Istri Menggemaskan Tuan CEO Ternama
Layaknya pesta konglomerat pada umumnya, setiap penjuru ballroom sebuah hotel bintang lima didekorasi dengan begitu mewah dan megah. Hampir setiap meja dipenuhi oleh para tamu undangan dari kalangan atas karena malam ini adalah pesta pelantikan CEO baru.
Garalt Zain Michaelson resmi dinyatakan sebagai CEO baru di perusahaan sang Ayah. Lelaki tampan dengan setelan jas hitam itu terlihat gagah di antara kerumunan orang. Senyuman menawan yang ia berikan mampu menaklukkan ribuan wanita yang memandang. Namun hanya satu wanita yang saat ini berdiri di sisinya, yaitu Andrea Clarissa Demyan. Wanita yang Zain nikahi beberapa hari lalu karena perjodohan orang tuanya.
Wanita cantik dengan wajah khas Turki itu terus mengembangkan senyuman bahagia. Bahkan wanita itu begitu enggan melepaskan tangan suaminya. Lebih lagi banyak wanita yang melayangkan tatapan memuja pada sang suami.
"Selamat, Tuan muda Michaelson." Ucap salah seorang clien yang turut hadir.
"Terima kasih, Tuan Hans. Saya harap Anda menikmati pesta malam ini." Balas Zain tersenyum ramah.
"Tentu, malam ini sangat luar biasa."
Zain pun hanya mengangguk kecil.
"Sayang, aku lelah." Bisik Rea yang sebenarnya mulai jengah dengan tatapan para wanita genit pada suaminya.
"Jika kau lelah, pulang saja." Sahut Zain terkesan dingin. Rea berdecak sebal mendengarnya.
"Kau suami tidak bertanggung jawab." Ketus Rea mengembangkan senyuman saat para tamu menyapanya.
"Kau bisa meninggalkanku."
"Hanya wanita bodoh yang meninggalkan lelaki tampan dan kaya raya sepertimu."
Zain mendengus pelan. "Berhenti mengoceh."
"Tidak mau." Sahut Rea.
"Terserah." Zain pun kembali menyapa para tamu. Sedangkan Rea hanya mengekorinya seperti anak kucing.
"Zain." Sapa seorang wanita cantik dengan balutan dress merah, memperlihatkan tubuh seksinya yang mampu menggoyahkan iman para lelaki.
Rea memutar bola matanya malas saat melihat sosok wanita yang tak ingin dilihatnya.
"Sedang apa kau di sini?" Ketus Rea. Zain yang mendengar itu memelototi istrinya. Rea berdecih sebal.
"Apa kabarmu, Zain?" Tanya wanita itu dengan senyuman menawan.
"Baik. Bagaimana denganmu? Aku senang kau datang, kupikir kau sangat sibuk." Jawab Zain.
Wanita itu tersenyum lagi. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku tidak terlalu sibuk dalam beberapa hari ini, karena itu aku menyempatkan diri datang di acaramu ini."
Rea menggerakkan mulutnya seolah mengejek wanita itu. Zain melirik istrinya sekilas. Kemudian kembali memokuskan perhatian pada sang wanita.
"Zain, bisa kita bicara berdua? Ada yang ingin aku sampaikan padamu."
"Tidak." Sahut Rea dengan nada tegas.
"Bisa, kita bicara di balkon. Pergi temui Mommy, Re." Titah Zain. Rea yang mendengar itu langsung melotot. Kemudian menggeleng pelan.
"Re." Zain pun memperingati.
Rea terdiam sejenak. Kemudian bergegas pergi meninggalkan suaminya dengan perasaan kesal. Zain menghela napas melihat tingkah istrinya itu.
"Mari." Ajaknya pada si wanita. Kemudian mereka pun beranjak menuju balkon. Tanpa mereka sadari, Rea kembali dan mengikuti keduanya. Bersembunyi di dekat pintu, mengintip pergerakan mereka.
"Ada apa?" Tanya Zain menatap pemandangan kota di malam hari.
"Aku ingin kembali padamu, Zain."
Zain pun menoleh dengan alis terangkat sebelah. "Kembali?"
Wanita itu mengangguk. Zain tersenyum getir.
"Aku sudah menikah."
"Aku tahu kau tidak mencintainya. Kau terpaksa menikahinya karena desakkan orang tuamu. Aku masih mencintaimu, Zain."
Zain terdiam cukup lama. Rea yang mendengar itu mendadak sakit hati. Meski ia tahu tak ada cinta dalam pernikahan mereka, tetap saja itu menyakitkan. Ah, Zain lah yang tak mencintainya. Sedangkan dirinya sudah jatuh dalam perangkap lelaki itu sejak lama. Rea masih di posisinya. Ingin tahu apa jawaban sang suami.
"Kau yang memutuskan hubungan kita, Zee. Semuanya sudah berakhir." Ujar Zain untuk wanita bernama Zee Van Der Veken. Sang mantan kekasih yang berprofesi sebagai model internasional. Keduanya harus mengakhiri hubungan karena Zee lebih memilih karier ketimbang kekasihnya. Dan itu sudah berlalu sejak dua tahun lalu.
Zee meraih tangan Zain. Menggenggamnya begitu erat. "Aku menyesal, Zain. Aku pikir mudah melupakanmu, tapi nyatanya sampai detik ini aku tak bisa melupakanmu. Aku mencintaimu, Zain."
Zain menarik kembali tangannya. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Namun ia tak memberikan sebuah jawaban.
"Kau mau kan kembali padaku?" Tanya Zee penuh harap.
Rea m*r*m*s gaunnya karena takut mendengar jawaban menyakitkan dari Zain. Bagaimana jika lelaki itu menerima Zee lagi? Lalu bagaimana dengan nasibnya? Membayangkannya saja membuat hati Rea perih.
"Rea, sedang apa kau di sini?" Seru Elsha berhasil membuat Rea kaget dan langsung berbalik. Zain dan Zee yang mendengar itu pun berbalik.
"Mo__mom. Aku... aku sedang, ah... aku ingin ke toilet." Gugup Rea terlihat salah tingkah.
Zain pun melangkah pasti mendekati keduanya. Dan itu membuat jantung Rea berdegup kencang.
"Aku pergi dulu." Pamit Rea bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Elsha yang kebingungan.
"Zain, ada apa dengan istrimu?" Tanya Elsha pada putranya.
"Aku tidak tahu." Jawab Zain sekananya. Lalu mata Elsha pun tertuju pada Zee yang bardiri di belakang Zain. Kini ia tahu kenapa Rea bersikap aneh. Elsha langsung menatap Zain curiga.
"Selesaikan urusanmu, lalu susul istrimu. Mommy tidak mau terjadi sesuatu pada Rea." Pungkas Elsha menatap wanita itu tak suka. Kemudian beranjak pergi dari sana.
Zain menoleh ke arah Zee. "Kita bicara lain kali." Lelaki itu pun beranjak pergi meninggalkan Zee sendiri.
Zain terus menyusuri seluruh ruangan untuk mencari keberadaan istrinya. Ia juga sudah mencarinya ke toliet, tetapi wanita itu tidak ada di sana.
"Kau melihat Rea?" Tanya Zain pada salah satu temannya.
"Tidak."
Zain menggeram kesal. Wanita itu tak pernah membuatnya tenang sekali saja. Ia pun beranjak pergi dari sana.
Sedangkan di luar sana, Rea terus melangkah tanpa arah. Salah jika ada yang berpikir wanita itu menangis. Rea bukan wanita cengeng yang akan menangis hanya karena patah hati. Itu bukanlah dirinya.
"Cih, dasar brengsek. Dia yang setuju dengan perjodohan ini, lalu dia juga yang mempermainkanku? Sialan memang." Umpatnya.
Rea menghela napas panjang. Menggigit ujung bibirnya karena bingung harus pergi ke mana. Lima belas tahun ia tinggal di luar negeri, tentu saja ia lupa jalanan Ibu kota. Akhirnya ia pun memilih duduk di halte bus. Menatap lampu temaram jalan. Berharap seseorang menjemputnya.
"Huh, ternyata tak semudah yang aku pikirkan. Aku kira setelah menikah dia akan luluh padaku, ternyata sama saja. Dia masih tak peduli dan cuek seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Tidak berapa lama mobil mewah berwarna hitam berhenti di sana. Rea menatap mobil itu lamat-lamat. Tentu saja ia mengenal mobil itu. Ya, mobil itu milik suaminya.
Zain menurunkan kaca mobil. "Masuk." Titanya tanpa berniat menatap sang istri. Pandangannya lurus ke depan.
Rea terdiam sejenak. Setelah itu ia pun bangkit dan masuk ke dalam mobil. Namun kali ini ia tak banyak bicara dan memilih tidur karena tubuhnya terasa letih. Zain melirik istrinya heran, tidak biasanya wanita itu diam. Tak ingin banyak tahu, ia pun segera melajukan mobilnya menuju kediaman.
****
Zain menatap punggung sang istri karena Rea tidur membelakanginya. Ia merasa tak nyaman karena Rea terus mendiamkan dirinya sejak pesta itu.
"Re." Panggilnya.
Rea membuka matanya. Namun tak berniat menyahut. Ia masih kesal karena Zain tak kunjung bicara soal Zee. Ia ingin tahu soal hubungan keduanya.
"Kau masih marah?" Zain merapatkan tubuhnya dengan sang istri. Memeluk perut rata istrinya itu. Membuat sang empu mendadak kaku. Hampir seminggu mereka menikah, ini kali pertama Zain memeluknya.
Rea memebalikan tubuhnya. Menatap wajah tampan Zain lamat-lamat. "Kau masih mencintai Zee?" Tanyanya memastikan.
Zain tidak menjawab. Dan itu membuat Rea berpikir Zain masih mencintai mantan kekasihnya itu.
"Aku akan mundur jika kau ingin kembali dengan kekasihmu itu. Jangan memikirkan aku, aku baik-baik saja. Mungkin aku akan kembali ke Moscow. Hidup bahagia di sana." Ujar Rea menarik ujung bibirnya dengan susah payah. Hatinya teramat sakit saat mengatakan hal itu. Bohong jika ia tak berharap Zain memilih dirinya, hidup bersama Zain adalah impiannya selama ini.
Zain masih diam seolah enggan menanggapi ucapan istrinya.
"Aku tahu kau terpaksa menikahiku kan? Mommy terus mendesakmu sampai kau harus menerima perjodohan ini. Padahal kau bisa saja menolaknya, Kak. Aku tidak akan sakit hati. Aku sadar diri. Kembalilah padanya jika kau masih mencintainya." Rea menunduk lesu.
Zain menghela napas berat. Kemudian tangannya bergerak untuk menarik dagu istrinya. Menatap wajah cantik itu lamat-lamat. Zain akui istrinya itu memang sangat cantik. Mata bulat dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung dan bibir kemerahan yang terlihat begitu alami. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan kemolekannya? Sebagai lelaki normal, Zain sendiri tak bisa menahan untuk tidak menyentuhnya.
"Aku pikir kau sudah berubah, ternyata kau masih sama. Berisik dan menyebalkan." Ledek Zain yang kemudian meraih bibir istrinya. M*l*m*t bibir tipis sang istri dengan penuh perasaan. Rea sempat tersentak karena kaget. Ini adalah ciuman pertama untuknya. Ia terlihat kaku dan sama sekali tak bergerak.
"Balas ciuamanku, Re." Pinta Zain.
"Aku tidak tahu caranya."
Alis Zain terangkat sebelah. "Firts kiss?"
Rea pun mengangguk malu. Zain kaget mengetahui istrinya sama sekali belum tersentuh. Padahal wanita itu besar di negara bebas.
"Berapa kali kau mencium Zee?" Tanya Rea mendadak ingin tahu. Ia yakin Zain sudah sering melakukannya. Ah, membayangkannya saja sangat menyakitkan. Andai saja sejak awal di betada di posisi Zee, ia akan sangat bahagia dan tak akan pernah melepaskan lelaki itu. Namun Zee dan dirinya hal yang berbeda, Zayn begitu mencintai Zee. Sedangkan dirinya hanya sebagai pengganggu dalam kehidupan Zain. Tentu saja Rea sadar akan hal itu.
"Tak terhitung." Jawab Zain jujur.
"Hm." Rea terdiam sejenak. "Apa kalian juga pernah tidur?" Tanya Rea semakin penasaran. Meski sebenarnya pertanyaan itu sangat menyakitkan baginya.
Zain menggeleng. "Hanya sebatas ciuman, tidak lebih. Aku masih tahu batasan."
"Owh."
"Hanya itu?"
Rea menatap Zain bingung.
"Hanya itu yang ingin kau tanyakan?"
"Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku." Kata Rea menatap mata suaminya.
"Mungkin." Jawab Zain. Rea pun tersenyum kecut.
Zain terus memperhatikan wajah cantik istrinya. Merengkuh pinggang ramping sang istri dengan erat. Bohong jika dirinya tak tertarik dengan tubuh indah Rea, ia juga lelaki normal. Napas lelaki itu mulai berat karena menahan gairah.
"Aku menginginkanmu, Re." Rea terkejut mendengarnya. Ia bingung harus menjawab apa. Tentu saja Rea tahu maksud ucapan suaminya, ia sudah cukup dewasa. Dan tak mungkin menolak keinginan sang suami. Toh sudah kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya.
Rea mengusap rahang tegas Zain. Kemudian mengangguk pelan. Zain tersenyum tipis dan kembali meraih bibir istrinya, tetapi kali ini begitu menuntut. Tangannya ikut bergerak, menarik tali piyama yang Rea kenakan sampai terlepas dari tubuh indahnya. Lalu keduanya pun terhanyut dalam gelombang kenikmatan.
Pagi ini Rea terlihat lebih cerah, ia terus bersenandung sambil menyiapkan sarapan pagi untuk sang suami. Sesekali ia tersenyum saat mengingat betapa panasnya malam tadi. Ia berharap ini adalah awal kebahagian dalam rumah tangga mereka. Dan Zain akan belajar mencintainya. Rea akan menantikan itu.
Rea meletakkan dua piring nasi goreng omelet dia atas meja. Kemudian menuang air putih ke dalam gelas sambil menunggu suaminya datang. Sejak hari pertama menikah, Zain memang langsung memboyong Rea ke rumah baru. Hanya ada mereka berdua di sini karena Zain belum sempat mencari asisten rumah tangga. Tak kunjung muncul, Rea pun berniat untuk melihat suaminya di kamar. Namun ia berpapasan dengan sang suami tepat di tangga.
"Pagi, Kak." Sapa Rea saat melihat Zayn menuruni anak tangga. Namun lelaki itu tak menjawabnya karena sedang menerima panggilan dari seseorang dengan wajah cemas.
"Kak...." Zain memberikan isyarat pada Rea agar tidak bicara. Rea pun terdiam.
"Aku akan ke sana sekarang. Jangan banyak bergerak. Aku akan menjemputmu." Zain pun menutup panggilan. Kemudian menatap istrinya.
"Zee jatuh dari tangga, aku harus menolongnya. Pagi ini kau sarapan sendiri tidak apa kan?"
Rea terpaku di tempatnya. Kemudian mengangguk pelan.
"Baiklah, aku pergi." Zain memberikan kecupan di kening Rea sebelum pergi. Sedangkan Rea masih terpaku di tempatnya. Kemudian tersenyum getir.
Sejak awal kau memang tidak pernah ada dalam hatinya, Rea. Ayolah, apa yang kau harapkan lagi?
Rea memejamkan mata, kemudian menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Setelah dirasa tenang, ia memutuskan untuk sarapan karena cacing di perutnya sudah berdemo sejak tadi.
Sudah hampir pagi, Zain tak juga kunjung pulang. Sepertinya Rea harus menelan rasa kecewa lagi. Ia tak perlu bertanya karena sudah tahu jawabannya. Saat ini Zain sedang menemani mantan kekasihnya yang cedera di rumah sakit. Ya, Zain memang mengabari Rea sebelumnya. Hanya saja lelaki itu mengatakan akan pulang. Namun sampai detik ini batang hidungnya tak kunjung terlihat.
Rea tertawa getir. Ia menertawakan dirinya sendiri karena sudah berharap terlalu besar. Padahal dirinya sudah tahu jika itu tak mungkin terjadi.
Kau pikir kau siapa huh? Sejak awal dia tak pernah menganggapmu ada. Apa lagi yang kau harapkan Rea? Apa karena malam kemarin? Ayolah, semua lelaki pasti akan tergiur dengan makanan lezat di depan matanya. Kau terlalu bodoh. Suara itu terus terngiang di teligan Rea. Membuat perasaannya berkecamuk. Rea pun berteriak frustasi.
"Kenapa kau melakukan ini, Kak? Kenapa tidak terus terang saja kau masih ingin kembali padanya." Lirih Rea. Hatinya sangat sakit saat ini.
Cukup lama ia duduk di sofa, merenungkan semuanya dalam diam. Setelah puas termenung, ia pun bangkit dan melangkah pasti menuju lemari. Mengambil koper dan memasukkan semua pakaiannya ke dalam sana. Mungkin pergi adalah pilihan terbaik. Rea yakin Zain juga tak menginginkannya. Pernikahan ini sudah jelas karena keterpaksaan.
Tekad Rea sudah bulat, ia akan meninggalkan suaminya. Wanita itu kini sudah berdiri di perataran rumah yang baru ditempatinya seminggu yang lalu. Namun rasanya begitu berat meninggalkan tempat itu.
"Kau tidak boleh lemah, Rea." Rea menghela napas berat "Maafkan aku, Kak. Selama ini aku selalu mengacaukan hidupmu. Mulai detik ini aku tak akan mengganggumu lagi. Semoga kau selalu bahagia, meski itu bukan bersamaku."
Rea pun pergi meninggalkan rumah itu meski langkahnya terasa berat. Namun ia harus melakukan itu untuk kebahagian suaminya. Berat memang, tetapi ia tak mau lagi menjadi beban hidup Zain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Yiyi Fuyu
bisakah saya jadi ibu untuk anakmu... di rumah besar ehem tapi dijakarta. Singapore hongkong... tunjungan plaza. balik juga ke Semarang...
sayalah istri mudamu...
tapi belom pernah terjadi 🥵🥵
2023-06-11
0
Yesi Triyanto
ya tuhan ada lagi laki model. begini
2022-06-27
0
lovely
dasar plin plan Lo Zain😡
2022-06-19
1