Di hari pertama aku bekerja ini, aku diminta memasak masakan has Indonesia. Kali ini aku memasak rendang sapi dan nasi putih.
"Ya Maymunah, ke sini kamu!" Dari dalam ruang tamu, terdengar Sultan memanggilku, tentunya dengan bahasa arab Saudi.
Akupun segera bergegas menghampiri.
"Kamu sudah selesai masak, kan? Kalau sudah, ayo cepat mandi. Nanti siapkan makanan dalam wadah, dan siapkan alat piknik juga, kita akan piknik ke kebun teh di kampung sebelah," titahnya panjang kali lebar.
"Piknik, kita berdua? Tapi..." Aku bertanya dengan mengulang kalimat yang ia ucapkan.
"Jangan membantah, ayo cepat mandi!" Dia menitahku lagi.
Aku menjadi kebingungan, tapi akhirnya aku menurut.
Aku bergegas mandi dan berganti pakaian.
Kali ini aku memakai gamis hitam mirip abaya, tapi aku padu dengan hijab warna krem.
Aku segera menyiapkan peralatan piknik di ruang tamu.
Setelah selesai, aku duduk menunggu Sultan keluar kamar.
"Maymunah, ha-ha-ha kamu kenapa pakai abaya segala, ini Indonesia, bukan Saudi, jadi kamu bebas mau pakai apa, gak harus pakai abaya kek gitu," ucap Sultan menertawakanku.
Dadaku bergemuruh mendengar ucapan orang ini.
"Dia ini kan muslim, tapi kenapa sama sekali tak faham bahwa menutup aurat bukan hanya kewajiban orang arab , tapi kewajiban muslimah di seluruh Dunia," gerutuku dengan berbahasa Indonesia.
"Maaf tuan Sultan, saya berpakaian begini bukan hari ini saja, tapi sudah sejak lama, sejak saya mengetahui bahwa menutup aurat itu wajib. Lagi pula, menutup aurat itu bukan kebiasaan suatu negara, tapi merupakan kewajiban bagi setiap wanita muslimah," sahutku membela diri.
"Hmm, ya udah, sekarang bawa barang-barang ini ke mobil," itah laki-laki tegap itu padaku.
Akupun segera menuruti perintahnya.
"Lah, ini kan tenda buat kemah, emang dia mau kemana ya?" tanyaku dalam hati.
"Kenapa bengong, ayo masukin tendanya ke Bagasi."
Aku menurutinya, setelah selesai, dia bergegas masuk ke mobil.
"Tuan, kenapa bawa tenda segala macem?" anyaku sambil memasukkan tenda dan alat lainnya ke bagasi.
" Ya buat piknik lah, aku rencananya mau berkemah di Gunung Pancar, kamu udah pernah ke sana belum?"
"Belum, apa kita akan berkemah berdua saja?" Tanyaku ingin memastikan.
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah tersenyum dan menyuruhku masuk ke mobil.
"Naiklah, jangan banyak tanya!" titahnya padaku.
Dia benar-benar membuatku kesal dan takut.
"Menyebalkan tuh orang. Gimana ini, apa aku harus ikut dia, atau aku kabur aja ya? Tapi, kalau aku kabur, aku gak akan bisa pulang, aku kan gak punya uang buat ongkos. Akhhh gimana ini? " Aku terus menggerutu dalam hati sembari mengembuskan napasku, kasar.
"Maymunah, kenapa belum naik?"
Sultan berteriak dari dalam mobil.
"Saya mau duduk di depan," jawabku seraya membuka pintu mobil dan langsung duduk di samping sopir.
Mobil melaju menembus jalanan kota Bogor. Setelah beberapa menit, kami pun sampai di gunung Pancar.
Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi mendominasi area wisata ini.
Sultan menyuruh sopir membawa kami mencari tempat yang biasanya dijadikan tempat berkemah.
"Ayo turun, turunkan juga barang-barang ini!" Laki-laki itu menitahku sembari keluar dari mobil.
"Akhh, menyebalkan ni orang. Dia itu cowok, tapi gak peka, masa dia nyuruh aku menurunkan barang-barang ini sendirian." Aku terus mengomel sambil menurunkan barang-barang Sultan.
"Kamu kenapa, gak suka ya, saya suruh menurunkan barang?" Dia bertanya lagi.
"Mmm, gak sih, cuma, kan berat dan banyak barangnya, masa saya sendirian sih?"
"Oooh, jadi kamu pengen aku bantu? Kenapa gak ngomong dari tadi? " Ia menjawab sambil menurunkan barangnya.
Setelah selesai, Sultan mengajakku memasang kemah.
Aku membantu sebisaku. Dari sudut mataku, aku mencoba melirik ke wajahnya, mengamati setiap gerak-geriknya.
Dalam keadaan seperti ini, aku jadi membayangkan, andai saja yang bersamaku sekarang ini adalah suamiku.
Setelah selesai membuat kemah, aku meninggalkan Sultan sendirian di kemah.
Aku berjalan menelusuri jalan setapak.
Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh air terjun, aku pun mempercepat langkahku menuju sumber suara itu.
Benar saja, di depanku kini terlihat air terjun yang sangat indah.
Cukup lama aku memandang air yang bergemuruh dan terjun bebas ke kolam jernih itu.

"Kamu suka dengan air terjun?" Suara bariton yang kukenali itu membuyarkan lamunanku.
Aku melirik ke samping ternyata memang benar, Sultan lah yang berdiri di sampingku.
Laki laki berjenggot tipis itu berdiri menghadapku, sekilas kulihat ia tersenyum padaku, sontak membuatku tersipu dan langsung memalingkan wajah.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, apa kau suka air terjun?" Sultan mengulang pertanyaannya.
"Iya, aku suka semua pemandangan alam," jawabku seraya mengedarkan pandanganku ke arah air terjun.
"Bagus, aku juga suka. Sekarang kita kembali ke tenda dulu. Nanti kita akan menyalakan api unggun."
"Memangnya kita berdua akan menginap di sini?"
"Gak berdua, sebentar pagi teman-temanku datang, mereka juga mau berkemah di sini. Temanmu juga nanti datang," terangnya sambil melangkah menuju tempat kami berkemah.
Hatiku benar-benar lega, mendengar bahwa Afina juga akan datang ke sini.
Itu artinya aku tak akan berdua saja dengan Sultan.
Hari mulai gelap, sang mentari mulai terlihat menguning, pancaran sinar keemasannya menembus di cela-cela rimbunnya pohon pinus.
"Mana mereka, ini kemahnya udah pada terpasang, tapi gak ada orang?" tanyaku ketika kami sampai di tempat kami berkemah.
Ternyata bukan cuma kemah sultan yang terpasang di sini, tapi juga ada 3 buah kemah lainnya.
"Mereka masih di jalan. Sambil menunggu mereka, kita ke sana yu, di sana matahari senja akan terlihat dengan jelas. Kamu suka pemandangan senja kan?" ajaknya dengan senyum mengembang.
Aku melonjak kegirangan mendengar ajakannya.
"Benarkah? Kalau gitu, ayo kita ke sana." Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berjalan menuju tempat yang di maksud Sultan.
Benar saja, di tempat kami berdiri sekarang, terlihat dengan jelas mentari senja dengan sinar keemasannya.
Entah kenapa, bulir bening tiba-tiba menetes deras ke pipi, rasa haru yang membuncah membuatnya keluar dengan sendirinya.
Menikmati senja di sebuah hutan adalah impianku dari kecil.
Kami berdua berdiri mematung memandangi mentari yang sedikit demi sedikit menghilang seperti ditelan bumi.
"Mr. Sultan, Mae, kesini, kami udah nyampe!" teriak seorang wanita dari arah kemah.
Ternyata wanita itu adalah Afina.
Kami berdua pun segera bergegas menghampiri.
Afina datang bersama tiga orang teman Sultan, dan dua orang teman wanita lainnya.
"Wow, jadi ini teman wanitamu, Sultan? Masih muda ďan sangat cantik," ucap salah satu teman Sultan sambil memandang ke arahku dengan pandangan aneh.
"Ya dong, teman Afina, gitu loh, perlu kamu tahu Sultan, teman saya yang satu ini masih tingting, iya kan, Mae?"
Wajahku seketika menjadi panas, mendengar perkataan Afina itu.
Kalau andainya bukan malam, pasti terlihat jelas betapa merahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Syaakirah Marwa
mulai meyukai
2024-07-01
2
mamae zaedan
baru baca pemeranya orang arab,semangat thor
2023-03-25
1
Rice Btamban
lanjutkan Thor
2022-06-18
1