Pergi Ke Kota

🍁

🍁

🍁

🍁

🍁

Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya Kanaya saat rumahnya sudah hancur berantakan dilempari batu. Sementara itu Ayah dan Ibu Kanaya saling berpelukkan, bahkan Ibu Kanaya sudah menangis dipelukkan Ayah Sodikin.

“Ada apa ini?” tanya Kanaya.

“Nah, ini dia anaknya,” seru salah satu warga.

“Ternyata selama ini Pak Sodikin dan Ibu Ajeng sudah menyembunyikannya dari kami semua, kenapa kalian tidak bilang kalau anak kalian mempunyai penyakit yang menular? Apa kalian ingin membuat satu kampung ini tertular penyakit Kanaya?” sambung warga yang lainnya.

“Ibu-ibu dan Bapak-bapak semuanya, maaf saya tidak mempunyai penyakit menular, itu semua hanya fitnah,” sahut Kanaya.

“Alah, mana mungkin kamu ngaku bahkan kami dengar kalau kamu sudah dikeluarkan dari sekolah.”

Ayah dan Ibu Kanaya menatap Kanaya dengan tatapan terkejut.

“Kamu dikeluarkan dari sekolah, Nak?” tanya Ayah Sodikin.

Kanaya hanya bisa menundukkan kepalanya, lagi-lagi airmatanya kembali menetes.

“Ya Alloh, siapa yang sudah menyebarkan fitnah seperti ini,” seru Ibu Ajeng.

“Pokoknya kalian harus pergi dari kampung ini, kami tidak mau sampai tertular dengan penyakit Kanaya,” seru salah satu warga.

Mereka kembali melempari rumah Kanaya dengan batu membuat tangisan Kanaya dan Ibu Ajeng semakin pecah.

“Berhanti, apa yang sudah kalian lakukan?” seru Juragan Wasta.

“Juragan, Kanaya mempunyai penyakit menular  kami tidak mau tertular dengan penyakit Kanaya, maka dari itu kami ingin Kanaya dan keluarganya pergi dari kampung ini,” sahut salah satu warga.

“Pak Sodikin, kemasi barang-barang kalian biar Pak Sodikin dan sekeluarga tinggal di bedeng saya,” seru Juragan Wasta.

“Baik Juragan.”

Pak Sodikin pun segera berkemas, setelah semuanya dikemas Juragan Wasta pun membawa Kanaya dan kedua orang tuanya pergi dari sana.

Selama dalam perjalanan semuanya tampak hening.

“Jangan khawatir, ada bedeng yang bisa kalian tempati,” seru Juragan Wasta.

“Maaf Juragan kami sudah menyusahkan Juragan, kami janji setelah kami punya uang kami akan mencari kontrakan,” sahut Pak Sodikin.

“Tidak usah dipikirkan, lagipula bukannya Kanaya beberapa bulan lagi ujian soalnya Kanaya sepantar dengan anak saya yang sekarang sekolah di kota.”

“Iya, tapi Kanaya sudah dikeluarkan dari sekolah, Juragan,” sahut Ibu Ajeng.

“Apa? Sebenarnya siapa yang sudah menyebarkan fitnah keji ini? Orang itu sangat keterlaluan,” kesal Juragan Wasta.

“Ibu dan Ayah jangan khawatir karena Bu Marni akan datang ke rumah untuk mengajarkan Kanaya dan Kanaya juga masih bisa ikut ujian walaupun sudah tidak sekolah lagi,” sahut Kanaya.

“Alhamdulillah kalau begitu,” seru Ayah Sodikin.

Tidak lama kemudian, mereka pun sampai di kawasan perkebunan dan Juragan Wasta mengantarkan keluarga Kanaya ke sebuah bedeng kosong.

“Nah, Pak Sodikin kalian bisa tinggal disini. Tinggalah sampai kapan pun, daripada harus ngontrak lebih baik uangnya kalian tabung untuk kebutuhan Kanaya,” seru Juragan Wasta.

“Sekali lagi terima kasih banyak Juragan, kami tidak bisa membalas semua kebaikan Juragan tapi Alloh yang akan membalasnya berkali-kali lipat.”

“Amin, ya sudah kalau begitu saya pamit semoga kalian betah tinggal disini.”

Juragan Wasta pun meninggalkan Pak Sodikin dan keluarga, lalu ketiganya masuk ke dalam bedeng.

“Maafkan Aya, Bu, Yah, gara-gara Aya kita semua menjadi seperti ini.”

“Tidak Nak, ini semua bukan salah kamu tapi Ibu tidak habis pikir siapa yang sudah memfitnah kamu seperti itu? Padahal setahu Ibu kamu tidak mempunyai musuh.”

“Aya juga tidak tahu Bu “

“Ya sudah, lebih baik sekarang Ibu dan Aya istirahat saja soalnya Ayah mau ke kebun dulu.”

Ayah Sodikin pun pergi ke kebun, sedangkan Kanaya segera masuk ke dalam kamarnya. Kanaya duduk termenung di ujung ranjang, otaknya dipenuhi dengan wajah Jonathan, entah kenapa Kanaya berpikir kalau semua ini perbuatan Jonathan.

“Sampai kapan pun aku akan membencimu dan aku berharap tidak akan pernah bertemu dengan orang sepertimu lagi, Jonathan,” batin Kanaya dengan mengepalkan tangannya.

 

***

Keesokkan harinya...

Kanaya mulai menjalani aktifitasnya, karena Kanaya sudah tidak sekolah, Kanaya akhirnya ikut kepada Ayahnya untuk membantu pekerjaan Ayahnya di kebun.

Kanaya tidak pernah mengeluh, justru dia semakin semangat menjalani hidupnya. Bu Marni setiap hari datang ke rumah Kanaya untuk memberikan materi-materi pelajaran.

Disisi lain, semenjak Kanaya keluar dari sekolah Jonathan merasa kesepian karena tidak ada lagi orang yang dia bully dan hina.

“Ya ampun, kenapa aku jadi memikirkan si manusia Alien itu? Ah, ternyata sepi juga ga ada si manusia Alien, ga ada yang bisa aku kerjain,” batin Jonathan.

Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, setelah berbulan-bulan belajar di rumah saatnya ujian nasional pun tiba. Kanaya mengerjakan ujian di ruangan guru tanpa sepengetahuan siswa-siswa yang lainnya.

Kanaya mengerjakan ujian dengan fokus dan serius, hingga waktu ujian pun selesai dan Kanaya bisa bernafas lega.

“Aya, bagaimana dengan ujiannya?” tanya Ayah Sodikin disela-sela kegiatannya memanen cabe rawit.

“Alhamdulillah lancar Yah, semoga Aya bisa lulus dengan nilai yang bagus.”

“Amin, Ayah dan Ibu selalu mendo’akan yang terbaik untukmu.”

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 sore, Kanaya dan Ayah Sodikin pun pulang. Sesampainya di rumah, ternyata ada tamu yang sedang berbincang dengan Ibu Ajeng.

“Wati.”

“Bibi Wati.”

Ayah Sodikin dan Kanaya berseru bersamaan, Wati adalah adik Ayah Sodikin satu-satunya. Kehidupan Wati terbilang sangat beruntung karena Wati mendapatkan suami orang kaya maka dari itu sekarang Wati tinggal di kota bersama anak dan suaminya.

“Akang Sodikin kenapa tidak bilang kepada Wati kalau kalian di fitnah seperti itu? Wati kan bisa minta bantuan Akang Sopandi untuk mencari orang yang sudah memfitnah Kanaya,” kesal Wati.

“Sudahlah Wati, semuanya sudah berlalu lagipula Akang tidak mau sampai menyusahkan kamu dan suamimu.”

“Akang itu Kakak Wati satu-satunya, mana mungkin saat keluarga Akang sedang kesusahan Wati hanya diam saja. Pokoknya Wati tidak mau tahu, Akang dan sekeluarga harus ikut Wati ke kota.”

“Tidak Wati, Akang malu sama suami kamu kalau kami semua ikut kamu ke kota. Lagipula Akang akan bekerja apa di kota? Akang sama sekali tidak punya keahlian.”

“Tapi Wati tidak bisa melihat Akang dan keluarga dihina dan di fitnah seperti ini.”

“Wati, kami tidak apa-apa kok semuanya sudah berakhir,” sahut Ibu Ajeng.

Wati kemudian menoleh ke arah Kanaya yang dari tadi hanya diam.

“Ya sudah kalau Akang dan Teteh tidak mau ikut, biar Kanaya saja yang ikut dengan Wati ke kota.”

Ketiganya saling berpandangan satu sama lain.

“Kalau Akang mah terserah Kanaya saja.”

“Bagaimana Aya, kamu mau kan ikut Bibi ke kota? Di kota kamu bisa masuk ke pabrik tempat Mamang kamu bekerja, kalau kamu tetap disini masa depan kamu suram mau kerja apa disini? Mau ikut Ayah kamu di kebun?”

Kanaya tampak berpikir. “Baiklah Bi, Aya mau ikut Bibi ke kota bolehkan Yah, Bu?”

“Kalau Ibu terserah kamu saja.”

“Ayah juga terserah kamu saja.”

“Ya sudah, kapan pengumuman kelulusan kamu?” tanya Wati.

“Minggu depan, Bi.”

“Oke, minggu depan Bibi kesini lagi jemput kamu.”

“Iya Bi.”

Setelah berbincang-bincang melepas rindu, Wati pun pamit pulang kembali ke kota.

 

Satu minggu kemudian...

 

Gina datang ke rumah Kanaya dan memberitahukan Kanaya lulus dengan nilai terbaik, membuat Kanaya sangat bahagia.

“Kanaya, kamu jadi berangkat ke kota?” tanya Gina.

“Iya Gin, aku ingin mengubah nasib aku mudah-mudahan di kota aku bisa beruntung dan sukses.”

“Amin, tapi kalau sudah sukses jangan lupa sama aku.”

“Tidak akan, sampai kapan pun aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Gina pun memeluk Kanaya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Aya, Bi Wati sudah datang!” seru Ibu Ajeng.

“Iya Bu.”

Kanaya melepaskan pelukkannya dan mengajak Gina ke depan. Kanaya membawa tas besar berisi pakaiannya.

“Ibu, Ayah, Aya pergi dulu. Aya akan sering-sering mengabari kalian.”

“Iya Nak, baik-baik kami di kota dan jangan lupa kamu harus menurut kepada Bibi kamu.”

“Iya Bu.”

“Wati, Akang titip Aya.”

“Iya Kang, kalian jangan khawatir Aya akan baik-baik saja.”

Kanaya pun menghampiri Gina. “Gin, aku pamit semoga kita bisa dipertemukan kembali.”

“Iya, kamu hati-hati ya di kota.”

Kanaya pun segera masuk ke dalam mobil Wati, perlahan mobil itu mulai melaju meninggalkan perkampungan tempat dimana Kanaya dibesarkan.

“Aku akan membuktikan kalau aku akan menjadi orang sukses,” batin Kanaya.

🍁

🍁

🍁

🍁

🍁

Jangan lupa

like

gift

vote n

gift

TERIMA KASIH

LOVE YOU

Terpopuler

Comments

rika mayanti

rika mayanti

semog bibik ny ga jahat..

2022-07-20

3

Novianti Ratnasari

Novianti Ratnasari

semqngat

2022-06-08

1

Aqiyu

Aqiyu

Aya buat Jonatan mengemis maafmu

2022-06-01

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!