“Oliv, ini udah mau jam setengah sepuluh malam loh, kamu nggak pulang?” Kata Renata membangunkan temannya.
Olivia menguap, ia lalu mendekapi guling yang ada di sampingnya.
“Liv, kamu mau pulang apa nggak?” tanya Renata.
“Iya, entar.” Jawab Olivia lesu.
“Kalau gitu aku tinggal ke supermarket dulu ya, Liv,”
“He,em.”
Olivia kembali mengerjapkan kedua matanya lagi, hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Sepulang dari berbelanja Renata kembali membangunkan sahabatnya.
“Oliv, woe, apa kamu mau nginep di sini?” Tanya Renata seraya mengguncangkan tubuh Olivia.
“Iya, entar ah, berisik banget sih Re,”
“Ini udah jam sebelas loh,”
“Sebelas?”
Seraya meletakan kantong belanjaannya di atas meja, Renata mengangguk-anggukkan kepalanya. Olivia terbangun dengan wajah sayup.
“Aku males balik, Re.”
“Kalau kamu nggak balik, ntar Mommy nyariin kamu lagi.”
“Nggak bakal.”
“Nyatanya kemarin dia tanya waktu kamu nggak balik.”
“Ehem, kamu nggak suka ya aku tidur di sini?” Tanya Olivia mengerucutkan mulutnya.
Renata lalu berjalan mendekati sahabatnya.
“Astaga, bukannya gitu sayang. Aku cuman nggak mau, hubungan kamu sama Mommy makin tambah panas. Kalau aku sih, boleh-boleh aja kamu menginap di kost ku, aku malah seneng banget, Liv. Cuman, kembali lagi dengan kondisi hubungan kamu sama Mommy kamu.”
“Aght! Udah ah, berisik banget kamu Re,”
Olivia lantas bangkit dari kasur lalu merampas tasnya yang tergeletak di samping kasur, ia kemudian pergi.
“Kamu marah Liv,” tanya Renata yang membuntuti langkah kaki sahabatnya.
Olivia hanya diam membisu dan berjalan begitu saja keluar dari kamar kost Renata.
“Liv, maaf ya. Aku nggak ada maksud mau ngusir kamu loh. Serius.” Ucap Renata mengacungkan kedua jarinya berbentuk V.
Renata terus berusaha mengejar sahabatnya yang terlihat kesal.
“Udah sana minggir, aku mau pergi!” Pekik Olivia.
“Ya ampun Liv, jangan ngambek gitu dong.”
“Re, bukannya kamu sendiri kan tadi yang menyuruh aku untuk balik! Giliran aku mau balik kamu malah menghalangi jalanku!”
“Habisnya kamu ngambek gitu,”
“Enggak, aku mau cari hotel.”
“Eh, jangan. Ya udah, kamu balik tidur lagi aja ya. Jangan marah lah. Ini sudah malam.” Ucap Renata mendinginkan hati Olivia.
Karena sudah terlanjur dibuat kesal, Olivia tetap terus melangkahkan kakinya menuju mobil pribadinya. Lepas itu, ia pergi meninggalkan kost Renata.
“Ya ampun anak itu sensitif banget sih, padahal maksudku bukan ingin mengusir dia. Aku cuman nggak mau hubungan dia sama mommynya jadi tambah renganggang. Ah, bodo amat lah, dia ngambek sama aku juga cuman dua jam doang. Liat aja nanti, dia pasti bakal telepon aku, dan ngasih tau dia dimana.” Batin Renata yang masih berdiri di halaman kost melihat sahabatnya pergi.
Olivia mengemudikan mobilnya cukup kencang. Bahkan ia sama sekali tak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Terjadilah sebuah insiden yang tak terduga yang harus membawa dirinya masuk dalam ruang operasi.
Sebuah nada dering terdengar nyaring dari dalam mini bag Rani. Namun, karena suara music dugem yang terlalu keras membuat Rani tak bisa mendengarnya. Ia terus menggeliat terbuai menikmati music yang tengah disajikan di Club tersebut bersama beberapa teman laki-lakinya. Bahkan ia juga sibuk bersenang-senang dengan sajian minuman beralkohol dan rokok yang ada di hadapannya.
Sedangkan putri semata wayangnya kini sedang berbaring lemah di brangkar UGD. Wajahnya nampak pucat, tubuhnya bergetar, untuk menggenggam ponselnya saja pun ia tak mampu. Seorang wanita dengan baju serba putih datang untuk menolong Olivia.
“Sini biar saya bantu. Mbak mau menghubungi siapa?”
“Sus, tolong telepon Mommy ku, dan katakan kalau aku sekarang ada di rumah sakit.”
“Baik, tunggu sebentar ya mbak.”
Dengan cepat, suster itu langsung mencari kontak telepon yang bernama Mommy.
“Sudah ketemu mbak, coba saya hubungi sebentar ya.” Kata suster yang membantu Olivia untuk menghubungi salah satu keluarganya.
“Iya sus.”
Namun, sudah lima belas menit, dengan sepuluh panggilan, sama sekali tak di jawab oleh Rani.
“Gimana sus? Apa ada jawaban?”
Suster menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Panggilannya terhubung, tapi ini sudah kesepuluh kalinya, ibu mbak nggak mengangkatnya. Mungkin ibunya sudah tidur mbak.” Terang suster itu.
Sambil menahan sakitnya, Olivia bergumam, “Mana ada jam segini mommy sudah tidur. Dia pasti sekarang dugem, atau nggak dia sedang bercint* dengan laki-laki lain! Sial, kenapa sih, aku harus punya orang tua seperti dia,” batinnya seraya melamun menatap lampu di atasnya.
“Mbak, gimana? Apa ada lagi yang mau di hubungi.” Tanya suster itu mmbangunkan Olivia dalam lamunannya.
“Owh, iya sus, tolong hubungi sahabat saya saja. Di kontak itu aku kasih nama Senyo.”
“Owh, baik. Tunggu sebentar, biar saya cari namanya.”
“Iya sus, semoga saja dia belum tidur.”
Tot… tot… tot…
Akan tetapi ketika Renata tengah asik menyaksikan film drama korea lewat ponsel pribadinya, sebuah panggilan masuk tiba-tiba datang mengganggu dirinya yang sedang hanyut menikmati film tersebut.
Dddrrrttt! Dddrrrttt! Dddrrrttt!
“Olivia?” Ucap Renata lirih.
“Tuh kan bener. Dia pasti telpon aku juga. Nih, anak kalau ngambek cuman sebentar doang.” Batinnya seraya menerima panggilan masuk itu.
“Iya, kenapa Liv?”
“Selamat malam mbak.” Sapa suster itu.
Renata merasa asing ketika pertama kali mendengar suara yang menelepon dirinya kala itu.
“Maaf ini siapa ya? Sepertinya bukan suara Olivia?”
“Iya, betul. Saya memang bukan mbak Olivia.”
“Terus, Olivia mana?”
“Jadi begini, saya mau memberikan kabar, kalau mbak Olivia sekarang sedang di rawat di rumah sakit.”
“What?!”
Sontak kabar tersebut langsung membuyarkan daya pikir Renata.
“Nggak, ini nggak lucu. Nggak mungkin Olivia masuk rumah sakit!” Sengak Renata yang menganggap semua ini hanyalah guyonan.
“Kami memang sedang tidak bergurau mbak.” Terang suster dengan nada tegas.
“Kalau Olivia sekarang beneran sedang ada di rumah sakit, coba ganti video Call, aku ingin tau kondisinya.”
“Baik sebentar, saya akan alihkan panggilannya ke video Call ya.”
Suster menuruti permintaan Renata, ia langsung mengubah panggilan yang awalnya hanya panggilan biasa kini berubah menjadi Video Call. Suster tersebut lalu mengarahkan panggilan itu ke arah Olivia yang masih berbaring di brankar.
“Cepetan kesini Re, aku butuh kamu sekarang.” Pinta Olivia.
“Astaga, kamu kenapa Oliv, kok bisa sampai seperti ini tuh gimana?” Tanya Renata panik.
“Udah deh, jangan banyak tanya dulu, yang penting kamu kesini sekarang. Pokoknya se—ka—rang!” Pinta Olivia lagi.
“Iya, iya, aku ke sana sekarang. Tunggu ya.”
Seketika Renata langsung menutup panggilan itu. Ia lalu bergegas pergi menuju ke rumah sakit untuk melihat kondisi sahabatnya malam itu juga.
Sesampainya di rumah sakit, Renata langsung bertanya kepada pihak rumah sakit yang kala itu sedang berjaga.
“Permisi sus,”
“Iya,”
“Sus, saya mau tanya, pasien atas nama Olivia, beberapa menit yang lalu dia masuk di ruang UGD. Sepertinya korban kecelakaan.”
“Owh, korban kecelakaan tadi, pasien kini sedang di rawat di tirai paling ujung ya mbak.”
“Baik, baik. Terimakasih.”
Secepat mungkin Renata berjalan mendekati tirai itu. Setibanya ia berada di tirai yang di mana di dalamnya ada seorang sahabatnya yang tengah berbaring lemas, Renata langsung saja menanyakan keadaan wanita tersebut.
“Astaga Oliv, kamu kenapa sih? Kok bisa sampai seperti ini?” Tanya Renata panik.
“Ya gitu deh, panjang. Untung aja aku belum sampai mati.”
“Hust! Emang gila ya kamu tuh!”
“Ya, mau gimana lagi. Habis aku udah frustasi,”
“Frustasi kenapa sih?”
“Iya, aku merasa nggak ada orang yang mau peduli lagi sama aku.”
“Terus, maksud kamu kedatanganku kesini nggak kamu anggap? Kalau aku nggak sayang sama kamu, mana mungkin aku bela-belain datang ke sini tengah malam seperti ini, Liv.” Ucap Renata cemberut.
“Iya, iya. Percaya kalau kamu tuh emang sahabat terbaik aku.”
Saat itu lah Renata justru berbalik mutung seusai mendengar ucapan Olivia. Olivia lalu membujuk agar sahabat baiknya tidak lagi cemberut.
“Hey, hey, Renata.” Pekik Olivia.
“Udah ah, aku mau balik.”
“Jangan dong, kalau kamu balik terus aku gimana?”
“Bodo amat! Urus aja diri kamu sendiri!”
Sementara, ketika Renata akan pergi dari tempat itu, Olivia berpura-pura sakit.
“Awh, awh Re, tolong Re, kepala ku sakit banget nih.”
Spontan Renata langsung berbalik arah dengan wajah yang sungguh-sungguh sedang mengkhawatirkan sahabatnya waktu itu.
“Eh, kamu kenapa Liv? Aku panggilkan dokter ya. Sebentar, tahan Liv, tahan.”
Dengan gesit, Olivia menarik tangan sahabatnya. Dan memintanya untuk diam. Renata nampak heran menatap wajah Olivia.
“Kamu bohong ya?!” Tanya Renata tegas.
Olivia kemudian tertawa lepas seusai melihat kepanikan yang tergambar di diri Renata.
“Maaf, Re. Maaf ya. Jangan pergi ya, Please!”
“Emangnya kamu butuh aku?”
“Banget!”
“Makannya, kalau kamu bukan Limbat, jangan sok jadi Limbat. Sok, sokan mau jadi orang yang paling hebat aja!”
“Iya, maaf. Maaf ya Bestie,” kata Olivia melebarkan senyumnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments