"Dimana anakku, Mpok" tanyaku melihat tidak ada Rania dalam gendongan Mpok Marni, bahkan Mpok Marni terlihat ketakutan. Apa yang terjadi sebenarnya semenjak aku pergi, aku menghapus air yang dari tadi jatuh.
"Anu... Anu Ratih, tadi anakmu di ambil sama si Rahman. aku sudah mencoba untuk menariknya tapi tidak bisa, bahkan ia mengancam akan memberikan anakmu jika kamu berikan dia uang 10 juta," kata Mpok Marni.
Apa, 10 juta! Anak sendiri di culik dan di buat sebagai tebusan sebesar 10 juta, dasar suami mata duitan. akan ku buat kamu menderita, Mas. Tunggu saja jika sedikit saja anakku terluka, akan ku buat kau menderita Rahman.
Aku berjalan ke rumah dengan berjalan kaki, entah tak ku pedulikan lagi Pak Anggara. Keselamatan anakku lebih penting di bandingkan pak Anggara, Aku mengambil uang 10 juta dan memasukkan ke dalam tas.
Teganya ia menjadikan darah dagingnya untuk menjerat aku untuk meminta uang, apa ia tidak pernah kasihan melihat anaknya yang masih kecil. Bahkan ia tidak pernah tahu apa tentang kedua orangtuanya.
Aku berjalan keluar lalu menutup pintu ingin ke rumah orang tuanya Mas Rahman, aku tidak ingin akan membiarkan anakku bersamanya.
"Naik mobilku saja biar lebih cepat," kata Anggara.
Aku hanya mengangguk tanpa bicara apapun, rasanya hari ini begitu lelah. Masalah pesan misterius itu saja belum selesai, kini Mas Rahman kembali berulah mengambil putriku tanpa izin.
Satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di depan rumah orang tua Mas Rahman. Aku melihat Mbak Siti juga ada disana, apa-apaan mereka belum halal saja dekat. Apa sebenarnya mereka sudah menikah.
"Mas Rahman, dimana Rania?" tanya ku melihat tidak ada dalam gendongan Mbak Siti dan ibu juga ada di sini, lalu ke mana putriku. tidak mungkin ia pergi sendiri bukan, umurnya baru satu tahun.
"Ratih, ngapain kamu kesini?" tanya Mas Rahman.
Apa dia lupa kalau aku kesini untuk menjemput putriku atau ia pura-pura tidak dengar perkataan ku.
"Aku mau menjemput Rania, dimana Rania sekarang?" tanya ku dengan mata melotot, rasa sesak kian mendera.
"Dia tidak ada disini?" Celetuk ibu yang dari tadi diam.
Bagaimana Putriku tidak ada disini, bukannya tadi di bilang Mpok Marni Rania di ambil sama Mas Rahman, lalu kenapa ibu bilang tidak ada Rania disini. aku berjalan mendekat pada mas Rahman sedangkan Mbak Siti hanya diam.
"Dimana Rania jawab, Mas?" teriakku di telinganya, ia hanya diam tanpa mau mengeluarkan suara dari mulutnya.
"Ra..nia hilang, Mbak,"
"Apa, hilang! Apa yang kamu lakukan pada Rania, Mas," tanya ku dengan amarah yang sudah membuncah.
"Halah, sudah biar ibu saja yang jelasin. Tadi Rahman memang mengambil anak kamu tapi ia letakkan Rania di luar untuk mengambil air untuk putrimu, tahu-tahunya anak kamu tidak ada lagi disini," ungkap ibu tanpa merasa bersalah bahkan tak raut khawatir cucunya hilang, ia begitu santai begitu saja. benar-benar keluarga yang tidak punya hati.
"kalau sampai terjadi sesuatu dengan putri, aku akan membuat kamu busuk di penjara," Ancam ku pada mereka.
Mas Rahman yang awalnya diam angkat bicara setelah aku mengancam akan membawanya ke kantor polisi sedangkan ibu hanya mendelik matanya, beda dengan Mbak Siti yang sudah pucat pasi.
"Tidak bisa begitu, hilangnya Rania bukan salah ku. sebaiknya kita laporkan saja ia ke polisi," kata Mas Rahman.
"kalau kamu menjaganya pasti tidak akan seperti ini dan kamu mbak Siti mulai hari ini kamu saya cepat,"
Aku tak bisa lagi menahan amarah, jika menyangkut perasaan. Aku masih bisa untuk menahan tapi jika untuk menyangkut anak, aku tidak bisa tinggal.
"Kenapa katamu?" kata dengan mata melotot, ku ambil gawai di dalam tas lalu mencari Videonya dan Mas Rahman di taman.
"Apa bukti ini cukup untuk kamu pergi dari rumah ku," kata mu memperlihatkan pada mereka, mata mbak Siti melotot sama seperti Mas Rahman. Mungkin kaget aku bisa tahu rencana mereka.
"Semua di video itu tidak benar, Mas masih mencintaimu Ratih," Elak Mas Rahman mengatakan kalau itu benar, apa dia pikir aku orang bodoh. ku tatap wajah yang sudah menjadi ayah dari anakku 2 tahun yang lalu.
"Kita akan bertemu di pengadilan dan akan aku laporkan kamu ke kantor polisi atas kehilangan anakku,"
Ku berikan ia ancaman agar ia bisa berpikir kalau aku bukan lah wanita yang lemah, aku tidak lemah tanpa dirinya. Bahkan aku bisa hidup layak tanpanya, nafas ku memburu bersama rasa sakit hati.
"Aku tidak akan menceraikan kamu, tidak akan," Teriak Mas Rahman, aku tidak peduli lagi padanya. Sekarang kemana harus aku mencari putriku, siapa yang mengambilnya, kalau aku melaporkan ke polisi itu tidak bisa karena hilangnya Rania belum 24 jam.
Ting....
pesan masuk ke gawai, aku langsung membukanya takut kalau ada informasi tentang Rania.
[ Temui aku dan jangan bawa siapa pun kalau kamu ingin anakmu selamat, datang ke alamat ini jalan Mangga xxxx ]]
Siapa dia, kenapa ia mengancam ku. Apa Rania bersama mereka, aku menghubungi nomor yang mengirimkan aku pesan tapi tidak aktif.
"Kenapa, kok gelisah gitu?" tanya Anggara.
Ya, aku masih bersama Anggara dan tadi dia tidak keluar karena aku yang melarangnya. Takut terjadi keributan dengan Mas Rahman.
"Ahh.. tidak apa-apa kok." kata ku.
Tidak mungkin aku mengatakan kalau ada pesan ancaman masuk ke gawai ku, tapi jika aku tidak mengatakan bagaimana aku bisa bertemu dengan Rania.
"Ada pesan misterius, sepertinya putriku sengaja di culik," kata ku menatap ke arah Anggara.
Apa sekarang aku katakan padanya, tentang tadi yang ku dengar itu. Aku masih saja terus berpikir untuk memikirkan apa ku beritahu pada nya atau memilih diam tapi bagaimana dengan putriku.
"Siapa...?"
"Entah, aku juga belum tahu," kata ku menggeleng lemah. Mobil terus berjalan sedangkan Matahari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya, putriku juga belum di temukan.
"Berikan ponselmu, kita akan melacak dimana mereka sekarang," kata Anggara.
Aku memberikan gawai pada Anggara, entah apa yang dia lakukan. ia mengotak-atik ponsel ku, aku hanya diam menatap kaca mobil. Mobil terus berjalan membelah jalan kota Jakarta, sehingga berhenti di pinggir jalan.
"Kenapa kita kemari?" tanya ku.
"Menurut google map, mereka ada disini?" kata Anggara.
Aku melihat sekeliling, perasaan aku pernah datang kemari. Ahh, aku lupa bukannya ini jalan kerumah pak Yanto. Apa mereka yang sudah mengambil anakku.
"Tunggu, Pak! bukannya ini jalan rumahnya Pak Yanto," kata ku .
Anggara melihat sekeliling, ia baru ingat kalau mereka pergi ke rumah pak Yanto.
"Pak Anggara lihat itu?" .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Rhu
LumYan bgus ceritanya tp sayang kata"nya kdng membagongkan
2022-07-02
0
Johanah Tata
satu kata malas bacanya muteeeer kaya gangsing ceritanya
2022-05-23
0
ANNI SINDARI SINDARI
next
2022-05-15
0