Keesokan harinya.
Olivia mengerjapkan kelopak mata indah itu beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk dalam indera penglihatannya dalam ruangan. Ia lalu melirik ke samping tempat dia berbaring. Nampak ada sosok laki-laki yang masih tertidur dengan lelap.
“Zack,” ucapnya dari dalam hati.
Olivia mencoba untuk duduk dan bersandar di bahu tempat tidur. Kepalanya sedikit pening, inti tubuhnya masih terasa nyeri. Bahkan ia mendapati jejak percintaan yang Zack cetak begitu banyak di beberapa bagian tubuh miliknya.
“Br*ngsek. Kenapa aku bisa melakukan hal ini dengan dia!” Batin Olivia.
Sebelum beranjak dari ranjang, Zack tiba-tiba mencengkram salah satu tangan Olivia.
“Mau kemana sayang?” Tanya Zack seraya menggeliatkan tubuhnya.
“Lepaskan Zack. Aku mau ke toilet.”
“Nanti saja, ini masih pagi. Bagaimana jika kita lakukan sekali lagi di pagi hari seperti ini? Pasti akan jauh lebih enak.”
“Aku mau pulang.”
Zack masih menahan cengkramannya.
“Zack!” Pekik Olivia.
“Ayolah, aku suka permainanmu tadi malam. Sungguh kau membuat aku menjadi candu Olivia.”
“Zack, kamu harus ingat, semua yang kita lakukan itu diluar kendaliku. Karena pengaruh alkohol aku jadi nggak bisa control diriku sendiri dan sekarang aku mau pulang. Lepaskan tanganmu!”
Mendengar itu, Zack justru tersenyum smirk, ia melepas tangannya. Olivia langsung bangun dengan tubuh yang tak di halangi apapun, kecuali selimut tebal berwarna putih yang masih dia cengkram kuat. Dengan segera dia memunguti semua pakaian miliknya yang berserakan di lantai. Ia lalu berjalan menuju ke toilet untuk membersihkan bekas noda cairan putih milik Zack yang keluar banyak menempel di beberapa bagian tubuh miliknya.
“Wanita yang menarik. Aku suka caranya.” Gumam Zack.
Tiga puluh menit lamanya, Zack duduk di sisi ranjang dengan handuk putih yang melilit di pinggangnya. Ia terus memperhatikan pintu toilet menunggu Olivia keluar.
Cklek!
Olivia keluar dengan rambutnya yang basah. Zack berjalan mendekati dirinya, ia menarik dagu runcing Olivia, hingga netra mereka saling tatap dan beradu.
“Kau nampak semakin terlihat seksi dengan rambutmu yang masih basah seperti ini Oliv.” Ujar Zack seraya membelai pelan rambut basah wanita itu.
Olivia lalu memalingkan wajahnya, agar netra mereka tak lagi bertemu karena dia benar-benar tak ingin Zack melakukan aksinya lagi, pagi itu.
Ia mendorong dada Zack dan memintanya untuk menyingkir dari hadapannya.
“Zack, aku mau pulang. Jadi tolong kamu minggir!” Ucap Olivia.
“Tunggu lah, jangan terburu-buru. Apa kamu sungguh tak mau mengulang lagi bersama ku Olivia?”
“Zack!” sentak Olivia.
“Bukankah pelayanan yang aku berikan padamu tadi malam sungguh nikmat, Olivia?" Tanya Zack mengusap lembut dagunya lagi.
Zack kembali mengulum senyum kecil saat melihat wajah Olivia memerah. Gadis ini mungkin tengah merasakan malu karena diam-diam dia membenarkan ucapannya.
Dan Zack kan terus mengingat itu semua pada Olivia, tentang sentuhannya yang menggelora dan tentang kenikmatan yang Olivia terima.
Olivia lalu mendorong dada kekar milik Zack hingga laki-laki itu menjauh dari hadapannya. Karena tak ingin berlama-lama di satu ruang yang sama dengan Zack, gadis itu akhirnya dengan secepat mungkin mengambil tas selempang lalu pergi keluar meninggalkan kamar hotel. Rambutnya masih setengah basah dan dia belum sempat untuk menyisirnya.
“Sial, gara-gara Zack. Aku jadi belum sempat menyisir rambutku.” Gumamnya sambil berjalan menuju lift hotel.
Karena dirinya terlalu fokus dengan rambut yang tergerai kusut, hingga dia tak memperhatikan jalan yang sedang dia lewati. Tak sengaja sampai dia bertubrukan dengan sosok pria tampan.
Bruk!
Hampir saja Olivia tersungkur, akan tetapi seorang laki-laki itu dengan cepat berhasil menangkap tubuhnya. Kedua netra mereka saling bertatapan dengan jarak yang hanya sejengkal. Bahkan kedua bola mata Olivia tak henti-hentinya memandangi laki-laki tersebut.
“Sumpah, laki-laki ini sungguh sangat tampan sekali bagiku. Dia seperti pangeran, tubuhnya yang kekar tegak membuatku jatuh cinta.” Batin Olivia yang terus memperhatikan rupa laki-laki tersebut.
Pria itu lalu perlahan membantu Olivia untuk berdiri lurus.
“Kamu nggak apa-apa kan?” Tanya pria itu.
“I—iya, aku nggak apa-apa kok,” jawab Olivia.
“Lain kali kalau jalan tolong perhatikan jalannya.”
“I—iya, maaf ya.” Ujar Olivia menundukan kepalanya.
Pria itu hanya tersenyum tipis seraya memperhatikan rambut Olivia yang masih terlihat kusut.
“Apa kamu baru saja selesai berenang nona?” tanya pria tersebut penasaran.
Olivia terheran mendengar pertanyaan dari pria yang masih berdiri di hadapannya saat itu.
“Itu rambutnya masih kusut, sisir lah dulu.” Ucap pria tersebut sembari memberikan sebuah sisir lipat kecil miliknya.
Olivia menerima dengan raut wajah memerah karena malu atas penampilannya.
“I—iya, terima kasih.” Ucap Olivia.
Setelah memberikan sisir lipat kecil itu, pria tersebut langsung pergi. Olivia memperhatikan seraya menyisir rambutnya.
“Aku merasa dia berbeda dengan laki-laki lain.” Batinnya lagi.
Sesampainya di rumah, ia melihat Rani duduk di ruang tengah. Tanpa menyapa dan memberikan salam apapun ia langsung saja melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.
“Dari mana kamu?!” tanya Rani dengan nada kesal.
Olivia hanya terdiam membisu, ia terus melangkah.
“Olivia! Kamu denger Mommy bicara nggak sih?!” pekik Rani yang semakin kesal.
Seketika Olivia berhenti, ia lalu menatap Rani dengan menekuk kan wajahnya.
“Dari mana kamu?” tanya Rani lagi sambil berjalan mendekati anaknya.
“Peduli apa mommy sama aku?”celetuk Olivia.
“Olivia?!” bentak Rani.
“Mom, sudah cukup Oliv menahan semua beban yang Oliv rasakan di rumah ini!”
“Apa? Beban? Kamu bilang hidup kamu terbebani di rumah ini?”
“Iya!”
“Beban apa yang sudah mommy berikan sama kamu?! Segala sesuatu yang kamu mau sudah mommy penuhi semua! Mulai dari materi, fasilitas kamu, sekolah kamu sudah mommy berikan! Sekarang katakan, beban mana yang mommy berikan sama kamu?!” suara Rani marah.
“Mom, apa mommy pernah peduli sedikit saja sama perasaan Oliv?”
“Perasaan apa yang kamu maksud?!”
Olivia menatap tajam kedua mata ibunya dengan berlinang air mata.
“Oliv nggak butuh itu semua, yang Oliv inginkan hanya sosok ibu yang baik untuk masa depan Oliv.”
Ppllaaakk!
Sebuah tamparan keras mendarat di mimik sang putri semata wayangnya.
“Apa kamu bilang? Jadi maksud kamu mommy bukan mommy yang baik buat kamu gitu? Oliv, kamu harus tau kodrat kamu sebagai anak!”
“Kodrat? Mommy bilang kodrat? Terus kodrat Mommy sebagai seorang ibu itu apa? Mommy selalu pergi dan pulang tengah malam, Mommy selalu asyik memikirkan kepentingan dan kebahagiaan Mommy sendiri. Bahkan Mommy selalu bawa pulang teman laki-laki Mommy ke rumah ini! Apa Mommy pernah duduk dan bertanya kabarku, gimana sekolahku, dan apa yang aku mau selama ini?” kata Olivia dengan berderai air mata.
Rani hanya terdiam, dia termangu mendengar ucapan anaknya.
“Coba deh, sedikit saja mommy peduli sama perasaan Oliv. Apa mommy nggak malu, membawa teman laki-laki mommy ke rumah ini dan melakukan hubungan intim di depan putri mommy sendiri? Hal itu tidak hanya satu dua kali mommy lakukan dan itu hampir setiap hari!”
“Oliv, tolonglah nak, kamu harus mengerti gimana posisi mommy nak.” Ucap Rani memelankan nada bicaranya.
Dengan menatap bengis ibunya, Olivia lantas berlari mengarah ke kamar. Sesampainya di kamar, ia lalu membanting pintu dengan begitu keras. Ia membuang tas Selempang yang dia kenakan waktu itu.
Perasaan yang tadinya di balut amarah seketika berubah menjadi riang setelah ia melihat sebuah sisir lipat kecil pemberian dari seorang pria yang dia temu di hotel tadi. Di ambillah sisir itu, sepintas bayangan wajah pria tadi teringat dalam otaknya.
Ia mengamati setiap detail sisir lipat mini yang biasa dibawa oleh para lelaki kebanyakan. Namun, ada yang sedikit berbeda di benda tersebut. Terdapat sebuah nama yang terukir timbul di gagang sisir lipat itu.
“Steve Alexa P,”
Olivia membacanya secara perlahan. Ia lalu berfikir, kalau pria yang dia temui tadi bernama Steve.
“Pasti ini nama laki-laki tadi. Nama yang keren. Tapi, apa yang dia lakukan di hotel itu ya? Apa iya, dia akan melakukan hal yang sama seperti ku yang aku lakukan bersama Zack kemarin malam? Ah, nggak mungkin. Coba besok aku kembali ke hotel itu mengembalikan sisir ini dan menemui dia, siapa tau dia masih menginap di sana.” Lanjutnya dari dalam hati.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments