“Ehem! Sekarang sudah sore, dari pada menunggu tidak jelas di sini lebih baik kau pulang atau aku akan mengantar,” Sherin melirik ke arah Kael.
“Aku bisa sendiri.”
Sherin mengangguk. “Memangnya kamu datang kesini hanya untuk duduk saja?
“Sebenarnya aku mau melihat kakakku, tapi masih banyak orang yang berkunjung. Padahal sudah tiga minggu tapi masih saja ramai.” Kael tersenyum kecut, ia baru beberapa kali ke sini dan itupun secara diam-diam. Bahkan tidak lebih dari lima belas menit, padahal Kael ingin menangis dengan puas di sana.
“Jadi sejak kapan kamu duduk di sini?”
“Sudah dari pagi ... ”
“Dari pagi?” Sherin melotot kaget, dari pagi? Kenapa masih betah duduk di sini? Apa tidak lelah? Apa Kael tidak makan?
“Kamu Bocah gila!” Sherin dengan cepat menarik lengan adiknya, di bawah guyuran hujan yang sudah mulai reda, Sherin menghentikan taksi yang lewat ketika mereka tiba di pinggir jalan besar.
“Kamu ini pemaksa!!” Kael mencoba memberontak, tapi ia kalah tenaga dengan Sherin. Akhirnya dengan terpaksa Kael ikut masuk ke dalam mobil bersama Sherin.
“Gara-gara kamu bajuku jadi basah ... ”
“Bajuku juga basah! Sudahlah, sama-sama basah tidak perlu di ributkan ... ” Sherin ikutan kesal.
“Pak! Jalan mawar blok empat nomor rumah dua belas,” ucap Sherin pada supir taksi yang dibalas anggukan kepala.
“Kamu-- Kamu bahkan tahu alamat rumah kakakku, kamu benar-benar penguntit!!” Kael terkejut mendengar ucapan Sherin saat Sherin menyebutkan alamat rumahnya dengan benar.
Dalam pikiran remaja itu Sherin benar-benar adalah seorang penguntit seperti yang dikatakan oleh Sherin tadi. Padahal rumah Prisha yang satu ini tidak banyak yang tahu. Selain manajer dan asisten serta pelayan dan supir tidak ada lagi yang mengetahuinya.
Sherin hanya diam tak menanggapi, penguntit tadi 'kan hanya sebuah alasan. Adiknya ini benar-benar mudah di bohongi, tapi tak apa, asal bisa mengantar adiknya pulang dengan selamat sudah cukup baginya. Ia tidak peduli dengan pikiran Kael mengenai ucapannya tadi yang seorang penguntit.
Dari pagi sampai sore Kael menunggu di depan gerbang makam, entah sudah makan atau belum, tentu ada rasa khawatir di hatinya. Walaupun tubuh ini bukanlah tubuh Prisha sang kakak kandung Kael, tapi jiwanya masih Prisha, salah satu alasan ia masih mencari adiknya satu-satunya.
Hujan semakin mereda, mobil terus melaju di jalanan yang lenggang. Tak banyak kendaraan yang lewat, karena hari sudah hampir malam. Perjalanan memakan waktu 25 menit, Sherin menghela napas, untung saja tidak terlalu jauh.
Mereka turun dari mobil, Sherin berdehem. “Bayar!” ucapnya membuat Kael menatapnya sinis.
“Bilang saja kamu mau tumpangan gratis!” Sembur Kael, Sherin mengangkat bahu tanda ucapan Kael itu benar. 'Kan sudah di jelaskan kalau isi dompet Sherin sudah kosong, remahan pun tak ada.
“Sudahlah, lebih baik kamu masuk, ganti pakaian dan cepat makan. Kamu bisa sakit kalau tetap memakai pakaian yang masih basah.”
Sherin mendorong Kael untuk cepat masuk ke dalam rumah berlantai tiga. Rumah bergaya Eropa modern. Dengan di dominasi cat berwarna putih dan emas di tempat tertentu.
Rumah ini di beli Prisha belum lama, sekitar dua tahun yang lalu. Uang hasil keringatnya sendiri setelah beberapa tahun bekerja di dunia hiburan. Tapi, Prisha pun tidak setiap hari menginap di rumah ini, Prisha selalu menginap di apartemen yang cukup jauh tempatnya dari sini.
“Kenapa kamu ikut masuk?!” Kael menahan langkah Sherin yang seperti tidak sadar sudah masuk terlalu dalam.
“Uhuk! Maaf, aku sedang mencari Meylin, bukankah kalian tinggal serumah? Lalu dimana Meylin sekarang?” Sherin mengamati sekeliling rumah mewah itu, mencari keberadaan seseorang.
“Dia tidak ada saat ini, belum pulang! Lebih baik kamu pulang saja, jangan sampai ada orang yang melihat dan akan memukulku karena membawa seorang wanita jelek ke rumah ... ” Kael mengibaskan tangannya, mengusir Sherin pergi.
Sherin berdecak kesal, jika Kael bukan adiknya maka sudah Sherin beri kepalan lima jari dari kedua tangannya. Sherin benar-benar baru menyadari sifat asli adiknya ini, suka berteriak, pemarah dan sangat menyebalkan. Satu hal lagi, omongan Kael sangat tajam, sampai mampu melukai harga diri lawan bicara.
“Iya! Aku pulang, kamu jangan lupa makan yang banyak.” Sherin sudah melangkah pergi tapi kemudian berhenti dan berbalik.
“Apa lagi?” tanya Kael.
Sherin menggaruk belakang kepalanya. “Aku tak punya uang untuk naik taksi ... ”
“Kamu ini tidak tahu malu! Baru kenal saja sudah berani minta uang. Aku berdoa supaya kedepannya tidak akan bertemu denganmu lagi ... ” Dengan kesal Kael membuka dompetnya dan mengambil sebuah kartu.
Sherin menerima dengan senang hati, tak sia-sia dulu ia memberi banyak kartu pada Kael. Ada gunanya juga ternyata.
“Walaupun kamu jadi menyebalkan, aku tidak masalah ... ” ucap Sherin lalu pergi dari rumah Kael. Dengan kartu ini ia tidak akan kekurangan uang.
Sherin berhasil pulang ke rumah dengan selamat, tak ada hambatan setelah ia mendapatkan kartu dari Kael. Tapi sialnya ia malah bertemu dengan Iriana di depan pintu masuk.
“Lihatlah adikku ini, dari pagi sampai malam baru pulang. Entah apa yang dia lakukan di luar sana,” ucap Iriana dengan nada sedikit keras, tentu hal itu mengundang perhatian ayah dan ibunya.
“Sherin? Dari mana saja kamu? Kenapa jam segini baru pulang?” Arvin bertanya saat sudah ada di hadapan Sherin. Mereka bertiga menghalangi di depan pintu seolah tidak memperbolehkan Sherin untuk ikut masuk.
“Aku dari mana itu urusanku, bukan kalian. Minggir!!” Sherin mencoba menerobos masuk tapi tak berhasil.
“Pah! Dia itu belum lama keluar dari rumah sakit tapi sudah berani keluar sampai malam. Walaupun dia jelek dan gendut, tetap saja bahaya keluar sendiri.”
Entah ucapan Iriana itu membela atau malah sebaliknya. Sherin tak peduli. Yang penting ia sudah berhasil pulang ke rumah dan bisa tidur walaupun di kamar buluk. Mengingat itu, Sherin harus secepatnya mencari solusi agar kedepannya bisa mendapatkan kamar yang lebih baik.
“Iya, Sherin, apa yang di bilang kakakmu itu benar. Lain kali jangan suka main terlalu malam,” Laras ikut bicara, Sherin memutar bola matanya. Sungguh mereka keluarga yang baik, mau mengingatkan dirinya tapi sayang Sherin tidak terharu.
“Sudah tahu aku baru pulang, kenapa kalian malah berdiri di depan pintu? Apa sengaja tidak ingin membiarkan aku masuk?”
Naik satu oktaf, kesabaran Sherin hampir habis. Ia tidak suka jika ada orang yang sengaja menghalangi dirinya.
“Ah iya! Kami lupa, kamu masuklah dan langsung ke kamar, jangan keluar lagi, sudah malam.”
Sherin berdecak melihat Laras sok perhatian. Ketika sudah ada jalan untuk masuk, Sherin segera masuk tanpa menoleh ke arah tiga orang yang sangat suka bersandiwara.
Ketika di kamar, Sherin melihat pantulan wajahnya di cermin, ia meraba bekas luka di wajahnya, lukanya tidak besar, tapi sangat mengganggu. Sherin teringat dengan dokter spesialis kulit kenalannya. Mungkin saja dia mau membantu.
Tapi Sherin juga baru ingat, ia tak mempunyai uang. Tamparan keras untuk dirinya, dulu ia sangat kaya dan sekarang jadi miskin. Takdir seperti sedang mempermainkan dirinya. Beruntung sebelum sukses Sherin yang masih menjadi Prisha pernah merasakan apa itu miskin.
Sehingga saat keadaan seperti sekarang ini ia tidak stres dan menjadi gila karena miskin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Risna Murni
kan ada kakek&neneknya
2022-04-30
0
Jupilin Kaitang
kurus kan lagi badan kamu, biar kan hal lain
2022-04-27
0
Afshin
Remahan😂kayak remahan rangginang di kaleng khong guan sheril?🤣
2022-04-02
3