Pakai Cara Lain Dong

"No matter how sweet the farewell, no matter how beautiful the farewell is still a farewell," ucap Ditha.

"There are stories that from that second must turn into memories," sambung Claudia.

Ditha menoleh pada Claudia dan ia tersenyum. Kemudian, Claudia merangkul bahu Ditha dan mereka berdua memutar tubuhnya untuk kembali pulang dan meninggalkan bandara Soekarno-Hatta.

...ΩΩΩ...

Setelah menyelesaikan pekerjaan kantornya Ezra kembali pulang. Saat perjalanan pulang ke rumahnya tiba-tiba Ezra melihat sebuah taksi yang berhenti di tepi jalan yang sangat sepi. Ezra juga melihat sang Sopir taksi seperti sedang memeriksa mesin mobil taksi. Ezra akhirnya menepikan mobilnya dan keluar dari mobil untuk menolong Sopir taksi itu.

"Taksinya kenapa Pak?" tanya Ezra pada sang Sopir.

Sopir taksi tersebut mendongakkan kepalanya saat ia mendengar suara orang bertanya.

"Saya juga enggak tau ini Mas," jawab sang Sopir.

Ezra celingak-celinguk melihat dalam mobil taksi tersebut.

"Bapak, sendirian?"

"Enggak, saya berdua. Di dalam ada penumpang."

Tak lama penumpang taksi yang Sopir maksud, keluar dari dalam taksi.

"Pak, mobilnya kenapa?" tanya sang penumpang.

Ezra dan Sopir taksi itu sama-sama menoleh ke arah sumber suara.

"Ditha," ucap Ezra.

"Kayaknya mesinnya ada yang rusak Mba," sahut sang Sopir.

"Yaudah deh, saya sampai di sini aja," ucap Ditha. Ditha mengeluarkan selembar uang dari saku celananya kemudian, ia berikan pada Sopir taksi tersebut. Sopir taksi itu menerimanya.

"Terima kasih Mba," sahut sang Sopir taksi.

"Sama-sama," jawab Ditha.

"Kamu habis dari bandara ya?" tanya Ezra.

"Iya," jawab Ditha.

"Mau bareng sama saya pulangnya?"

Ditha menatap Ezra. "Enggak usah," tolak Ditha.

"Yakin? Jalanan ini tuh jarang ada angkutan umum, taksi atau sejenis lainnya."

Ditha nampak sedang berfikir.

"Boleh deh. Enggak ngerepotin kan?"

Ezra menggelengkan kepalanya. "Enggak," jawabnya.

Keduanya akhirnya masuk ke dalam mobil dan Ezra segera mengemudikan mobilnya. Di sela-sela perjalanan, Ezra mengajak Ditha mengobrol.

"Kamu habis bolos?"

Ditha menoleh ke arah Ezra. "Enak aja, enggak lah."

"Terus?"

"Terus apa?"

"Maksudnya?"

"Ish, apa sih. Enggak jelas banget."

"Kamu itu yang enggak jelas, di tanya malahan nanya balik."

"Lu lah yang enggak jelas, tadi maksudnya apa teras terus aja!"

"Lupain."

Ditha memutar kedua bola matanya. "Terserah lu deh Om."

Mobil Ezra melewati restoran, tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari perut. Ezra pun menoleh ke Ditha.

"Kamu laper?"

"Enggak."

"Jangan bohong."

Mobil Ezra berhenti di depan restoran sontak saja itu membuat Ditha heran.

"Kok berhenti sih?"

"Kita makan dulu, saya belum makan siang."

"Lu doang. Gua tunggu di sini aja."

"Perjalanan pulang masih jauh, nanti kalau kamu kenapa-kenapa di mobil saya. Siapa yang mau tanggung jawab?"

"Gua enggak laper. Udah sana lu aja sendirian."

"Cepat, Ditha."

"Iya-iya." Dengan sangat terpaksa Ditha menurutinya. Saat Ezra baru ingin keluar mobilnya tiba-tiba.

"Tolongin dong," pinta Ditha.

Ezra pun menoleh ke Ditha.

"Kenapa?"

"Ini safety beltnya susah di lepas," jawab Ditha yang masih sibuk membuka sabuk pengamannya.

Ezra mendekati Ditha dan ia mencoba membantu melepaskan sabuk pengaman dari tubuh Ditha.

"Barusan kamu apakan ini? Jadi, susah di lepas g—"

"Enggak gua apa-apain. Enggak usah fitnah gua sekali aja kenapa sih enggak bisa ya?" ucap Ditha sewot.

Ezra mendongakkan kepalanya. "Saya itu bertanya, bukan fitnah."

"Alesan."

"Terserah."

Tak lama terdengar kembali suara cacing-cacing dari dalam perut Ditha. Ditha melihat ke arah perutnya ia juga melihat Ezra yang sedang memperhatikan dirinya.

"Fokus aja lepas safety beltnya, enggak usah lihat-lihat gua," ucap Ditha sambil membuang pandangannya ke luar kaca mobil.

Ezra menenggakkan tubuhnya yang semula ia membungkuk.

Laper banget perut gua, lama-lama bisa mati kelaparan gua ini, batin Ditha.

Ezra akhirnya keluar dari mobilnya dan ia menuju ke dalam restoran itu. Ditha yang melihat kepergian Ezra merasa bebas.

"Ya Tuhan, perut gua. Harusnya gua udah kenyang dan udah tiduran di atas kasur, ini malahan belum dua-duanya."

Lima menit kemudian …

Ezra sudah kembali ke dalam mobilnya, ia membawa sebuah paper bag lalu ia berikan pada Ditha.

Ditha menautkan kedua alisnya. "Apa ini?"

"Jajanan, buat mengganjal perut kamu."

"Buat gua?"

"Iya." Ezra menaruhnya di pangkuan Ditha.

Tak lama mobil Ezra sudah meninggalkan restoran tersebut.

"Thanks ya," ucap Ditha.

"Hmmm. Di makan jangan di liatin doang, nanti keburu dingin."

Ditha menganggukkan kepalanya dan ia segera menyantap makanan yang di berikan oleh Ezra. Ezra melirik Ditha sekilas di sela-sela mengemudinya.

"Lu udah makan?" tanya Ditha pada Ezra.

"Kamu nanya saya?"

"Iya, lah."

"Sudah tadi."

"Boleh nanya enggak?" tanya Ditha.

Ezra menoleh pada Ditha. "Barusan kan kamu nanya."

"Maksudnya … nanya yang lain."

"Boleh. Mau nanya apa emangnya?"

"Emang benar ya … sekolah itu punya lu?"

"Kata siapa?"

"Pas itu kan lu pernah bilang."

"Kapan? Di mana?"

"Di rumah orang tua lu, pas … kita sarapan bareng-bareng."

"Oh, itu." Ezra baru mengingatnya.

"Benar?"

"Apanya?"

"Ish … lu mah ya benar-benar nyebelin tau. Gua capek-capek jelasin, lu malah jawabnya begitu." Ditha langsung membuang muka ke luar kaca mobil Ezra.

Tentu saja sikap Ditha barusan mampu membuat Ezra menyunggingkan senyuman.

"Lagian kalau kamu nanya itu yang jelas," kata Ezra.

"Bodo amat!" gerutu Ditha.

Drettt! Drettt!

Ditha mengambil ponselnya yang berada di saku seragam sekolahnya. Kemudian, ia menggeser ikon hijau pada layar ponselnya.

"Hallo, kenapa Nek?"

"Kamu ke mana? Jam segini belum ada di rumah."

"Sebentar lagi sudah mau sampai Nek," jawab Ditha.

"Nenek, mau nitip sesuatu sama kamu."

"Mau nitip apa?"

"Pempek, Bu Rahma."

"Di mana itu?"

"Dekat Puskesmas Ditha … kamu lewat sana tiap hari masa enggak lihat."

"Emangnya aku lewat harus liatin satu-satu gitu penjual yang ada di setiap pinggir jalanan, kurang kerjaan banget."

"Nenek tunggu di rumah."

"Bentar. Pedas atau enggak?"

"Sedang aja."

"Oke."

Sambungan telepon sudah terputus. Kini saatnya Ditha melupakan masalah tadi, ia menatap Ezra yang sedang fokus mengemudi.

"Ekhm ...."

Ezra menoleh ke Ditha namun, ia tidak berbicara.

"Mau minta tolong, boleh enggak?" tanya Ditha.

"Boleh."

"Nanti sebelum masuk gang rumah gua di situ kan ada Puskesmas nanti mampir ke sana ya?" pinta Ditha pada Ezra.

"Memangnya siapa yang sakit?"

"Enggak ada yang sakit. Maksud gua tuh di sebelah Puskesmas. Lu yang turun ya nanti, soalnya kan safety beltnya belum mau lepas."

"Malam ini kamu pulang ke rumah saya saja dulu."

Ditha membelalakkan matanya. "Ke rumah lu? Mau ngapain? Nanti Nenek gua nyariin gua gimana? Pasti dia mikirnya aneh-aneh, enggak gua enggak mau."

"Terus, kamu mau tidur di dalam mobil saya sampai pagi?"

"Pakai cara lain dong."

"Hanya itu cara satu-satunya."

"Lu tuh ya, nyebelin banget emang. Bilang kenapa sih dari tadi."

"Kamu aja enggak nanya."

"Ya, kali gua nanya gua pulang ke mana. Yang ada lu mikir yang aneh-aneh lagi."

"Enggak usah fitnah."

Keduanya mengakhiri debatnya Ditha pun segera menghubungi sang Nenek, untuk mengabarkan bahwa dirinya malam ini tidak bisa pulang ke rumah. Dengan alasan tugas kelompok yang menumpuk.

TBC

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!