“Liv, apa kamu sudah hubungi mommy?”
“Udah,”
“Apakah dia mau ke sini?” Tanya Renata.
“Kalau dia orang tua yang bener, pasti bakal datang ke sini dan khawatir dengan keadaan anaknya. Tapi nyatanya mana? Udah aku hubungi sampai sepuluh kali, pun dia nggak jawab.”
“Mungkin Mommy kamu udah tidur kali.”
“Mana mungkin jam segini dia udah tidur, mesti dia lagi bersenang-senang membahagiakan dirinya sendiri bersama laki-laki hidung belang di luar sana.”
“Ya, ya, ya.”
“Owh, iya Re, coba tolong kirim kan pesan ke papi ku, kalau aku lagi kena musibah.”
“Okey, mana ponselmu?”
“Di dalam tas.”
Renata mengambil, ia lalu memberikan sebuah kabar jika Olivia kini sedang berada di rumah sakit.
“Semoga aja, papi mau ke sini.”
“Mudah-mudahan aja ya Liv. Eh, tapi kenapa sih nggak kamu telepon aja?”
“Nggak, aku nggak mau mengganggu waktu papi yang sedang membangun bahtera rumah tangganya dengan nyokap tiriku.”
Dengan segera Renata mengetik sebuah pesan yang akan dikirimkan untuk Jonatan, ayah kandung Olivia.
Setelah pesan tersebut terkirim, Jonatan segera membuka dan membacanya. Terlihat jelas wajahnya yang panic seusai membaca kabar itu. Malam itu juga, ia langsung menghubungi Olivia.
Dddrrrttt, dddrrrttt, dddrrrttt,
Terasa getar semua tiang meja yang berada di samping branker yang ditempati Olivia.
“Re, sepertinya ada panggilan masuk. Coba tolong kau angkat dulu,”
“Iya,”
Renata mengambil ponsel tersebut.
“Liv, ini papi mu!” ucap Renata.
“Papi? Coba angkat Re,”
“Iya, iya bentar.”
“Hallo,” lanjut Renata.
“Hallo, Olivia.” Jawab Jonatan.
“Maaf om, saya Renata sahabatnya Oliv.”
“Owh, gimana keadaan putriku mbak?”
“Dia sekarang sedang di rawat di rumah sakit om. Keadaannya nggak begitu parah, hanya saja di bagian pelipis atas kepala Olivia robek, dan luka robek itu dijahit om.”
“Di bagian mana yang dijahit?!” Tanya Jonatan kaget.
“I—iya om, sebab Olivia sudah mengeluarkan banyak darah di area yang robek itu om.”
“Tolong jelaskan dengan jelas bagaimana keadaan anakku!”
“Iya, seperti yang baru saja saya sampaikan om, keadaan Olivia tidak begitu parah, hanya di bagian pelipis dahi Olivia sudah mendapatkan penanganan untuk jahitan lukanya .”
“Syukurlah kalau dia hanya mengalami luka ringan. Di mana dia sekarang? Tolong berikan ponselnya ke dia, sekarang.”
“Ba—baik om,”
“Nih Liv, papi kamu mau ngomong.” Lanjut Renata seraya memberikan ponselnya pada Olivia.
“Iya, hallo pi?”
“Olivia, kok bisa sih kamu sampai kecelakaan seperti ini?”
“Namanya juga musibah!”
“Tapi kamu harus hati-hati, jangan ugal-ugalan kalau mengemudikan mobil di jalan, Liv.”
“Pi, aku nyetir mobil dengan kecepatan yang sedang dan aku nggak pernah ugal-ugalan.”
“Nggak mungkin. Papi yakin, pasti kamu ugal-ugalan.”
“Terserah deh!”
“Sudah berapa kali papi katakan, kamu itu perempuan, harusnya kamu itu bisa bersikap halus. Jangan terus-terusan bikin ulah dong!”
“Pi, aku ini lagi kena musibah loh. Bisa nggak sih papi berhenti untuk mendiskriminasi putri papi sendiri! Bisa nggak papi sekali aja percaya dengan apa yang Olivia katakan?!”
“Tapi memang kenyataannya begitu kan? Sudah berapa kali kamu bikin ulah yang membuat papi harus menghabiskan waktu yang nggak penting seperti ini?!”
“Owh, jadi maksud papi, musibah yang aku alami sekarang ini nggak penting bagi papi?! Okay, fine! Ternyata aku salah ngasih kabar malapetaka ini ke papi! Aku nggak akan mengharapkan papi untuk datang ke sini!”
Tot! tot! tot!
Karena merasa kesal, Olivia langsung menutup teleponnya. Dia berikan ponsel itu kepada Renata.
“Ini Re, non aktifkan aja ponselku!” Pinta Olivia.
Renata merasa iba ketika ia harus mendengarkan sendiri bagaimana sikap kedua orang tua Olivia yang begitu acuh kepada putri semata wayangnya.
“Kasihan juga nasib anak ini, punya dua orang tua yang masih komplit, tapi kedua nya sama sekali tak peduli dengan kondisi anaknya. Aku tau, gimana hancurnya hati dia saat ini.” Ucap Renata dari dalam hati seraya meletakkan ponsel milik sahabatnya di dalam tas.
Renata duduk di samping Olivia yang kini tengah terbaring. Ia melihat sekelumit air mata menetes di ujung mata sahabatnya.
“Liv, sabar ya,” kata Renata sembari mengusap pundak sahabatnya.
“Kamu tau sendirikan gimana sikap papi tadi sama aku.”
“Iya, aku tau kok. Kamu yang sabar ya, jangan sedih. Aku janji, aku akan temani kamu sampai kamu sembuh.”
Renata berusaha menguatkan hati sahabatnya yang sebentar lagi akan roboh.
“Liv, apapun yang terjadi, kita harus selalu bersama ya. Aku tau kamu orang baik. Aku yakin kamu pasti kuat jalani ini semua. Jangan nangis ya, kita kan bestie.” Ucap Renata melebarkan senyum.
“Tenks ya, Re.”
**
Esoknya, tepat pukul sembilan pagi. Jonatan mendatangi rumah sakit yang kini menjadi tempat untuk kesembuhan Olivia.
Seorang laki-laki berbadan gemuk, dengan tinggi semampai dan bagian dada yang besar, mengetuk pintu salah satu bangsal.
Tok, tok, tok,
Laki-laki itu membuka pintu dengan perlahan.
Cklek,”
Ia lalu masuk dan berjalan mendekati Olivia.
“Olivia, bagaimana keadaanmu sekarang peri cantiknya papi?”
Olivia membuang muka. Ia tak ingin melihat wajah ayahnya berada disana.
“Ngapain ke sini? Sebaiknya papi sekarang pergi saja!”
“Oliv! Bisa nggak kamu bicara yang sopan sedikit sama papi?!” pekik Jonatan jengkel.
Olivia terdiam, dia enggan menanggapi perkataan Jonatan, bahkan ia terus membuang muka.
“Papi kesini ingin melihat kondisi kamu! Gimana kondisi kamu sekarang?!” tanya Jonatan lagi.
Olivia membisu, ia terus membuang muka.
“Baik, kalau memang kamu tak ingin papi ada di sini, papi akan pergi! Tapi ingat, jangan lagi kamu memberikan kabar apapun sama papi! Mengerti!”
Sebutir demi sebutir, air mata keluar dari mata Olivia, ia tak sanggup lagi mendengar ucapan kasar yang keluar dari mulut ayahnya. Hingga bibirnya tak sanggup lagi memberikan balasan pada Jonatan.
“Owh, kalau kamu terus membuang muka seperti ini, papi akan pergi sekarang!” ucap Jonatan.
“Silahkan!” jawab singkat Olivia.
Jonatan menghela nafas panjang, ia lalu membalikan tubuhnya untuk pergi meninggalkan ruang tersebut. Akan tetapi, ketika dirinya akan membuka pintu, datanglah Rani. Mereka berdua sama-sama terkejut. Mereka tak menyangka kalau ternyata mereka bertemu disana saat itu juga.
Tanpa tegur sapa, Rani menerobos masuk dan bergerak melangkah mendekati putrinya. Sedangkan Jonatan menunda niatnya yang akan pergi waktu itu.
“Olivia sayang. Kamu kenapa nak? Bagaimana bisa kamu sampai seperti ini?” Tanya Rani panik.
Olivia lagi-lagi membisu.
“Sayang. Mommy minta maaf ya, mommy nggak tau kalau kamu tadi malam menelepon nak.”
“Aku minta kalian berdua pergi dari sini!” Ucap Olivia.
“Oliv, mommy sungguh-sungguh minta maaf nak,”
“Pergi aku bilang!” Teriak Olivia.
Dengan berkacak pinggang Jonatan berjalan mendekati mantan istri dan juga putrinya.
“Lihatkan, kamu bisa lihat, bagaimana buruknya sikap dia yang nggak sopan pada kedua orang tuannya? Apa ini hasil dari didikan mu selama ini?! Sikap buruk yang kamu turunkan ke Olivia!”
“Apa kamu bilang? Jadi kamu menyalahkan aku gitu?!”
“Iya, jelas aku menyalahkanmu! Lantas siapa lagi yang akan aku salahkan? Kamu terlalu memanjakan dia tau nggak!”
“Keterlaluan kamu! Emang kamu pikir mendidik dan membesarkan anak seorang diri itu mudah?!”
“Hey, apa kamu lupa? Bukankah kamu sendiri yang minta pisah denganku beberapa tahun yang lalu?! Kenapa kamu jadi mengeluh seperti ini?!” Ucap Jonatan.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments