Antar Olivia pulang

Seusai mengantarkan Olivia kembali ke kost, Marco lalu meminta nomor telepon Olivia.

“Liv, boleh tukeran nomer telepon?”

“Owh, boleh, benatar ya, aku nggak inget nomer ku.”

Olivia lupa kalau ponsel pribadinya telah dia nonaktifkan.

“Astaga Marco, maaf banget, aku baru ingat kalau handphone ku, aku tinggal di kamar dan posisi aku nonaktifkan.”

“Owh, gitu ya,”

“Iya, maaf banget ya. Em, atau kalau nggak kamu kasih nomer kamu aja. Biar nanti aku yang hubungi kamu.”

“Boleh, bentar,” ucap Marco seraya mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya.

“Ini Liv, aku tunggu ya.” Lanjut Marco.

“Siap, siap. Ntar aku hubungi kamu,”

Marco tersenyum kecil. Ia lalu berpamitan pulang.

“Kalau gitu aku balik dulu ya.”

“Iya makasih ya Marco karena udah mau aku repotin.” Ucap Olivia tersenyum tipis.

“Santai aja, aku nggak merasa direpotkan kok. Bye, Liv.”

“Bye juga Marco.”

Setelah Marco pergi, Olivia lalu masuk kedalam kost, ia kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Dia menatap langit-langit di kamarnya.

“Ya Tuhan, gila ya, gila, gila, gila!” Batinnya geram.

“Percuma aku pergi dari rumah kalau nyatanya mommy tak peduli! Jadi sebaiknya besok aku akan kembali ke rumah saja. aku tak enak jika harus merepotkan Renata tinggal di sini berlama-lama. Dan mulai sekarang aku akan cari kebahagiaan untuk hidupku sendiri. Karena aku berhak bahagia.” Gumamnya dari dalam hati.

 

Olivia lalu bangkit, ia kemudian mengambil ponsel pribadinya di atas meja. Dia hidupkan ponselnya berniat akan menghubungi Marco.

Setelah ponselnya di nyalakan, ada beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk dari mommy atau pun papinya.

“Munafik, mereka sok peduli mencariku. Padahal sebenarnya diriku ini tak penting untuk mereka!” Batinnya dari dalam hati.

Olivia lalu menekan satu persatu nomor telepon yang tertulis di sebuah kartu nama yang baru saja diberikan olehnya.

“Hay Marco.”

“Iya, hallo, ini siapa ya?”

“Aku Olivia.”

“Owh, kamu. Aku sudah menunggumu dari tadi, tau.”

“Serius?”

“He’em…”

“Apa kamu sudah sampai rumah?”

“Iya, baru aja aku sampai rumah.”

“Kok cepet sih?”

“Loh, rumah ku itu nggak jauh dari kostan mu Liv.”

“Serius?”

“Iya, bener deh.”

“Kalau begitu, gimana kalau kita keluar cari makan?”

“Tengah malam gini?”

“Hu’um,”

“Emang kamu mau makan apa?”

“Nggak tau deh, yang pasti bukan bakso. Ha…. Ha… Ha…”

“Ya, udah aku ke situ sekarang ya.”

“Okay, aku tunggu ya.”

Olivia sengaja mengajak keluar Marco tengah malam karena ia ingin membuang penatnya. Hanya butuh waktu lima belas menit Olivia menunggu Marco.

Bbiimm,

Suara klakson mobil terdengar, Olivia segera keluar dari kamar lalu pergi menghampiri Marco dan kemudian masuk ke dalam mobil.

“Hay,”

“Hay, cepet banget sih nyampenya.”

“Kan sudah aku bilang, jarak rumahku nggak jauh dari kost mu itu.”

Olivia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah, kamu mau makan apa?”

“Nggak tau,”

“Loh, kok nggak tau? Katanya laper?”

Olivia hanya meringis.

“Kalau gitu aku ajak kamu nongki di tempat langganan ku aja ya.”

“Terserah deh, aku ngikut aja.”

Mereka berdua kemudian pergi bersama-sama untuk mencari sebuah makanan pengisi perut yang kosong. Tak lama sampailah mereka di sebuah tempat makan. Marco turun dan membukakan pintu mobil Olivia.

“Sudah sampai.”

“Owh, sini. Tempatnya seperti asik buat nongkrong ya Marco.”

“Iya, betul sekali. Tempatnya nyentrik, terus lampunya remang-remang gitu, nanti kalau kita masuk ke dalam di sana juga ada ornament-ornamen barang-barang antic gitu.”

“Serius?”

“Hu’um…”

“Jadi penasaran.”

“Kalau gitu kita masuk sekarang.”

Mereka masuk ke dalam, Olivia di buat kagum melihat suasana disan.

“Ternyata masih rame ya? Padahal ini udah hampir jam dua belas malam.”

“Di sini tutup jam tiga pagi. Jadi kita masih punya waktu buat nongkrong Liv.”

“Baiklah, kau pintar sekali cari tempat makan yang enak seperti ini Marco.”

Marco tersenyum kecil.

**

Seusai mengisi perutnya yang sedari tadi berisik dan perih. Udara dingin menerjang, membelai perlahan pori-pori kulit tubuh hingga merasuk kedalam tulang rusuk. Olivia merasa kedinginan, ia terus mengusap-usap kedua lengannya karena halter dress tanpa lengan yang tengah ia kenakan.

Bibirnya hampir memucat akibat dinginnya angin malam, ditambah lagi cuca di luar sana sedang turun hujan.

“Dingin banget ya,” sambat Olivia.

Marco berdiri dan bangkit dari tempat duduknya, ia lepaskan jaket yang kala itu tengah dia kenakan.

“Ini pakailah.” Ucapnya seraya meletakkan jaketnya di tubuh Olivia.

“Tapi kamu,”

“Sudah, tenanglah. Aku tau kamu sangat kedinginan. Lihat bibirmu sedikit pucat.”

“Sungguh?”

Marco mengangguk-anggukan kepalanya seraya tersenyum kecil.

“Thanks ya Marco,” lanjut Olivia.

Selepas itu, karena waktu terus berputar, Marco mengajak Olivia pulang.

“Sepertinya ini udah malam banget, sebaiknya aku antarkan kamu pulang sekarang ya.”

“Baiklah Marco.”

Malam yang menyeramkan, hujan lebat mengguyur kota itu. Cuaca yang tak memungkinkan membuat mereka harus menunda rencana untuk kembali pulang ke kost.

“Marco, hujannya lebat sekali.”

“Iya, ditambah anginnya juga kencang sekali, belum lagi suara petir yang sedari tadi terus terdengar berisik seperti ini.”

“Kamu yakin mau balik sekarang?”

Marco terdiam dengan beribu pandangan.

“Gimana kalau kita tunggu agak reda sedikit ya,”

“Sebaiknya begitu deh Marco. Aku takut kalau di jalan ada apa-apa nanti.”

“Ya udah, kita kembali duduk di dalam saja dulu. Di luar sini dingin banget.”

Mereka berdua kembali duduk di dalam tempat makan tadi. Hampir satu jam hujan tak kunjung reda, bahkan angin terus berhembus kencang, sedangkan suara petir terus menyambar keras sampai terdengar ke rongga-rongga telinga.

“Udah jam dua malam nih Liv, gimana kalau kita nekat aja?”

“Tapi Marco,”

“Kalau kita terus menunggu reda, kita akan bermalam di sini nanti. Takutnya kamu nggak bisa masuk ke dalam kost.” Ujar Marco.

“Ya udah deh kalau gitu, kita balik sekarang aja.”

“Baiklah, percaya aja, semua akan baik-baik kok. Aku janji akan mengantarkan kamu pulang dengan selamat.” Ucap Marco menenangkan daya pikir Olivia.

“Kamu tunggu aku di sini, biar aku ambil mobilnya dulu.”

“Baiklah.”

Marco berlari seraya menutupi kepalanya dengan telapak tangan menangkis butiran air hujan yang berjatuhan mengenai kepalanya.

Sesampai kaki dia berada tepat di samping mobilnya, ia dengan segera menghidupkan mobil dan langsung menjemput Olivia.

Bbiiimm!

Marco mengambil sebuah payung, dan berlari keluar mobil untuk menjemput Olivia.

“Ayo Liv,”

“Iya, iya.”

Seusai mereka berdua masuk, mereka segera pergi untuk pulang.

“Marco, sebagian badan kamu basah. Sebaiknya kamu pakai jaketmu ini saja.”

“Nggak usah, jaketnya kamu pakai saja.”

“Tapi Marco,”

“Aku nggak apa-apa Oliv, percaya deh.”

“Takutnya ntar kamu sakit, Marco.”

“Enggak, beneran. Pakai aja ya. Sekarang kita pulang.”

“Baiklah.”

Mereka berdua lalu pergi dari tempat itu walau hujan terus berjatuhan dengan begitu lebat.

Namun, sesampainya di kost, Olivia turun dan mencoba membuka pintu gerbang kost tersebut, akan tetapi pintu itu sudah digembok oleh penjaga kost. Sedangkan Olivia sama sekali tak membawa kunci gembok gerbang tersebut.

“Gimana Liv,”

“Marco, pintu gerbangnya sudah di gembok sama penjaga kost.” Terang Olivia apa adanya.

“Terus gimana?”

Olivia terdiam seraya menggerakan kedua pundak yang memberikan isyarat kalau dirinya bingung.

“Bentar, aku coba telepon temen ku dulu.” Lanjutnya.

Bersambung…

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!