Kirain Di Kamar.

Nenek Yeyen yang masih berada di dapur dan masih berkutik dengan bahan-bahan masakan terlonjak kaget saat mendengar sebuah pintu tertutup sangat kencang. Meninggalkan bahan-bahan masaknya di dapur dan buru-buru wanita lanjut usia itu berjalan menuju ruang tamu. Sepi tidak ada siapa-siapa, atensinya teralihkan pada sebuah plastik di atas meja di depan televisi. Dilihatnya ada bihun, sawi dan kue pancong. Itu berarti cucunya sudah pulang. Namun, di mana cucunya itu? Segera dia menghampiri kamar sang cucu diketuknya pintu beberapa kali tidak ada sahutan dari dalam.

"Ditha … kamu ada di dalam, kan?"

Nenek Yeyen kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar Ditha dan kembali dia harus menerima kenyataan bahwa sang cucu tidak menyahuti perkataannya. Dia pun menjauh dari pintu kamar dan memilih pergi ke dapur dengan plastik belanjaan ditangannya.

"Kenapa cucuku satu itu?" tanyanya bergumam. "baru kali ini aku mendengar Ditha sekesal itu sampai menutup pintu kamar sangat kencang, untung saja tidak roboh tembok kamarnya."

Nenek Yeyen memutuskan untuk melanjutkan masak-memasaknya dan memilih fokus pada masakannya saat ini

Jalan terbaik memang seharusnya pulang ke rumah. Selepas membayar kue pancong Ditha langsung berjalan dengan tergesa-gesa tidak ingin melihat ke belakang. Bahkan perkataan pedagang kue pancong tadi tidak dia ladenin kembali. Sesak sekali rasanya jikalau berada di posisi Ditha.

Diusianya yang baru mau memasuki 18 tahun Ditha sudah merasakan beribu-ribu kejadian di dalam hidupnya selama ini. Tidak ada penguat selain dirinyalah sendiri yang menjadi penguatnya. Walaupun orang-orang terdekatnya selalu mensupport, tetapi itu akan sangat berbeda sekali dengan support yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ya, semenjak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuk selama-lamanya, Ditha diasuh oleh Tante dari kakak mamanya beserta sang suami.

Ditha yang kecil dan belum mengerti apa-apa tentang kerasnya dunia dan sekarang gadis cantik itu sudah tumbuh menjadi remaja yang banyak disukai para laki-laki seusianya. Tidak hanya seusianya bahkan pria jauh dari dewasa darinya pun ada yang menyukai Ditha dan berniat ingin memiliki Ditha sepenuhnya. Namun, semua niat baik dari pria dewasa yang pernah mendatangi rumah mendiang kedua orang tuanya langsung ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tua Ditha, karena pada saat itu usianya belum ada 12 tahun, tetapi sudah ada beberapa pria yang ingin menikahi Sabiya Paramaditha Dhara.

Setengah jam lamanya air mata sudah Ditha keluarkan tanpa adanya suara. Dia tidak mau neneknya khawatir akan kondisinya saat ini. Biarlah semuanya dia pendam sendirian, karena itu sudah menjadi asupannya sehari-hari. Berdiri di depan cermin melihat kondisinya dari atas sampai rambut, kemudian tatapannya beralih pada kedua belahan dadanya. Ditha berjalan menuju jendela lalu di tutuplah hingga rapat gorden tersebut setelah aman dia kembali berdiri di depan cermin.

Perlahan-lahan kaos yang dia kenakan di tarik ke atas, terlihat jelas di depan cermin pusarnya kelihatan lalu gerakan tangannya kembali menarik kaosnya lebih tinggi dan sekarang sangat terlihat jelas kedua batok kelapanya terpampang nyata di depan cermin.

Tidak ada tanda-tanda kemerahan di area belahan dadanya maupun putingnya, ditatapnya sebentar lalu diturunkan kembali kaosnya sehingga menutup kedua belahannya yang tadi terpampang nyata di depan cermin. Bokongnya dijatuhkan pada kursi meja rias.

"Bodoh!" sarkasnya seraya memandangi dirinya pada cermin."lo bodoh banget sih, Tha! Bisa-bisanya nggak keinget buat pake bh, astaga. Tadi cuman diremas bukan di makan, di jilat abis itu di celup, bukan! Kalo, iya, gimana?" Ditha meremas rambutnya frustasi.

"Bisa hancur masa depan lo, Tha. Argh! Bajingan!" teriaknya.

Wajahnya dia sembunyikan di bawah kedua tangan yang saling bertumpu di atas meja rias. Di pejamkan kedua matanya sebentar, setelah itu dia beranjak keluar dari kamar dan menuju ke dalam kamar mandi. Hanya membasuh wajahnya saja berharap sisa-sisa menangisnya tadi hilang supaya sang nenek tidak curiga kepadanya. Baru saja ingin menghampiri sang nenek di dapur, suara dering pada ponselnya membuat langkah kakinya terhenti.

Diambil ponselnya lalu terlihat di layar ponselnya nama seseorang yang sangat dia kenali.

"Halo. Ada apa om?"

[ Lagi sakit? ]

"Siapa? Saya?"

[ Hm, iya. ]

"Ng–nggak. Biasa mau batuk kayaknya ini," elak Ditha. "ada apa emang om?"

[ Yakin sedang tidak sakit? ]

"Astaga. Yakin om, kan saya yang ngerasain."

[ Atau kamu habis menangis? Memangnya menangisi apa sih? Habis putus cinta? ]

Pertanyaan beruntun yang dia dengar dari sebrang sana membuat kepalanya ingin dia gelinding kan.

"Apa sih om jangan sok tau deh."

[ Jadi … saya benar atau salah? ]

"Salah! Udah deh om, om ada perlu apa? Nggak usah bertele-tele, baterai saya lowbat nih."

[ Kalau memang sakit, saya mau ke rumah kamu sekarang. Sekalian pulang dari sekolahan. ]

"Eh?" Kedua alisnya saling bertautan. "Saya nggak sakit om, astaga. Lagi pula emang om tau rumah saya?"

[ Tahu dong. Bahkan tanggal ulang tahun kamu saya juga tahu. ]

Ditha tercengang mendengar jawaban jujur yang keluar dari bibir Ezra. Refleks ponselnya dia jatuhkan di atas kasur, tetapi dengan cepat dia ambil lalu hendak dia hubungkan dengan kabel charger. Namun, Ditha urungkan setelah mendengar suara dari sebrang sana.

[ Ayo buka gerbangnya. Saya sudah di depan rumah kamu. ]

"Apa?!" pekik Ditha.

Karena rasa penasarannya Ditha memilih mengintip dari jendela kamar memperhatikan area sekitar rumah di saat dirinya sibuk memperhatikan luar rumahnya, lagi-lagi suara konyol dari sebrang sana menggema di dalam kamarnya. Dengan perasaan dongkol, Ditha menghampiri ponselnya.

"Nggak lucu!" ketus Ditha seraya menyambungkan kabel charger pada ponselnya.

Ezra tertawa puas mengerjai anak didiknya itu, dia tau Ditha sangat pintar dibodohi. Namun, gadis itu pasti akan lebih pintar membodohi orang lain, tetapi sepertinya saat ini mood gadis itu sedang tidak baik makanya mudah sekali untuk Ezra bodohi.

[ Lucu. Pasti wajah kamu lucu sekali sekarang. Saya jadi penasaran seperti apa ekspresi kamu. Hahaha …. ]

Ditha memutar bola matanya malas dan dia menjatuhkan bokongnya pada kursi meja rias.

"Om kalo mau debat mending besok aja."

[ Di mana? ]

"Di sekolah lah, masa di kuburan."

[ Oh, hm. Kirain di kamar. ]

"Apa?" pekik Ditha membuat Ezra kesal bukan main mendengarnya. Telinganya auto sakit karena ponselnya dia letakkan di samping telinganya.

What? What? Kenapa jadi bawa-bawa kamar?

[ Kurang kencang kamu teriaknya, Ditha! Biar sekalian speaker handphone saya bocor. ]

Ditha meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sorry om. Lagian om ngomong kayak lagi kumur-kumur, nggak kedengaran.]

TBC

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!