Segede Apa Sih?

Sudah banyak pikiran yang memenuhi isi kepalanya dan sekarang harus ditambah pikiran lagi, dengan kedatangan wanita lanjut usia yang rambutnya sedikit lagi dipenuhi dengan warna putih itu. Langkah kakinya memasuki rumah setelah kesekian kalinya dirinya mengetuk pintu tak kunjung dibukakan akhirnya, sang penghuni rumah tersebut berhasil membukakan pintu untuknya masuk ke dalam.

"Kebiasaan banget kamu, Nak! Anak gadis itu jangan dibiasakan bangun siang, nanti jodoh kamu dipatuk kerbau," omel Nenek Yeyen. Ditha yang melihat serta mendengarkan omelan di pagi hari ini mendengus kesal, jika rumah sudah kedatangan Nenek kesayangan sudah dapat dipastikan hidupnya seperti berada di dalam surga.

Ditha duduk di samping Nenek Yeyen membawa segelas minum yang dia ambil dari dapur lalu di berikan kepada sang Nenek.

"Nek, tumben ke sini," selorohnya membuat kening wanita berusia 60 tahun itu mengkerut.

"Kamu kayaknya nggak suka lihat, Nenek datang?" Tangannya menaruh gelas yang sudah di minumnya hingga tandas.

Ya, emang. Itu tau, Nek.

"Kenapa? Seperti ada sesuatu di balik baju."

"Hah?"

Ditha dibuat melongo oleh pertanyaan dari Neneknya yang sama sekali aneh di dengar dan tidak nyambung dengan faktanya. Seharusnya 'ada udang dibalik batu' bukan 'ada sesuatu di balik baju'.

Sudahlah Ditha capek memikirkan pertanyaan tadi dirinya memilih untuk membersihkan diri dan bersiap untuk santai. Melihat cucunya yang hanya bersantai dan tidak berangkat sekolah membuat Nenek Yeyen menghampiri sang cucu.

"Kamu bolos, Nak?"

Hampir terjatuh dari sofa yang saat ini menjadi sandaran tubuhnya, Ditha mendongak dan menggerutu dalam hatinya.

Belum ada sehari udah ada aja bikin gue olahraga jantung berkali-kali. Nenek!

Ditha tersenyum tidak ikhlas. "Libur, Nek. Ada rapat wali murid Kelas satu."

Nenek Yeyen hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berjalan memasuki dapur. Baru saja bernapas panjang, lagi dan lagi suara membuat dirinya hampir benar-benar terjatuh dari sofa. Dengan sangat terpaksa dirinya berjalan menghampiri keberadaan neneknya yang ada di dalam dapur. Terlihat wanita lanjut usia itu tengah memasak air dan di sampingnya terdapat sayur-sayuran yang Ditha dapat yakini pasti dia akan menyuruhnya ke pasar.

"Apa, Nek? Butuh sesuatu?" tanya Ditha yang sudah duduk di kursi meja makan.

Nenek Yeyen membalikkan tubuhnya seraya menghampiri keberadaan sang Cucu dan hendak mengeluarkan selembar uang dari dalam dompetnya. Namun, segera Ditha cegah.

"Kamu ke pasar, ya," titahnya.

"Nggak usah, Nek duitnya di simpen aja. Tante, kan tiap bulan kirim duit ke aku."

Uang yang tadi tidak jadi dikeluarkan, kini kembali dia keluarkan dari dalam dompet lalu diserahkan kepada sang Cucu.

"Itu duit buat kebutuhan kamu sendiri, kalau ini beda. Nanti kamu beli bihun lima bungkus, sawi tiga ribu sama kue pancong, ya? Kalau ada sih," ucap Nenek Yeyen seraya menyerahkan uang kepada sang Cucu dengan cara pemaksaan. Ditha pun tidak punya alasan lain lagi dengan sangat terpaksa dia menerimanya dan beranjak dari duduk.

"Oke. Kalo nggak ada kucong yang ada aja, ya, Nek?" teriak Ditha dari dalam kamarnya.

"Ya, terserah kamu saja," sahut Nenek Yeyen.

...Ω...

Perjalanan menuju ke pasar cukup jauh dan Ditha harus menaiki abang-abang ojek. Setelah menempuh waktu delapan menit, motor yang dia tumpangi memasuki area pasar tradisional. Usai membayar ongkos abang-abang ojek, Ditha langsung menuju stand pedagang sayur-mayur yang lengkap. Setelah mendapatkan apa yang tadi disuruh oleh neneknya kini Ditha berpindah pada stand pedagang kue. Bersyukur karena dia orang terakhir yang masih bisa mendapatkan kue pancong yang sedang di masukkan ke dalam cetakan.

"Udah nikah, Neng?" tanya laki-laki pedagang kue pancong. Ditha yang sedang sibuk dengan ponselnya mengalihkan atensinya kepada pedagang kue di hadapannya.

"Belum." Kemudian dia kembali memfokuskan atensinya pada layar segi empat tersebut. "Kenapa emangnya, Mang? Mau nikahin saya? Mending nggak usah deh. Maharnya wajib gede."

"Segede apa sih? Segede bandulan, Neng yang itu, ya?" Dengan nada menggodanya pedagang laki-laki itu bertanya.

Ditha mendongak dengan kedua alis yang saling bertautan. "Hah? Apa,Mang? Sorry nggak denger saya."

Kini Ditha benar-benar memfokuskan atensi kepada pedagang di hadapannya. Laki-laki bertopi itu pun menatap sebentar area sekitar keduanya berada dirasa sepi, nampak sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas serta tatapan yang sangat berbeda menatap gadis di hadapannya. Kue pancong sudah matang dan juga sudah dimasukkan ke dalam plastik.

Ditha yang tadi berada di posisi agak jauh kini mendekat untuk membayar kue pancong pesanan neneknya. Namun, saat ingin membayar uangnya itu terbang dan terjatuh mengenai kaki pedagang di hadapannya. Ditha pun menunduk dan entah sadar atau tidak dia ke pasar menggunakan kaos oblong yang sedikit tipis sehingga kedua batok kelapanya terlihat sehingga saat dia menunduk untuk mengambil uangnya pun belahan dadanya kelihatan terpampang sempurna di hadapannya pedagang kue pancong tersebut.

"Maharnya pasti segede susu, Neng ini." Kedua mata Ditha terbelalak sempurna merasakan denyut pada kedua batok kelapanya dada serta ujung jelinya di remas. Baru saja ingin berdiri tegak kedua batok kelapanya sudah di lecehkan oleh pedagang kue pancong itu.

"Sia lan!"

Ditha menyilangkan tangannya tepat di depan kedua batok kelapa, melihat ekspresi laki-laki di hadapannya tersenyum menggoda kepadanya membuat Ditha ingin benar-benar membunuh pelaku pelecehan satu ini.

"Enak, Neng? Mau lagi? Sini dengan senang hati—"

"Brengsek!" teriak Ditha menatap nyalang pedagang di hadapannya.

Ditha melayangkan sebuah tendangan di bagian perut pelaku pelecehan yang dilakukan terhadap dirinya. Laki-laki dewasa itu pun sedikit tersungkur ke tanah sebelum Ditha kembali melayangkan berupa injakan di tubuhnya.

"Dasar brengsek! Harusnya lo itu sadar kalo lo cuman tukang kue!"

Ditha kembali menginjak-injak tubuh pedagang kue pancong tersebut. Tidak terdengar suara ampunan mau pun suara rintihan akibat kesakitan malahan dia mendengar suara tawa mengejek yang keluar dari mulut pelaku pelecehan itu.

"Jangan marah-marah gitu, Neng. Salah sendiri ke pasar nggak pake kacamata, udah gitu jelinya ke mana-mana. Saya laki-laki normal, gimana mau nolak kalau di kasih gratisan? Apalagi masih hot begitu."

Hati Ditha benar-benar sesak mendengar penuturan pelaku pelecehan itu dan sialnya dia baru menyadari bahwa dia tidak memakai kacamata apalagi kaos yang dia pakai saat ini terbilang tipis. Sudah menjadi kebiasaan Ditha jika tidak ada orang selain dirinya di rumah maka gadis itu tidak akan memakai kacamata dan akan memakai kaos oblong. Namun, kali ini siapa yang menduga jika kebiasaan yang dia anggap lumrah jika berada di dalam rumah malah menimbulkan radang dari dalam sampai luar tubuhnya.

...Ω...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!