansa abu-abu dan putih, layaknya kamar laki-laki. Dari arah ranjang yang menghadap ke depan terdapat balkon, sebelah kiri ranjang ada meja dan lampu tidur.
Tiba-tiba tatapannya berhenti pada satu objek, di sebelah lampu tidur ada beberapa lembar album. Kakinya mendekat dan mencoba melihat album apa itu. Irama jantungnya semakin cepat saat itu juga, ia terpaku menatap album musik dan kaset berisi lagu-lagu Prisha.
Kenapa Ravin bisa punya ini? tanya Sherin dalam hati, tak lama setelah itu pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah Ravin dari sana dengan memakai handuk sebatas pinggang.
Sherin dan Ravin sama-sama terkejut, tapi dengan cepat Ravin mengubah raut wajahnya menjadi lebih dingin dan terlihat marah.
“Kenapa kamu ada di sini?!” bentak Ravin.
Sherin menelan salivanya dengan susah. “A-- aku ...” Sherin tak mampu bicara, bibirnya seolah terkunci dan sulit untuk mengeluarkan sebuah kata.
Sherin bukan takut karena ketahuan masuk kamar orang tanpa mengetuk pintu, tapi ia terkejut karena melihat Ravin keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk tanpa pakaian. Jelas saja matanya langsung tertuju pada perut Ravin yang kotak-kotak, Sherin mulai oleng dan secara tidak sadar ia menggeleng lalu memukul kepalanya sendiri.
“Otak laknat! Apa yang aku pikirkan?” gumam Sherin lirih, tak terdengar oleh Ravin.
“Cepat keluar!” ujar Ravin yang sudah merasa kesal.
Sherin menurut, dengan cepat ia keluar dari kamar Ravin. Setelah menutup pintu, Sherin bersandar dan memegang dadanya yang berdebar tak karuan. Aku bisa gila, pikirnya merasa kacau.
...⚫⚫⚫...
“Vin, hari ini kamu temani Sherin, ya. Mamah mau pergi ke tempat papahmu,” pinta Dina.
Mereka sedang duduk bertiga di meja makan sambil memakan kue buatan Sherin dan Dina. Ravin mengangguk tanpa menolak, Sherin pun sama.
“Ya udah, Mamah berangkat sekarang. Pasti papahmu sudah nunggu dari tadi,” lanjutnya langsung berdiri dan pergi meninggalkan Ravin serta Sherin berdua.
Tak ada yang bicara di antara keduanya, sampai Ravin berkata, “Kamu ikut aku!”
“Kemana?” tanya Sherin bingung.
“Kamar,” jawabnya asal.
Sherin melotot kesal, refleks tangannya mengambil sendok di atas meja dan di lempar ke arah Ravin. Sendok itu mengenai punggung Ravin sampai membuat pria itu meringis pelan.
“Mampus!” cibir Sherin.
“Aku cuma bercanda, ayo! Aku mau mengajakmu ke suatu tempat,” kata Ravin terus berjalan meninggalkan Sherin.
“Kemana?” tanya Sherin lagi, tapi pria itu tak menjawab. Ia terus berjalan ke arah luar, Sherin tentu mengikutinya, ia penasaran dengan ajakan Ravin yang cukup misterius.
Ketika Ravin masuk ke dalam mobil maka Sherin akan ikut. Ia tak bertanya lagi karena percuma pasti Ravin tidak akan menjawab. Sepanjang perjalanan Sherin hanya menatap ke arah jendela sampai mobil berhenti baru ia menoleh.
“Ini dimana?” tanyanya.
Lagi-lagi Ravin tak menjawab membuat Sherin jadi kesal. “Ayo ikut!” ajak Ravin.
Sherin menurut, ia mengikuti Ravin masuk ke dalam sebuah rumah dua lantai namun tak terlalu besar. Rumah bercat kuning emas yang terlihat elegan. Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Ravin langsung masuk.
“Mana Dhafi?” tanya Ravin pada salah satu pelayan.
“Beliau sedang tidur, Tuan.”
“Tidur?” ulang Ravin, nada bicaranya sudah berubah dan terlihat semakin kesal.
“Bangunkan dia! Aku tadi sudah menelpon tapi dia bilang datang saja dan sekarang malah tidur,” Ravin menggerutu, mereka berdua pun duduk di sebuah sofa yang ada di ruang tamu.
“Ini rumah siapa?” Sherin sudah merasa gatal untuk tidak bertanya.
“Rumah temanku,” jawab Ravin.
Tak lama setelah itu keluarlah seorang pria yang seumuran dengan Ravin dari sebuah kamar dengan penampilan khas bangun tidur. Pria itu berjalan ke arah mereka sambil menguap, Sherin spontan mengamati pria itu dari atas sampai bawah.
Sherin mengatupkan bibirnya menahan tawa, bagaimana tidak? Pria yang Ravin bilang adalah temannya itu saat ini sedang tidak sadar dengan penampilannya sendiri. Rambut acak-acakan, piyama berwarna biru muda dengan gambar doraemon terpasang di tubuhnya, satu kancing bagian atas terbuka.
Tak lupa sandal bulu berwarna biru tua terpasang di kedua kakinya.
“Heh, Monyet! Sudah jam berapa ini? Kenapa baru bangun dan kenapa kamu keluar dengan pakaian seperti itu?” decak Ravin, ia mengambil bantal sofa dan melemparnya ke arah pria yang baru bangun tidur itu.
“Kamu yang datang mengganggu, aku masih mengantuk ... ” jawab pria itu, kembali menguap.
“Aku tadi sudah menelpon mu dan kamu bilang tidak sibuk sedang di rumah.”
Dua orang yang itu saling adu mulut, sementara Sherin hanya mengamati seakan sedang menonton sebuah pertunjukan. Lima menit berlalu akhirnya semua diam, pria yang bernama Dhafi itu ikut duduk di sofa tepat di depan Sherin.
“Ada apa kamu meminta bertemu denganku?” tanya Dhafi.
“Aku mau minta bantuan mu dan mengobati luka di wajah dia,” tunjuk Ravin pada Sherin.
Dhafi melihat Sherin, keningnya berkerut lalu berkata, “Dia siapa?”
“Orang,” jawab Ravin.
“Ialah aku tahu dia orang, emangnya monyet?” kesal Dhafi.
“Kamu Monyet!” Ravin membuang muka sebal.
“Mengobati apa memangnya?” kini Dhafi bertanya lagi, ia terlihat serius.
“Wajahnya ada luka, aku mau agar kamu bisa menyembuhkannya,” kata Ravin.
“Luka wajah di sebelah kiri?” Dhafi bertanya pada Sherin yang di jawab dengan anggukan kepala.
“Aku lihat lukanya tidak besar, tapi butuh waktu yang lumayan lama agar bekasnya hilang sepenuhnya,” Dhafi mengamati luka di wajah Sherin, Dhafi adalah dokter spesialis kulit, ia sudah berteman dengan Ravin semenjak kuliah.
“Berapa lama?” tanya Sherin penasaran.
“Satu bulan mungkin, tapi aku sendiri kurang tahu,” Dhafi nyengir setelah mengatakannya. Sherin mengangguk paham dengan kepala menunduk, ia mengembus napas berat karena tak menyangka ternyata butuh waktu lama untuk bisa sembuh.
.
.
.
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Jupilin Kaitang
semoga saja sembuh parut nya
2022-04-27
0
Um_bell29
mau donk kirim yang kayak Ravin donk thor buat aku😍😍
2022-04-11
1
Lee
next kak othor..
2022-03-22
0