“Papi?!” Ucap Olivia lirih seraya membulatkan kedua matanya.
“Bagus, terus aja nyusahin orang tua seperti ini!” Sindir Jonatan.
“Maksud papi?”
“Kenapa kamu nggak pulang?! Kenapa kamu ada di sini?!”
“Aku hanya ingin memulihkan kondisi tubuh ku pi.”
“Cepat pulang, jangan bikin cemas orang tua.”
“Nggak, aku nggak mau pulang pi.”
“Oliv! Kau itu sudah dewasa, kenapa sikapmu masih seperti anak kecil!”
“Pi, aku sedang tak ingin banyak berdebat dengan papi, sebaiknya sekarang papi pulang saja. Aku mau tidur.” Ucap Olivia sembari membalikan tubuhnya.
“Oliv! Papi belum selesai bicara!”
“Papi mau ngomong apa lagi sih pi? Sudahlah papi pergi saja.”
“Kamu ini semakin lama semakin nggak bisa diatur ya! Percuma tau nggak, papi sekolahin kamu sampai tinggi, tapi kamu sama sekali tak memiliki budi pekerti yang baik! Udah berapa duit papi ngeluarin uang buat kebutuhanmu selama ini?!”
Mendengar ucapan itu Olivia lalu berpaling menoleh ke belakang.
“Owh, jadi maksud papi, papi keberatan ngeluarin duit banyak buat aku?”
“Okey fine! Akan aku kembalikan semua yang sudah papi kasih setelah aku bekerja nanti! Sekarang papi pergi! Pergi! Cepat pergi!” Kata Olivia seraya membanting pintu dengan sangat keras.
Brak!
“Emang anak gak tau di untung kamu!” Pekik Jonatan dari balik pintu.
Olivia menangis sejadi-jadinya. Ia sangat kecewa dengan perkataan papinya tadi.
“Hiks… Hiks… Hiks… Tuhan, kenapa aku harus dilahirkan di dunia ini jika aku harus terus tersakiti seperti ini?! Sungguh, aku tak mau berada di posisi seperti ini. Aku ingin mati Tuhan, hiks… hiks… hiks…” Ucap Olivia lirih seraya menyeka bulir bening yang berjatuhan di ujung hidung kecilnya itu.
Siang yang terik, perut Olivia tiba-tiba berbunyi dan terasa perih. Ia berjalan keluar dari kost untuk mencari makanan di luar sana.
“Duh, laper banget lagi.”
Ia menoleh pada tukang bakso di seberang jalan yang sedang mangkal. Langkah kakinya pun melangkah pasti menuju ke gerobak bakso berwarna biru.
“Bang bakso campurnya satu dong, dibungkus ya bang.” Ucap Olivia seraya menunjukkan jari telunjuk.
“Beres, Neng,” sahut si pedagang bakso itu.
Seusai memesan satu porsi bakso, Olivia duduk di kursi plastik yang sudah disediakan oleh si pedagang bakso.
“Silahkan duduk neng.”
“Owh, iya makasih bang.”
Datanglah seorang laki-laki muda.
“Bang, bagi api dong.” Pinta seorang pemuda mengenakan jaket hitam bertudung.
Pria itu lalu duduk di hadapan Olivia menunjukkan punggungnya. Tak lama si pedagang bakso memberikan sebuah pesanan bakso campur milik Olivia.
“Ini Neng,”
“Berapa bang?”
“Lima belas ribu.”
Olivia lalu membuka dompetnya, namun sayang di dalam dompet itu tak ada selembar uang cash yang akan dia bayar kepada si pedagang bakso.
“Gimana Neng?”
“Aduh bang, maaf banget, ternyata di dompetku nggak ada uang cash.”
“Gimana sih neng, kalau nggak punya duit jangan minta bakso lah.”
“Maaf bang, terus gimana ya bang? Em, atau nggak baksonya aku titip di sini dulu ya, aku mau ambil uang di atm, terus nanti aku kesini ambil baksonya bang.”
“Gimana sih neng, aku kan juga harus jalan lagi dan keliling lagi. Kalau nunggu neng di sini, sama aja aku buang-buang waktu dong.” Ucap si pedagang bakso yang sudah mulai kesal.
Pria berjaket hitam tadi lalu berdiri, ia terus membayar bakso yang di pesan oleh Olivia.
“Bang, bang, biar aku saja yang bayar baksonya.”
“Eh, nggak usah mas.” Ucap Olivia menampik tawaran pria itu.
“Nggak apa-apa mbak. Berapa bang?”
“Lima belas ribu mas.”
“Owh, ya. Ini bang, ambil aja kembaliannya.”
Selesai membayarkan bakso miliknya, Olivia mengucapkan terimakasih seraya menampakan wajahnya yang canggung.
“Terimakasih ya mas, karena sudah repot-repot mau membayarkan bakso saya ini.”
“Iya, sama-sama.”
“Sebenarnya saya nggak enak banget sama mas-nya.”
“Santai aja mbak. Aku Marco.” Ucap Marco yang menyodorkan tangannya mengajak Olivia berkenalan.
“Owh, mas Marco. Aku Olivia.” Jawab Olivia tersenyum tipis.
“Nanti aku ganti ya uangnya.”
Marco tersenyum geli.
“Sudahlah, aku ikhlas kok. Silahkan di makan baksonya.”
Kedua pipi Olivia memerah akibat malu kepada pria tersebut.
“Sekali lagi makasih ya mas Marco.”
Pria itu kembali memberikan senyum manisnya untuk Olivia.
Olivia lalu berjalan menuju ke kost. sesampainya di kost ia langsung mengisi perutnya yang sedari tadi terus berbunyi.
Sore harinya, Renata pulang dari kampus.
“Aku pulang.” Ucap Renata.
“Ih, ini anak masih molor.”
Renata lalu bergegas pergi ke toilet untuk melakukan ritual membersihkan seluruh badannya.
Selesai mandi Renata keluar, ia masih melihat Olivia tidur.
“Woe bangun woy, udah sore.” Ucap Renata mengguncangkan tubuh Olivia.
“Kamu pulang kapan? Kok aku nggak tau?”
“Udah dari tadi. Kamu sih kayak kebo, kalau sudah tidur mana bisa denger apa-apa.”
“Sepertinya efek obat deh Re.”
“Minum obat nggak minum obat menurut ku juga sama aja. Ha… ha… ha…”
“Sialan lu!” Kata Olivia yang kemudian menyandarkan tubuhnya di bahu tempat tidur.
“Udah sana mandi gih, keburu dingin airnya.”
“Ntar aja ah.”
“Bau tau!”
“Iya, iya bawel.”
“Owh iya Liv,”
“Hem,”
“Zack tadi telepon aku, nanyain kamu.”
“Terus?”
“Terus dia ngajak kita clubbing. Gimana?”
“Memangnya mau pergi jam berapa?”
“Gimana kalau kita pergi jam sembilan aja?”
“Ya deh. Aku mau lanjut tidur lagi.”
“Dasar kebo!”
Tepat pukul sembilan malam, Zack datang menjemput Renata dan juga Olivia di kost.
Bim,
Suara klakson mobil terdengar nyaring dari luar kamar.
“Eh, itu Zack udah sampai Liv.”
“Ya udah ayo, kita keluar.”
“Bentar aku ambil tasku dulu.”
“Hem, aku keluar dulu ya.”
“Iya, iya Liv.”
Kaki rampingnya melangkah keluar dari kamar kost. Ia berjalan mendekati mobil Zack yang berhenti di luar gerbang.
“Malem sayang,” sapa Zack tersenyum semringah.
“Sayang, sayang, pala lu peyang.”
“Idih galak bener.”
“Brisik deh,” ucap Olivia seraya membuka pintu mobil.
Ia lalu masuk dan duduk di depan.
“Liv, kenapa sih nomor kamu susah banget dihubungi?”
“Sengaja ponsel ku aku nonaktifkan beberapa hari ini.”
“Kenapa?”
“Males aja.”
“Kok gitu? Aku jadi susah banget mau hubungi kamu.”
“Biarin wekk!”
“Aku kangen tau Liv,”
“Apaan sih kamu tuh Zack.”
“Eh, beneran tau.”
“Bodo amat ah.”
“Serius Liv, aku kangen banget sama kamu.”
“Husstt!” Olivia meminta Zack untuk diam.
Tak lama Renata datang dan langsung membuka pintu belakang mabil, ia lalu duduk di kursi no dua.
“Hay Zack.” Sapa Renata.
“Hay manis.”
“Aaa, Zack. Baru kali ini loh ada orang yang bilang kalau aku manis, aku jadi malu ah.”
“Re, jangan polos-polos amat kenapa? Zack mah sering banget bilang gitu ke semua cewek.”
“Ha? Serius Zack!”
Zack tertawa geli.
“Renata, Renata. Kamu ini lugu banget.”
“Di amah bukannya lugu, tapi o’on. Udah yuk jalan.”
“Sialan kamu Liv.”
Mereka bertiga kemudian pergi menuju ke clubbing yang sudah di rencanakan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments