bab 14

Aku berhenti di suatu tempat, tempat dimana rumah kecil yang sering bocor saat hujan turun, tempat dimana kehangatan, canda tawa, kemarahan, teriakan dan ocehan yang membuat aku merasa nyaman.

Aku turun dari dalam taksi dan berjalan sampai ke depan teras rumah itu, namun aku melihat dari luar jendela melihat ibu sedang membereskan rumah.

"Ibu aku kangen" ucap ku pelan menatapnya penuh dengan kerinduan.

Saat itu aku tidak menyadari laki-laki berdiri di belakang ku "Hiara" ucapnya membuat aku kaget dengan lamunanku.

Aku pun menoleh "ayah" celotehku, ayah pun bergegas mendekati aku "Hiara" ucapannya yang membuat ibu di dalam rumah mendengar sehingga membuka pintu rumah namun aku tidak menoleh ke belakang ke arah ibu.

Aku pun langsung berlari meninggalkan ayah "jangan pergi" teriak ayah dan ibu pun menahan ayah yang hendak mengejar aku.

"Ayah, apa-apaan di luar teriak panggil Hiara. Ayah sadar" teriak ibu.

"Itu Hiara" tunjuk ayah.

"Ayah, itu bukan Hiara dari tubuhnya saja berbeda. Ayo kita masuk" saat ibu memaksa ayah masuk ayah langsung melepaskan tangan ibu dan pergi mengejar ku.

Saat ibu yang hendak mengejar ayah suara hp ibu pun berbunyi sehingga ibu masuk lagi ke dalam rumah.

Aku yang berlari langsung bersembunyi "bagaimana ayah bisa tau aku Hiara, jelas-jelas ibu saja tidak mengenali aku waktu itu tapi kenapa ayah bisa" ucapku.

Ayah pun masih berteriak "Hiara."

Saat itu ayah merasa tubuhnya lemah sehingga dia terduduk di tanah sambil menangis "Hiara, kembali lah anakku. Jangan tinggalkan ayah karena ayah rindu."

Aku yang mendengar ucapan ayah itu menangis "ayah aku juga rindu tapi aku harus bagaimana menghadapi ayah dengan tubuh dan wajah seperti ini sekarang" ucapku dalam hati.

Tiba-tiba saat aku ingin pergi dari sembunyian ku aku mendengar tangisan ayah dengan berucap "salah apa ayah nak sampai-sampai kamu meninggalkan ayah, mungkin benar yang di ucapkan wanita itu ini semua salah ayah."

Aku pun menghentikan langkah ku "maksud ayah apa, siapa wanita itu" ucapku dalam hati sehingga aku memutuskan berjalan menghampiri ayah yang masih terduduk.

Aku ikut duduk dan ayah menatap ku dengan wajah tersenyum "Hiara" teriaknya.

"Ayah" ucapku sehingga kami pun berpelukan, "Maaf Hiara ayah" ucapku di pelukan ayah.

Ayah pun menangis semakin kuat "kamu benar-benar memang anakku, hatiku tidak pernah salah walaupun hanya sekilas melihat kamu nak" tangan ayah pun sambil menghapus air mataku.

"Ayo berdiri nak" aku pun pelan-pelan berdiri, kami tidak menyadari awal dari pertemuan kami itu di lihat oleh seseorang.

"Ayah kita duduk di taman" ajakku, namun saat kami menoleh ingin berjalan kami kaget.

"Kakak" ucap Hito berjalan mendekati kami berdua "ayah ini benar kakak" tanyanya sambil menunjuk ke arahku.

"Kamu salah dengar" ucapku.

Dia pun mencubit tangan ku, tingkah yang sering dia lakukan pada ku dulu "aduhhhhh" teriakku memegang tanganku yang di cubitnya.

"Benar memang kakak, asal kakak dan ayah tau aku melihat dan mendengar dari awal ucapan kalian jadi kalian tidak bisa berbohong padaku" marahnya.

Ayah pun tersenyum sambil tertawa "Hito ayah tidak menyembunyikan sesuatu pada Hito, sekarang peluk kakak mu" ucapan ayah yang membuat Hito menangis langsung memelukku.

"Aku enggak nangis yah kak, mataku hanya ke lilipan" celotehnya sambil memelukku.

Ayah pun ikut memeluk dan mencium aku dan Hito "ayo pulang" ajak ayah.

"Tidak ayah, kita ke taman tempat rumah pohon seperti biasa. Aku tidak mau banyak orang yang tau tentang identitas ku, ayo ayah kita ke rumah pohon untuk bercerita" ajakku sambil menggandeng ayah dan Hito.

Sampai di rumah pohon pun aku menceritakan semua kejadian itu pada ayah, walaupun ayah murka mendengar cerita ku namun aku bisa membuat ayah tenang. 3 jam kami selesai cerita sehingga aku membuka hp ku 11.59 menit.

"Ayah 1 menit lagi, akan ada ke hebohan yang terjadi" ucapku "Apa?" ayah penasaran.

"Kita hitung sama-sama" aku dan ayah menghitung saat teng jam 12 siang berita itu keluar membuat aku tersenyum puas membuka hp.

Kami pun turun dari rumah pohon "Ayah aku pamit pulang, aku akan tetap menjalankan rencanaku. Ayah dan Hito harus tetap menjaga rahasia ini walaupun kepada ibu, ini" aku memberikan satu amplop yang berisi uang kepada ayah.

"Ayah tidak butuh ini, ayah sudah bahagia melihat kamu disini" ucapan ayah yang membuat aku tersenyum.

"Ayah ini bukan apa-apa, aku akan datang lagi menemui ayah. Hito jaga ayah dan ibu, ingat tutup mulut cerewet mu itu" sambil mengelus rambutnya.

Aku pergi meninggalkan ayah dan menaiki taksi sambil menelpon seseorang untuk bertemu, sesampai aku di kantor aku segera merapikan baju berjalan keluar dari taksi melihat semua para wartawan berjalan bergelombang menghampiri aku dengan berbagai pertanyaan.

"Maaf aku tidak tau" ucapan ku membuat para wartawan semakin menjadi-jadi.

Feri yang dari dalam gedung melihat aku di hadang oleh para wartawan segera keluar, "jangan pak" ucap Bram saat Feri hendak keluar.

"Apa kamu tidak lihat" marah Feri.

"Saya sudah menghubungi keamanan untuk membantu Ara" jawab Bram, namun Feri tidak menggubris ucapan Bram dan dia segera berjalan namun saat dia mendekati aku tiba-tiba aku sudah tidak ada lagi di cerca oleh wartawan.

"Kemana Ara" Feri kebingungan melihat tidak ada lgi para wartawan di luar.

Saat Feri membalikkan tubuhnya hendak masuk ke ruangan dia kaget wajahnya berhadapan langsung kepadaku, "kamu."

"Ada apa pak?"

"Tadi kamu."

"Aku berhasil loloskan dari para wartawan itu, ayo pak kita masuk" aku pun menarik tangan Feri dan tanganku mengucapkan terimakasih pada seseorang yang bersembunyi di semak-semak yang sudah membantuku tadi.

"Hah, hampir saja" celoteh Nando keluar dari semak-semak itu masuk ke dalam mobilnya.

"Wanita bodoh itu membuat rencana menyusahkan dirinya sendiri, untung saja aku cepat-cepat kemari melihat berita yang tersebar barusan. Kalau sampai di rumah aku akan memarahinya habis-habisan, eh entar dulu deh kok aku seperti peduli sama wanita bodoh itu. Udah lah ke rumah sakit lagi" Nando segera menghidupkan mobilnya dan pergi dari tempat itu.

Aku yang saat itu menarik tangan Feri tidak menyadari kalau dari jauh tatapan wanita melihat ke arahnya dengan tajam, "Hemmmm" mendengar suara Feri membuat ku kaget dan melepaskan pegangan tangan ku.

"Maaf pak."

"Tidak apa-apa" jawabnya.

Bram pun menghampiri kami, "pak karena skandal bapak dan Lidia heboh lebih baik bapak menyelesaikannya dengan cepat, karena di skandal itu ada Ara maka Lidia harus mengucapkan kata maaf pada Ara."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!