Gita dan Mas Tama menggulung karpet besar dan meletakkan nya di pojok ruang tamu. Acara tahlilan dan pengajian telah selesai. Mereka mulai membersihkan sampah-sampah dan mengatur kembali sofa di ruangan itu. Selama beberapa hari ini diadakan pengajian untuk mendo'akan kedua orang tua mereka.
Wajah-wajah sedih masih setia menampakkan diri. Walaupun sudah begitu banyak kalimat-kalimat penghibur berdatangan dari sanak saudara dan para tetangga yang datang berta'zia, tetapi perasaan sedih dan kehilangan tak akan semudah itu menguap. Terlalu banyak kenangan manis yang ditorehkan oleh kedua orang tua mereka. Terakhir, hanya kata dengan mengingat betapa Rahman dan Rahimnya sang penguasa jagat, maka keikhlasan lah yang menyeruak diiringi air mata yang terus menganak sungai.
Vita, yang sibuk keluar masuk menyapu dan membuang sampah dipanggil oleh Gita sang kakak untuk duduk di sofa yang sudah diatur ke bentuk semula. Mereka ingin membicarakan hal penting. Selama masa berkabung mereka bertiga hanya bicara seadanya, hanya kembali memutar rekaman kenangan ibu dan bapak yang berakhir dengan tangis serta raungan kesedihan.
"Vit, duduk sini dek." Gita menepuk tempat duduk disampingnya yang kosong. Ada mas Tama di sana mendengarkan.
Vita pun melangkah mendekat setelah menaruh sapu dan tempat sampah di samping pintu. Perlahan ia dudukkan bokongnya di samping kakaknya.
Gita menatap suaminya, minta izin untuk memulai. Semalaman mereka berdua berdiskusi tentang bagaimana melanjutkan hidup ke depannya setelah kepergian ibu dan bapak.
Mas Tama mengangguk dengan senyum teduh yang tak lepas dari bibirnya.
"Kami akan segera kembali ke kota J. Sudah banyak pekerjaan yang menantikan kami di sana, dek." Gita menarik nafas. Menatap Vita yang tampak bermuka muram. Ada mendung bergelayut di sana. Matanya berkaca-kaca.
Vita mulai menyusut air matanya pelan. Perasaan akan ditinggalkan terbayang di pelupuk matanya.
"Kami akan mengajak kamu tinggal bersama di rumah Kakak." ujar Gita dengan suara bergetar. Yah, tepatnya di rumah kontrakan sederhana di tengah kota dengan usaha yang kecil-kecilan yang baru dirintis.
"Vita gak mau meninggalkan rumah ini, Kak" menggeleng pelan, dia menutup mukanya dengan tangan, ada Isakan kecil di sana.
"Rumah ini tidak boleh dijual!" Bisiknya disela-sela isakannya.
"Cuma ini peninggalan ibu dan ayah, huaaaa." kali ini tangisnya makin kencang. Mas Tama berdehem,
"Ehemm, bukan maksud kakak mu seperti itu. Dengarkan dulu" Ia Berusaha menengahi dengan sabar.
"Iyya, Vit. Kita tidak akan menjual rumah ini."
“Kita bisa menitipnya sama pak RT, tetangga terdekat kita." Gita menelan salivanya. Lalu melanjutkan,
"Sekali sebulan kita akan pulang kesini untuk menginap dan menziarahi pusara ibu sama bapak." hati Gita menghangat, kata pusara mengingatkan nya lagi akan ketiadaan orang tuanya kini. Perlahan dia mengusap air matanya.
"Kita harus melanjutkan hidup dek. Kami punya pekerjaan di kota." Gita mengelus kepala Vita menyalurkan kehangatan seorang kakak. Gita berusaha membujuk sang adik.
“Usaha kecil-kecilan yang baru dirintis dan baru bertunas, kalau ditinggalkan terlalu lama pasti membuat tunas kecil itu mati”bisiknya dalam hati. Pondasi ekonomi suaminya belumlah stabil dan disinilah peranannya sebagai istri dan kakak yang diamanahi menjaga adiknya diuji.
" Kalau kakak mau pergi, pergi saja sana. Saya bisa tinggal sendiri di sini" ujar vita merajuk. Kemudian lari ke kamarnya sendiri menangis. Dia belum siap meninggalkan rumah tempat nya lahir. Begitu banyak kenangan indah dengan ibu dan ayah dalam rumah ini. Walaupun kecil dan sederhana rumah ini bagai istana, bagai surga, dan cangkang yang nyaman. Ketika dunia luar menolaknya. Inilah tempatnya kembali, bersembunyi dari pahitnya dunia nyata.
Mas Tama meremas bahu istrinya lembut,
"Sabar, Vita masih butuh waktu." mereka maklum, Vita yang tidak biasa bergaul di luar sana. Rumah adalah tempat terbaik baginya.
"Iyya mas" jawab Gita dengan senyum tulus.
🍁🍁🍁🍁🍁
Matahari tampak malu-malu menampakkan diri. Setelah hujan semalaman mengguyur bumi. Menggeliat dengan malas, merenggangkan otot-ototnya, Vita bangun dari tidurnya. Selepas sholat subuh dia merebahkan kembali tubuhnya di atas ranjang. Cuaca yang dingin membuatnya malas bergerak. Sayup-sayup terdengar pembicaraan Kak Gita dan Mas Tama.
"Hati-hati mas," ucap Gita sambil mencium punggung tangan suaminya. Tama akan berangkat ke kota pagi ini. Semalam mendapat telpon dari langganan kuenya. Mereka sudah lama kehabisan stok dan meminta kue-kue tersebut harus sudah ready secepatnya. Gita mengantar suaminya sampai depan pagar.
Vita mengintip dari balik jendela. Sejak pembicaraan nya kemarin bersama Gita. Hari ini dia sudah memutuskan akan ikut tinggal di kota bersama kakaknya.
"Aku akan ikut Kak Gita." ujarnya tanpa basa-basi. Ketika Gita melewatinya.
"Alhamdulillah, Kakak seneng dengernya. Yuk kita bersiap. Lebih cepat lebih baik. Kasihan Mas Tama harus men stok orderan sendiri."
"Bagaimana dengan sekolah ku Kak?"
"Kita ke sekolahmu hari ini mengurus surat pindah."
Dengan memakai jasa ojol, Gita dan Vita akhirnya sampai di sekolah. Segera mereka menuju ruang kepala sekolah.
"Turut berdukacita atas berpulangnya orangtua ananda." Ujar kepala sekolah setelah mendengar maksud kedatangan mereka ke ruangannya.
"Silahkan melapor ke bagian staf administrasi agar dibuatkan surat pindah."
Tambahnya lagi dengan ramah.
"Terima kasih pak."
Mereka pun menuju ruang Staf dan Operator. Tidak lama mereka berada di sana cukup meminta Surat pengantar agar diterima di sekolah tujuan. Beberapa saat setelah urusannya selesai. Vita pun menuju ruang kelas untuk berpamitan kepada teman-temannya atas saran Ibu Dyah, sang wali kelas. Sebenarnya Vita sangat enggan kembali kesana. Kelas yang bagaikan ruang khusus perundungan, tetapi demi menjaga etika, akhirnya dia mengikut saja kembali ke kelas.
Vita tak banyak bicara, dia hanya mengikuti saran ibu Diyah, toh selama ini tak ada kesan istimewa yang dia alami dengan teman kelasnya selama dua tahun ini.
Tok
Tok
Tok
Ibu Diyah mendorong pelan pintu kelas. Suara yang tadinya berisik tiba-tiba senyap.
Ibu Diyah melangkah diikuti oleh Vita dengan wajah menunduk.
"Anak-anak. Mohon waktunya sekejap ya." ujarnya memulai. Siswa pun menyimak dengan baik.
"Teman kalian, Vita Maharani akan pindah ke sekolah baru dan hari ini ingin berpamitan dengan kalian."
“Semoga kenangan bersama selama di sekolah ini adalah kenangan yang baik. Dan semoga Vita bisa beradaptasi dengan baik nantinya di sekolah baru.”
Semuanya diam. Tak nampak ekspresi sedih ataupun senang pada wajah mereka. Datar, itulah yang Vita saksikan. Vita jadi merasa tak kasat mata. Padahal dengan badan yang sebesar ini saja dia tak dianggap ada apalagi kalau badannya kecil mungil layaknya sebuah partikel kecil seperti plankton.
Vita tersenyum kaku. Lidahnya kelu dan terasa pahit, menyesal rasanya berpamitan kalau ada dan tiadanya tetap tak berpengaruh.
Dengan hati hancur dia keluar dari kelas. Tekadnya kuat. Sekolah baru nanti harus dia taklukkan. Perlahan pintu tertutup di belakang punggungnya. Tanpa menyadari ada seseorang di sana yang sedang tidak baik-baik saja.
---Bersambung---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Palma077
bagus deh kalo Vita pindah skolah, smoga di skoLah barunya tdk ada yg org yg kerjaiinki
2022-07-11
2
Salpira Salpira
kakak tdk mungkin menjual rumah peninggalan ortumu, Vit...
2022-07-07
3
Fadlan
ada yg khiLangan Vita, siapa dia?
2022-07-07
3