“Kamu bisa diam nggak sih?! Stop untuk menyalahkan aku terus! Ternyata memang tepat pilihan ku untuk hidup berpisah sama kamu! Karena ini, ini yang membuat aku nggak betah hidup berlama-lama sama kamu! Udah egois, kasar, keras kepala, dan pemarah lagi.”
“Jaga ya ucapanmu!” Sengak Jonatan seraya berkacak pinggang dengan kedua matanya yang melotot.
“Kenapa? Nggak terima aku bilang gitu? Memang kenyataannya begitu kan? Dulu kalau buka karena almarhum ayahku, aku nggak bakal sudi nikah dan punya anak sama laki-laki macam kau!”
“Apa kau bilang!”
Seketika tangan Jonatan dia hempaskan ke udara seakan ingin menampar wajah seorang wanita yang tengah berdiri di hadapannya.
“Kenapa? Kau mau menamparku? Tampar saja, tampar! Aku nggak takut! Laki-laki macam kau tuh tak patut mendapatkan wanita yang baik seperti ku!”
“Cuih! Apa kau bilang, kau bilang diri kau itu baik?! Jangan mengada-ada, berhenti berhalusinasi. Aku pun menyesal karena telah menikah dengan wanita yang tak punya otak seperti kau itu!”
“Menyesal?! Taik!”
“Ya memang benar, kau itu, sudah tak cantik, gaya bicaranya tinggi, wanita yang kasar dan sok asik!”
“Anj*ng ya kau!”
Kedua orang itu, terus saling beradu mulut di hadapan putri semata wayang mereka, hingga membuat Olivia harus berdengking keras.
“Hentikan!” teriak Olivia.
Jonatan dan juga Rani seketika menoleh ke putrinya. Olivia berusaha bangun dengan kepalanya yang masih terasa berat, walau dokter memintanya untuk tetap beristirahat.
“Aku mau papi sama mommy segera pergi dari sini! Cepat tinggalkan aku sendiri!” Seru Olivia dengan nafas yang memburu memanifestasikan emosinya.
Rani berjalan mendekati putrinya. Namun, langkahnya mendadak berhenti.
“Stop! Jangan mendekat! Aku minta kalian segera pergi dari sini! Cepat pergi!”
“Sa—sa—sayang, nak.”
“Aku bilang pergi! Pergi!” Pekik Olivia.
Tanpa mengatakan apapun, Jonatan langsung pergi meninggalkan ruangan putrinya, sedangkan Rani, masih berdiri tegak di ruangan itu.
Perlahan ia berjalan mendekati putrinya, “Oliv,”
“Apa?! Apa mommy tidak mendengar yang ku katakan tadi?!”
“Oliv, Mo—mommy,”
“Aku bilang pergi, cepat tinggalkan aku sendiri! Aku nggak butuh orang tua seperti kalian berdua! Cepat pergi!” Teriak Olivia dengan suara menggema memenuhi seluruh ruangan itu.
Melihat wajah anaknya yang tengah dipenuhi amarah, Rani pun tak lagi bersuara. Ia lalu berbalik dan pergi meninggalkan bangsal Olivia.
Olivia duduk, ia menangis sejadi-jadinya, kehadiran kedua orang tuanya justru membuat dirinya semakin remuk hatinya.
Renata yang baru saja datang terheran melihat sahabatnya menangis tersedu-sedu di hospital bed. Ia langsung berlari menghampirinya.
“Hey, hey, kamu kenapa Liv?”
Seketika Olivia berdiri dan langsung memeluk tubuh sahabatnya. Sambil sesenggukan ia menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Renata kaget, saat mendengarkan cerita tersebut.
“Sumpah ya, papi sama mommy kamu tuh emang nggak punya hati banget. Tau anaknya lagi di rawat di rumah sakit, mereka malah ribut di depan anaknya. Nggak tau deh, bener sama jalan pikir mereka. Kamu yang sabar ya Liv.”
“Aku bener-bener nggak kuat, Re. Aku kira mereka datang ke sini tuh karena mengkhawatirkan diriku, tapi mereka hanya memperdebatkan yang nggak penting. Hiks… Hiks…. Hiks…”
“Kamu yang sabar ya Liv, kamu harus kuat.”
“Kenapa kisahku begitu menyedihkan seperti ini sih? Kenapa aku harus hidup dan dilahirkan oleh mereka.”
“Hust… hust, udah lah jangan menyalahkan takdir. Sekarang sebaiknya kamu fokus dengan kesembuhan kamu saja. Masih ada aku yang akan selalu ada buat kamu Liv, ya.”
“Tenks ya Re,”
“Sekarang kamu istirahat ya. Rebahan aja di hospital bed, nggak usah kamu pikirkan yang lain-lain. Aku yakin kamu bisa melewati ini semua.”
Olivia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menghapus air matanya yang terlebih dulu berjatuhan.
**
Beberapa hari kemudian, dokter telah mengizinkan Olivia untuk pulang, karena kondisinya sudah membaik.
Renata begitu setia menemani Olivia sejak pertama kali dia dirawat di rumah sakit, hingga sampai dokter memperbolehkan untuk pulang.
“Liv, aku antar kamu pulang ya.”
“Tapi Re, sebenarnya aku nggak mau pulang ke rumah Re,”
“Loh, kenapa?”
“Aku males balik. Boleh nggak aku tidur dan tinggal sama kamu aja?”
“Em, boleh aja sih. Baiklah, kita pulang ke kost ku saja dulu.”
“Tenks ya Re,”
“Sama-sama.”
Olivia sengaja tak ingin kembali ke rumah yang di rasa rumah itu bagaikan neraka untuk dirinya. Dia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya beberapa waktu nanti.
Dalam perjalanan menuju ke kost, mereka berdua saling berbincang-bincang.
“Aku senang deh, akhirnya kamu udah sembuh.” Kata Renata.
Olivia hanya melebarkan senyumnya.
“Liv, kamu kenapa sedih?”
Olivia lalu menyandarkan kepalanya di pundak Renata.
“Re, aku bersyukur sekali punya teman yang baik seperti kamu. Makasih ya, kamu udah mau menemani aku selama aku di rawat di rumah sakit.”
“Iya, sama-sama. Eh, tapi itu semua nggak gratis loh.”
“Maksud kamu Re?” Tanya Olivia penasaran.
“Pokoknya, nanti kamu harus traktir aku ramen, okay. Ha… ha… ha…”
“Iya deh, aku bakal traktir kamu makan ramen sepuasnya, sampe perut kamu kenyang.”
Mereka berdua pun lalu tertawa lepas di dalam mobil yang membawanya menuju jalan pulang. Renata sengaja ingin menghibur sahabatnya yang saat itu sedang sedih perasaannya.
Olivia sengaja tak memberikan kabar tentang dirinya yang sudah diizinkan pulang oleh dokter kepada kedua orang tuanya, Jonatan dan Rani kembali di pertemukan lagi di rumah sakit itu.
“Ngapain kamu ke sini lagi?” Tanya Rani sengak.
“Loh, aku ke sini untuk menjenguk putriku!” kata Jonatan seraya menatap sinis wajah Rani.
“Putrimu?! Ngurusin aja nggak pernah ngaku putrimu!”
“Ah, cerewet! Minggir, aku mau masuk!”
“Kamu itu yang minggir! Aku yang masuk duluan, karena aku ibunya.”
“Ah, terserah kamu saja!”
Rani lalu membuka pintu dan mereka masuk secara bersamaan. Akan tetapi mereka dibuat tercengang ketika melihat hospital bed sudah nampak bersih dan tak berpenghuni.
“Loh, kok tempat tidurnya udah rapi dan kosong? Terus di mana anak kita?” Tanya Rani.
“Kamu ini pikun ya! Mana aku tau Olivia di mana sekarang?! Apa Olivia sudah di perbolehkan pulang oleh dokter?”
“Tapi dia sama sekali belum pulang ke rumah. Coba kita tanyakan saja sama dokter sekarang.”
Mereka lalu bersama-sama melangkahkan kakinya untuk menemui petugas. Sesampainya di ruang petugas, Rani bertanya, “Permisi sus,”
“Iya, silahkan duduk.” Jawab suster itu.
“Mau tanya, pasien yang di bangsal melati no 15 itu dimana ya sus? Kok ruangan sudah kosong dan rapi seperti sudah tak berpenghuni?”
“Owh, pasien atas nama Nona Olivia ya bu?”
“Iya betul sekali. Dia putri saya sus,” Sahut Jonatan.
“Putri saya, putri saya! Ngaku, ngaku saja bisanya!”
“Coba sebentar saya lihat keterangannya dulu ya bu, pak.”
“Iya sus,”
Tak lama beberapa menit kemudian suster itu memberikan informasi soal Olivia.
“Permisi, ibu, bapak.”
“Iya gimana sus?”
“Ternyata pasien yang bernama Nona Olivia sudah pulang tadi pagi. Keadaannya sudah membaik, jadi dokter sudah mengizinkan pasien untuk pulang.”
“Owh, jadi sudah pulang sus.” Sahut Jonatan.
“Dari tadi pagi ya sus? Tapi kok dia belum balik ke rumah ya? Terus dimana dia sekarang?” gerutu Rani.
“Katanya kamu ibunya! Nyatanya mana? Anak sudah pulang kok sama sekali nggak tau! Ibu macam apa kamu itu?!” Sentak Jonatan.
“Sebaiknya kamu tuh diam saja! Nggak usah banyak bicara! Bisanya hanya menyalahkan orang lain, dari dulu nggak pernah berubah! Intropeksi lah! Seperti paling benar saja!” Kata Rani yang terus pergi meninggalkan Jonatan sendiri di ruang petugas rumah sakit.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments