Karena terpesona dengan ketampanan Zack, tanpa sadar Renata mengatakan, “Astaga, cakep bener manusia di depan aku ini, aku lagi nggak mimpikan ini?” di hadapan Zack.
Zack hanya tersenyum tipis kepadanya. Olivia langsung menyenggol lengan sahabatnya.
“Heh! Malu-maluin aja sih lu.” Ucap Olive.
Renata seketika tersadar dengan sikapnya.
“Eh, maaf.” Ucap Renata mengalihkan rasa malunya.
“Iya, santai aja. Boleh aku gabung di sini?” Tanya Zack.
“Boleh, boleh, silahkan duduk.” Ucap Renata seraya mempersilahkan Zack bergabung di meja mereka.
“Apa kalian hanya berdua saja di sini?” Tanya Zack membuka percakapan.
“I—iya, kami cuman berdua aja, siapa tadi nama kamu?” Sahut Renata.
“Zack,” jawabnya.
“Iya maksud aku Zack.”
“Beneran cuman hanya berdua? Kenapa nggak sama cowok kalian?”
“Hem, ka—kami jomblo.” Ucap Renata lagi.
Olive memang tak suka banyak berbicara dengan orang yang baru saja dikenalnya. Namun, tujuan utama Zack duduk dan bergabung bersama mereka adalah ingin berkenalan dengan Olivia. Ia lalu mengulurkan tangan nya dan mengajak Olivia berkenalan.
“Hey, kamu diam aja dari tadi, aku Zack.”
“Iya tau, kamu udah bilang kok, kalau nama kamu Zack.” Kata Olivia.
Zack melebarkan senyumnya dan berkata, “Syukur deh kalau kamu denger nama aku. Kok diem sih, bicara lah sedikit. Siapa tau kita bisa jadi teman dekat gitu?”
“Dia memang seperti ini orangnya Zack. Jarang banyak bicara sama orang yang nggak terlalu dia kenal. Tapi kalau kamu udah kenal dia, dia orangnya asik kok, Aku Renata.” Pangkas Renata.
Olive lalu mengerucutkan mulutnya.
“Em, gitu ya. Tapi kalau kita sering ngobrol, kita pasti bisa cepet akrab. Bener kan?”
“Yaa, iya sih. Tapi mendingan ngobrol sama aku aja Zack. Aku tuh orangnya asik juga loh kalau di ajak kenalan.” Seru Renata melebarkan senyumnya.
Zack dan Olivia justru tertawa mendengar Renata yang nampak bergairah ingin berkenalan dengannya.
“Ha… Ha… Ha… Renata, ternyata kamu orangnya lucu juga ya. Kalau cuman ngobrol berdua kan nggak asik. Kita ngobrol sama-sama aja. Bener kan Olive?” Ucap Zack yang kemudian menatap Olivia.
Ia hanya tersenyum manis dengan wajah canggung. Zack kembali membuka pembicaraan untuk memancing Olivia berbicara dengannya.
“Owh, iya. Ngomong-ngomong habis ini kalian berdua mau ke mana?” Tanya Zack.
“Kenapa emangnya?” Tanya Olivia.
“Ya, nggak apa-apa sih. Cuman mau tanya aja.”
“Nggak tau sih Zack. Cuman rencananya tadi mau ngopi aja di sini.” Sahut Renata.
“Emm, gitu. Gimana kalau habis minum kopi kita main billiard aja? Udah pada pernah main belum?”
“Belum sih. Gimana Liv, kamu mau nggak?” Ucap Renata sambil menjawil tangan Olivia.
“Seru loh, main billiard. Aku yakin kalian berdua pasti bakal ketagihan main itu,” cakap Zack.
“Main yuk Liv, lagian kamu juga baru suntuk kan?”
“Iya, iya bawel.” Kata Olivia.
“Ha? Serius Liv, kamu mau?”
“He’em…”
“Suntuk kenapa kalau boleh tau?”
“Jadi dia tuh lagi….”
Sebelum ia menceritakan kepada Zack soal sahabatnya, Olivia langsung pura-pura batuk untuk memberikan kode pada Renata, karena ia tak mau masalah pribadinya diumbar.
“Ehem!”
Renata lalu melirik ke arah Olivia dan menundukkan kepalanya.
“Kenapa? Kok nggak jadi bicara?” Tanya Zack penasaran.
“Hem, nggak. Nggak jadi.” Ucap Renata menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Kebiasaan deh, kalau udah asih ngobrol, pasti nerocos aja mulutnya.” Sindir Olivia.
“Iya, maaf deh.” Ujar Renata.
“Kenapa sih?” Tanya Zack penasaran.
“Zack, aku kasih tau ya, kita kan baru kenalan. Belum juga satu hari kita ketemu. Jadi tolong jaga sikap kamu, jangan terlalu ingin tau soal kita berdua. Okey!” Ucap Olivia tegas.
“Owh, oke, oke, maaf kalau gitu ya.” Kata Zack.
Dalam hati Zack berkata, “Wanita ini sungguh menantang ku. Kita lihat aja, sampai kapan kamu akan bersikap sok bengis seperti ini padaku. Dia hanya belum tahu saja siapa orang yang ada di hadapannya sekarang.”
Satu jam kemudian, Zack mengajak Olivia dan Renata pergi ke Brewerkz untuk bersantai dan bersenang-senang bermain billiard di sana.
“Kita ke Brewerkz sekarang aja gimana?” ajak Zack.
“Boleh.”
“Ya udah ayuk.” Ucap Olivia.
Akhirnya mereka bertiga pergi meninggalkan kedai. Sesampainya di sana, Zack langsung mengajak Renata dan Olivia main billiard.
Zack memberikan contoh kepada mereka berdua cara bermain billiard.
“Kalian udah bisa main ini?” Tanya Zack seraya mengambil stick billiard yang ada di sampingnya.
“Alah gampang, cuman di sodok-sodok aja kan tongkatnya?” Ucap Renata dengan polosnya.
Zack hanya tertawa geli mendengar ucapan Renata. Ia kembali bertanya kepada Olivia.
“Kalau kamu Olivia, udah pernah main ini?”
Olivia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Okey, baik lah aku akan ajari kalian berdua main billiard.”
“Serius?” tanya Renata kegirangan.
“Iya.” Jawab Zack.
Zack terlebih dulu memberikan contoh cara bermain billiard ke Renata. Ia memberikan stick billiardnya ke mereka berdua.
“Coba kamu dulu Re, habis itu baru Olivia.”
“Okey,”
“Jadi tangan kanan kamu harus berada di ujung stik, dan tangan kiri kamu menopang stick supaya mengarahkan ujung depan stik agar tepat bersentuhan dengan bolanya.”
“He.em, terus?”
“Jadi kamu harus fokus sama sodokan kamu ke bola itu agar bolanya bisa masuk ke lubang-lubang itu. Paham?”
“Okey, paham. Aku coba ya.”
Renata kemudian mempraktekan teknik yang baru saja Zack katakan. Setelah itu giliran Olivia yang menyodok bolanya.
“Bagus Renata. Sekarang giliran kamu Olivia.” Ucap Zack.
Olivia lalu berjalan mendekati meja billiard. Zack tak ingin kehilangan kesempatan itu. Ia berpura-pura memberikan arahan teknik bermain billiard dengan posisi berdiri di belakang tubuh Olivia. Perlahan ia menyentuh lembut tangan mulus milik wanita tersebut. Setelah itu, ia memberikan arahan dengan berbisik tepat di daun telinga Olivia yang membuat seluruh tubuhnya merasa mengeriap. Suara serak-serak basah dengan nada lembut terdengar jelas melewati gendang telinga Olivia. Ia malah semakin tak fokus memainkan stick billiard itu setelah senjata perkasa milik Zack menyentuh salah satu bagian tubuh belakang Olivia.
Olivia sontak membulatkan kedua matanya. Keringat dingin mulai nampak keluar di leher belakangnya. Sedangkan ruangan itu terasa dingin karena AC yang tengah menyala. Akan tetapi Zack justru semakin menggunakan kesempatan itu dengan baik. Ia sengaja menghembuskan nafasnya tepat di leher belakang Olivia yang berkeringat.
“Zack, tolong mundur sedikit.” Ucap Olivia seraya memejamkan kedua matanya.
“Kenapa Olivia?” Tanya Zack dengan suara mendesah.
“Zack!”
“Baiklah, baiklah aku suka bau aroma tubuhmu Olivia.” Bisik Zack menggoda.
“Zack!”
“Baiklah, baiklah. Aku akan mundur, sekarang coba kamu sodok stick billiard yang kamu genggam ini ke bola itu. Pasti akan sangat nikmat jika permainan ini dimainkan olehmu.” Ucap Zack kembali membuat Olivia mengeriap.
Tak ingin hanyut dalam tipu daya Zack, wanita itu langsung saja menyodok sticknya, agar Zack segera menjauh dari dirinya.
“Yea, bagus Olivia. Keren.” Pekik Renata girang.
Olivia malah di buat canggung oleh Zack, namun permainan itu terus berlanjut. Di tengah permainan, Zack menawarkan minuman kepada mereka berdua.
“Okey, istirahat dulu. Kita minum yuk.”
“Boleh.”
Mereka bertiga berjalan bersama menuju ke meja bar counter untuk membeli dan menikmati minuman di sana.
“Kalian mau pesan apa? Biar aku yang bayar.” Cakap Zack.
“Serius Zack.” Ucap Renata.
Zack mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau gitu, aku mau pesen wine aja deh.”
“Okey, mas winnya ya satu. Kamu Olivia?”
“Aku bir aja.”
“Ha? Serius kamu cuman mau minum bir aja Liv?” Tanya Renata yang sedang duduk di sampingnya.
“Hu’um,”
“Memangnya biasanya kalian minum apa?”
“Biasanya nih ya, kita tuh sering ambil yang brandy, vodka, wiski, ya banyak deh.”
“Serius?”
“Hu’um,” kata Renata mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Loh, terus kenapa Olivia cuman mau pesan bir?” tanya Zack.
Renata hanya merenyutkan kedua bahunya.
“Lagi nggak mood aja. Udah sih, itu aja.”
“Em, baiklah. Mas tambah bir-nya satu sama rum-nya satu ya.”
Sambil menunggu bartender datang, mereka bertiga menikmati suara music yang disajikan di tempat itu. Mereka juga bersenang-senang memanjakan dirinya malam itu juga.
Tak terasa sudah empat jam berlalu mereka menghabiskan waktunya bersama. Zack berhasil merubah suasana hati Olivia yang tadinya suntuk seketika berganti jadi menyenangkan saat berada di tempat itu.
“Gila ya, nggak nyangka ternyata tempatnya asik juga.” Ungkap Olivia.
“Iya Liv, bener asik juga. Besok-besok kalau kita lagi suntuk mending ke sini aja.”
“Iya Re.”
“Tuh kan, bener apa yang aku bilang tadi. Kalian pasti bakal senang ke sini.” Ucap Zack.
“Tenks ya Zack, kamu udah berhasil buat sohib ku ketawa lagi.”
Zack hanya tersenyum menyunggingkan mulutnya.
“Berhubung sudah larut malam, sebaiknya kita pulang ya Zack.” Ucap Olivia.
“Kalian mau balik sekarang?” Tanya Zack.
“Iya, kasihan Renata nggak enak sama ibu kosnya.”
“Ya udah deh, silahkan kalau kalian mau balik. Em, tapi sebelum kalian pergi dari sini, boleh kita tukeran nomer telpon?” Pinta Zack.
“Boleh, sini aku kasih no aku Zack,” tutur Renata.
Zack mengeluarkan ponsel pribadinya dari dalam saku celana. Ia kemudian mencatat nomor telepon milik Renata.
“Aku save ya Re,”
“Okey, coba kamu ping aku Zack.”
“Iya, bentar. Tuh, udah aku ping. Kalau kamu Liv? Berapa nomer telepon kamu?”
“Kosong delapan….”
Selesai memberikan nomor telepon pribadinya ke Zack, mereka berdua langsung berpamitan pergi meninggalkan bar itu.
“Kita balik ya Zack,” kata Renata sambil melambaikan tangannya.
“Tenks ya untuk traktiran malam ini,” tutur Olivia.
Zack hanya tersenyum bengkok dengan satu sisi bibir miring ke atas padanya.
“See you Zack.”
Zack membalas dengan melambai-lambaikan tangannya.
Dalam perjalanan pulang Renata nampak girang, ia tak henti-hentinya memuji Zack.
“Gila ya, ternyata Zack asik juga orangnya. Dia tuh super perfek banget, pokoknya idaman cewek banget Liv. Iya kan Liv?”
“Itu kan menurutmu Re,”
“Astaga Olivia, dia itu pangeran. Harusnya dari tadi kamu tuh memperhatikan gayanya dia bicara, sumpah super cool.”
Sedangkan Olivia hanya tersenyum skeptic seraya mengemudikan mobilnya.
“Ih, kamu malah nyengir aja sih Liv,”
“Ya terus aku mau bilang apa lagi sih Re,”
“Harusnya kamu bilang kek. Eh, iya Cool banget ya Re, orangnya keren ya Re, gitu ngapa!”
Olivia lalu tertawa selepas mendengar ocehan Renata. Tak lama mereka sampai, Olivia lalu pergi pulang ke rumahnya.
“Tenks ya Liv, udah anterin aku pulang.”
“Iya, aku langsung balik ya. Udah malem banget soalnya.”
“Hu’um, kamu berani pulang sendiri kan?”
“Berani, bye…”
“Hati-hati di jalan ya Liv.” Pekik Renata.
Beberapa menit kemudian, sampailah Olivia ke rumahnya. Setelah mesin mobil dimatikan, ia lalu berjalan menuju pintu depan rumahnya. Tapi mendadak terdengar suara bunyi ponsel miliknya. Di ambil lah ponsel itu dari mini bag yang sedang dia kenakan. Sebuah panggilan masuk tanpa nama sedang menghubungi dirinya.
“Siapa yang menelpon malam-malam begini ya? Terus ini nomer siapa?” Gumam Olivia sambil berjalan masuk ke rumahnya.
“Hallo?”
“Hay cantik.”
“Maaf ini siapa ya?”
“Zack.”
“Astaga ternyata kamu Zack.”
“Kaget ya?”
“Iya, aku kira siapa yang telepon malam-malam begini.”
“Aku hanya memastikan saja sih, apakah kamu sudah sampai rumah atau belum.”
“Ini aku barusan aja sampai rumah.”
“Syukur deh kalau gitu.”
“Kenapa?”
“Em, nggak tau,”
“Nggak tau? Aneh kamu tuh!”
“Kok aneh?”
“Habisnya, ditanya kenapa malah jawab nggak tau, kontras banget sih jawabannya.”
“Ha… Ha… Ha…”
“Tuh kan, malah ketawa.”
“Olivia, maksud aku, nggak tau kenapa aku masih ke inget terus sama wajah kamu yang cantik itu.”
“Ih, apaan sih! Udah ah aku mau masuk ke dalem dulu.”
“Kedalam? Kedalam hatiku maksud kamu?”
“Zack!”
“Iya, iya, ya udah masuk dan selamat beristirahat wanita terindah.”
“Heemm…”
Tot… tot… tot…
Seketika Olivia langsung memutuskan panggilan itu. ia kemudian lanjut melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya baru saja naik ke atas tangga, melewati kamar milik sang ibu yang berada persis di sebelah kamarnya.
Ketika Olivia sedang memegang handle pintu, tiba-tiba dia harus dihadapkan dengan suara yang mengusik gendang telinganya. Dari tempatnya dia berdiri saat ini, dengan jelas Olivia mendengar lenguhan serta erangan yang saling bersahut-sahutan dari bibir ibunya bersama dengan seorang laki-laki.
Ini bukanlah sesuatu yang pertama kali bagi Olivia. Ia sudah sering menemui hal semacam itu. Dan hal ini membuatnya merasa kesal. Tak ingin berlama-lama mendengarnya, ia pergi menjauh dari kamar ibunya lalu masuk ke dalam kamar pribadinya.
Di lempar lah mini bag yang sedang dia kenakan di kasur. Ia terus duduk di sudut tempat tidurnya.
“Kenapa sih Mommy selalu melakukan hal itu, bahkan Mommy tidak pernah memperdulikan perasaanku!" Olivia mengeram dia meremas ponsel yang sedang di genggamnya.
Dengan usianya yang sudah bukan anak kecil lagi, gadis itu cukup tau bagaimana hubungan antara ibunya dengan beberapa laki-laki yang sering dibawa pulang. Rani membawa mereka ke rumahnya hanya karena adanya satu alasan, yaitu kepuasan. Dan mereka hanyalah sebatas teman ranjang tanpa adanya tali pernikahan.
Olivia sudah terlalu enek. Dia ingin ibunya berhenti melakukan hal yang menjijikan semacam itu hanya untuk memuaskan hasratnya.
Kenapa ibunya tidak memilih menikah saja dengan laki-laki yang dia cintai? Huft, memikirkan semua ini rasanya membuat Olivia benar-benar akan gelap mata dengan keadaan.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments