“Sherin?” sapa Iriana sedikit terkejut, pandangan matanya berpindah pada Ravin yang berada di samping Sherin.
“Kenapa?” tanya Sherin ketus, tangannya refleks memegang tangan Ravin dan mendekapnya erat. Hal itu membuat Ravin menoleh ke arah Sherin dengan sedikit bingung.
“Sejak kapan kamu suka belanja?” heran Iriana sambil menunjuk ke arah paper bag di tangan Sherin.
“Sejak kapan memangnya apa urusannya denganmu?” sinis Sherin, Iriana mendengus kasar karena sebal.
“Apa kamu tidak malu jalan dengan Ravin? Kamu tak melihat penampilanmu yang buluk ini? Kalau aku sih tentu saja malu apalagi Ravin sangat tampan dan kaya, sedangkan kamu? Miskin!” ejek Iriana.
Sherin semakin mengepalkan tangannya kuat, membuat jas yang di pakai Ravin sedikit kusut, tapi setelah itu senyum sinis terlihat di wajahnya.
“Kenapa harus malu? Aku jalan dengan tunangan ku sendiri, bukan selingkuhan ku. Memangnya kenapa kalau aku miskin? Aku punya tunangan yang punya banyak uang jadi, aku tinggal minta uangnya. Ya 'kan, Sayang?” Sherin melirik Ravin sambil tersenyum lembut.
Ravin tersentak, tak menyangka dengan jawaban Sherin apalagi saat melihat senyumannya. Sherin memang jarang tersenyum padanya dan baru kali ini Sherin memperlihatkan senyuman itu. Senyumannya terlihat tulus namun penuh dengan rasa benci dan luka, Ravin tak mampu berkata-kata selain mengangguk dan balas tersenyum.
Wajah Iriana terlihat merah padam menahan marah, Iriana tahu kalau Sherin sedang menyindir dirinya dan Rainer yang merupakan selingkuhan. Begitu juga dengan Rainer yang merasa tersindir dengan kata-kata Sherin.
“Sayang, adikmu ini apa tidak pernah di ajarkan sopan santun?” tanya Rainer dengan kesal.
“Apa kamu lupa kalau dia tidak punya ibu? Bagaimana bisa di ajarkan sopan santun? Dengan ayah dan ibuku saja dia suka melawan,” jawab Iriana dengan sedikit terkekeh.
“Heh! Kalian ini memang pasangan yang serasi, di bandingkan dengan aku harusnya kalian yang merasa malu dan perlu belajar sopan santun. Memangnya apa enaknya main belakang?” Sherin melepaskan dekapannya dari tangan Ravin, lalu menggenggam jemari Ravin dan mengajak pria itu untuk pergi dari sana.
“Kamu ... ” Iriana menunjuk ke arah Sherin yang sudah berjalan keluar, perasaannya saat ini amat kesal karena perkataan Sherin.
“Sudahlah, biarkan saja. Lagian kenapa harus kamu yang memulai duluan?” Rainer mencoba menenangkan Iriana dengan mengelus punggung wanita itu.
“Kamu harusnya bantu aku, tapi kamu malah diam saja!” kesal Iriana.
Rainer tak lagi menanggapi ucapan Iriana yang sedang mengoceh, ia mencoba mengalihkan perhatian Iriana dengan mengajak wanita itu berjalan masuk ke dalam Mall dari pada membalas ocehan yang sudah pasti akan berujung pada pertengkaran.
...⚫⚫⚫...
Lagi, Sherin masuk ke dalam mobil dengan membanting pintu sampai membuat Ravin tersentak. Ravin menoleh ke arah Sherin yang sedang bersedekap dan mengembus napas berkali-kali.
“Mobilku mahal, jangan sampai kamu merusaknya karena kamu tidak akan bisa menggantinya,” celetuk Ravin.
Sherin melirik Ravin lalu berkata, “Aku bisa mnggantinya.”
“Mengganti dengan apa? Kamu saja tidak punya uang.”
“Tidak perlu uang, dengan tubuhku saja sudah cukup,” ucap Sherin dengan nada menggoda, tangannya terulur mengusap dada Ravin lalu naik ke leher Ravin dan mengelus jakun Ravin yang naik turun.
Napas Ravin terasa berat, dengan susah payah ia menelan ludah. Ravin menepis jemari lentik itu, ia berdehem sambil menampilkan ekspresi kesal. “Kamu bukan tipeku dan aku tidak berselera... ” ucapnya, tapi suara Ravin sudah terdengar berat.
“Oh ya? Jadi selera mu yang seperti apa?” Sherin bertanya dengan senyuman manis yang sengaja di buat menggoda.
“Tentunya cantik dan seksi, berisi dan bukan seperti kamu,” celetuk Ravin.
“Cantik, seksi dan berisi? Kamu tenang saja, aku bisa memenuhi syarat itu ... ” Sherin mengangguk mantap, terlihat bercanda walaupun Sherin serius. Serius menjadi cantik maksudnya. Jangan salah paham.
“Ehem! Perjalanan selanjutnya kemana? Atau lebih baik pulang saja?” Ravin mulai menyalakan mesin mobil, tak lupa memakai sabuk pengaman terlebih dahulu.
“Jangan! Antarkan aku ke salon dulu baru setelah itu kita pulang ... ” ucap Sherin setelah tawanya berhenti, ada air mengembun di sudut matanya dan perutnya sedikit sakit.
“Ck! Apa belanja saja tidak cukup?”
“Tidak! Lagian kamu yang menawarkan jadi aku tidak akan menolak 'kan?” Sherin menaik-turunkan alisnya memandang Ravin yang sedang fokus menyetir.
“Jangan menampilkan ekspresi seperti itu di depan ku!” gerutu Ravin, kemudian ia tercenung sebentar untuk memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya.
“Sepertinya kamu sangat membenci kakakmu ... ” celetuk Ravin, Sherin menoleh sebentar lalu berpaling lagi.
“Cih! Dia bukan kakakku,” decak Sherin.
Kenyataannya memang begitu, Iriana hanyalah kakak tiri bagi Sherin yang tidak punya hubungan darah. Apalagi bagi Prisha yang saat ini berada dalam tubuh Sherin, mana mungkin dia sudi punya kakak seperti Iriana yang sudah jelas telah menghancurkan dirinya.
Apalagi saat melihat Rainer bersama dengan Iriana, sungguh hatinya merasa tidak rela jika pasangan itu hidup dengan bahagia. Sherin merasa dulu ia terlalu bodoh sampai bisa jatuh cinta dengan pria brengsek seperti Rainer, dan sekarang Sherin tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Cinta yang dulu mendominasi di hati Sherin kini berubah jadi benci yang begitu dalam. Cintanya yang begitu besar telah di sia-siakan oleh Rainer hanya demi wanita seperti Iriana. Hati Sherin yang kini telah mati berjanji tidak akan membiarkan pasangan itu hidup damai.
Sekarang mereka telah sampai di salon, semenjak percakapan terakhir antara Sherin dan Ravin, Sherin tak lagi mengeluarkan suara dan lebih memilih diam sambil menatap keluar jendela. Ravin menyadari ada yang salah dengan Sherin tapi ia diam saja dan pura-pura tidak tahu.
“Tunggu sebentar, setelah selesai kita langsung pulang,” kata Sherin saat mereka baru keluar dari mobil hendak masuk ke salon.
Ravin mengangguk tanpa menjawab, sambil menunggu Sherin yang melakukan perawatan kecantikan ia duduk di ruang tunggu sambil bermain ponsel. Tapi lama-lama Ravin merasa kesal karena hampir dua jam Sherin tak juga selesai.
“Kenapa aku harus menuruti wanita ini?!” sesal Ravin, ia pun berdiri dari duduknya karena merasa pegal.
“Kalau tahu begini lebih baik pulang saja!” desisnya.
Tak lama setelah itu tirai ruang tunggu terbuka, Ravin menoleh dan terpaku pada satu tempat. Matanya mengamati penampilan Sherin yang berubah sembilan puluh derajat.
“Bagaimana?” tanya Sherin sambil berjalan mendekati Ravin.
Ravin belum merespon, ia masih mematung menatap Sherin dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Sherin telah berganti pakaian dan menjadi memakai pakaian yang tadi ia pilih. Pakaian dengan lengan tanggung dan panjangnya di bawah lutut berwarna periwinkle, ungu kebiruan. Padahal hanya asal memilih karena merasa gaunnya bagus, tapi tidak di sangka ternyata sangat cocok di tubuh Sherin. Di tambah hairstayle yang mengubah rambut Sherin jadi bentuk curly dan sedikit di beri warna.
Namun sayangnya ada pengganggu yaitu bekas luka di wajah Sherin susah untuk di tutupi.
“Lumayan,” ucap Ravin setengah memuji, Sherin tersenyum tipis hampir tak terlihat.
“Bajunya cantik tapi bukan orangnya,” seketika senyum tipis itu luntur.
“Karena wajahmu masih ada bekas luka, tapi kamu jangan khawatir. Aku punya kenalan seorang dokter yang mungkin bisa menyembuhkan lukamu. Jangan salah paham, aku menawari hal ini karena kamu calon istriku, jadi jangan punya pikiran berlebihan. Aku tidak mau nanti jika menikahi wanita yang jelek,” lanjutnya tapi sedikit salah tingkah, Sherin yang mendengar itu tentu saja sangat senang.
“Terimakasih,” Sherin berucap dengan menampilkan senyuman termanisnya, seketika itu Ravin kembali terpaku. Cantik, pikirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Jupilin Kaitang
gambarnya cukup kurus dan seksi. ko bilang jelik
2022-04-27
0
Fahira Albey
makin seru ceritanya
2022-04-17
0
Afshin
widiihhhh... seleramu bagus banget thor... Kesannya anggun, elegan tapi simple. Eaa.... 😆
2022-04-02
1