Aaah … Ditha ….

Ditha menatap malas empat orang yang saat ini duduk berhadapan dengannya. Claudia dan Zea tadi langsung menarik pergelangan tangan Ditha lalu membawa pergi dari hadapan pria tadi bersama sahabatnya itu di dalam kelas dan di sinilah keempat sahabatnya berada.

Di sini juga ada Koko dan Azri, setelah mendapat kabar dari teman kelasnya yang mengatakan bahwa jam ketiganya tidak ada guru. Keduanya pun akhirnya menetap di kantin sampai di mana Koko dan Azri melihat ketiga sahabat perempuannya tengah berjalan menuju ke arah tempat mereka berada.

Ditha menghirup napasnya dalam-dalam, kemudian dihembuskan begitu saja.

"Jadi, jelasin ke kita-kita. Sebenarnya hubungan lo sama pak Ezra apa? Dan lo sama dia udah lama kenal, kan?" tanya Zea.

Ditha melirik Claudia yang tengah menatapnya sinis, di sinilah Ditha mengerti bahwa sahabatnya itu memiliki perasaan dengan pria yang selalu membuatnya naik darah.

"Clau … lo biasa aja dong ngeliatinnya!" sungut Ditha. "gue nggak bakalan naksir sama tua bangka i—"

"Pak Ezra bukan tua bangka!" tukas Claudia cepat.

"Iya, udah. Pak Ezra bukan tua bangka, kalo diliat dari segi umurnya dia cukup dewasa dari kita-kita." Zea menengahi dan dia menatap Claudia, kemudian beralih menatap Ditha. "Lo belum jawab pertanyaan gue, Tha."

"Kerongkongan gue kering banget ini," sindir Ditha, seraya duduk bersila.

Zea yang paham langsung menyikut lengan Koko dan Koko pun menyikut lengan Azri, sedangkan Azri menoleh ke samping kirinya dia menatap Claudia yang tengah memasang wajah kesalnya.

"Apa? Lo mau nyikut gue?"

Azri hanya menjawab dengan gelengan kepalanya saja, sedangkan Ditha yang melihat interaksi keempat sahabatnya langsung melempar tisu bersih satu-persatu ke sahabat-sahabatnya itu.

"Lo kira kira lagi main estapet? Sikat sana sikut sini, heran gue sama lo semua!" ketus Ditha. Ditha yang ingin beranjak dari duduknya menjadi urung, kedua matanya melotot sempurna saat melihat seorang pria yang sedang memesan bakso dan beruntungnya pria itu membelakangi dirinya dan keempat sahabatnya.

"Tamat riwayat gue," seloroh Ditha dan langsung mendapatkan tatapan bingung dari keempat sahabatnya.

"Emang lo sakit apa, Tha?" tanya Azri dengan polosnya.

"Ini bukan tentang sakit," jawab Ditha.

"Terus?"

Ditha memutar balikkan tubuhnya dan berniat ingin kabur dari kantin. Namun, baru ingin melangkahkan telinganya, sudah ada yang menariknya.

"Pak David?" ucap Zea saat tempat mereka didatangi seorang pria dengan tangan memegang mangkuk yang berisikan bakso.

Ditha menoleh kebelakang dan pura-pura meringis. "Eh, Bapak …."

"Eh, Bapak …," ledek Pak David dengan mengulang kembali ucapan Ditha, setelah menjauhkan tangannya dari telinga Ditha.

"Bapak, suka sama saya? Kalo suka bilang, Pak jangan pake jewer-jewer kuping saya," ucap Ditha dengan percaya dirinya.

"Narsis banget lo!" sahut Koko.

"Diem lo ban …." Ditha melirik Zea sekilas dan dia pun tidak jadi melanjutkan perkataannya. Mengingat di mana Zea tidak suka saat ada yang memanggil mantan kekasihnya itu dengan sebutan 'banci Thailand'.

Pak David menatap satu persatu anak muridnya. "Sudah-sudah. Setiap kali saya ketemu kalian berlima, selalu saja ribut, selalu saja adu mulut. Kadang heran sekali saya sama kalian."

Ditha berdecak.

"Udah biasa itu mah, Pak. Kayak nggak pernah SMA aja," sindir Ditha. Dia pun duduk di kursi yang kosong.

"Anak murid nikah sama gurunya sendiri pasti ada, kan di jamannya, Bapak?" Ditha mulai menebak dan Pak David nampak berfikir sebentar, setelah itu dia mengangguk.

"Ya, memang ada. Bahkan guru saya waktu itu seumuran dengan kakak saya." Pak David yang mulai terhanyut dengan masa-masa SMAnya dia ikut duduk bergabung di samping Ditha.

"Terus-terus gimana kelanjutannya, Pak?" sahut Azri yang nampak mulai ikut-ikutan penasaran.

Pak David menyerahkan mangkuk bakso kepada Ditha.

"Tolong bawa keruangan saya dan bilang minumannya nanti nyusul. Gasnya habis dan lagi dibeli," tutur Pak David.

Ditha dengan malasnya menerima mangkuk bakso tersebut, diikuti senyum manisnya.

"Oke."

Setelah Ditha menghilang dari pandangan mereka berlima pak David melanjutkan ceritanya.

...Ω...

Sepanjang jalan koridor, Ditha terus saja ngedumel gara-gara perintah gurunya itu. Niat hati ingin menghindari omelannya, tetapi malah berujung seperti saat ini. Sampai di depan pintu ruangan pak David, kebiasaan Ditha yang tidak pernah mengetuk pintu ruangan pak David masih berlaku sampai saat ini dan akibat kelakuannya itu mangkuk yang di pegangnya jatuh dan isi yang ada di dalam mangkuk yaitu, bakso beserta saudara-saudaranya mengenai pakaian seseorang.

Kedua mata Ditha terbelalak saat dirinya masuk ke dalam ruangan dan di saat itu juga ada seseorang yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya, tentu saja itu membuat mangkuk bakso yang di bawanya tadi kini sudah pecah dan berserakan ke mana-mana.

"Aaah … Ditha …."

Ditha mendongak, melihat seorang pria dengan kemeja maroon hampir terhuyung. Mungkin kalau Ditha tidak segera memapahnya tubuh pria itu sudah jatuh mengenai pecahan mangkuk bakso tersebut.

Bukannya minta maaf Ditha malah menghina pria di sampingnya saat ini.

"Udah tua kenapa banyak tingkah sih? Sini-sini duduk dulu," ucap Ditha seraya berjalan mendekati sofa yang berada di dekat meja pak David.

Keduanya sudah berada di sofa, Ditha melihat pria di hadapannya meringis seraya memegangi perutnya. Tanpa suara Ditha pergi saja ke lebih dalam ruangan ini, setelah selesai dia kembali dengan membawa kotak P3K.

"Perut saya perih, Ditha …," ucap pria tersebut pelan seraya tangannya membuka satu persatu kancing kemejanya. Ditha yang melihatnya tentu saja langsung membelalakkan kedua matanya.

"Om Ezra! Ngapain buka kancing segala coba?"pekik Ditha. "jangan macam-macam, ya, sama saya!" lanjutnya.

"Kalau tidak saya buka, bagaimana kamu bisa mengobati luka saya?"

"Ya, Om obati sendirilah. Lagian ini salah, Om, ya! Tiba-tiba ada di depan orang, udah kayak setan aja."

"Salah saya?" Ezra tertawa pelan. "Kalau kamu masuk rumah orang apa nggak ketuk pintu dahulu? Untung kamu wanita, kalau pria? Sudah lebam-lebam itu wajah judes kamu dihajar warga."

Ditha menatap tajam, lalu tangannya mengambil bantal sofa dan langsung dia lemparkan begitu saja ke wajah Ezra.

"Rasain! Makanya nggak usah coba-coba menghina muka saya."

Ditha berpindah duduk menjadi di kursi kebesaran milik pak David. Sungguh dia sudah sangat muak, dia berjanji setelah keluar dari ruangan ini. Ditha tidak ingin bertemu kembali dengan kedua orang yang sudah menguras kesabarannya hari ini.

Diam-diam Ditha mencuri pandang ke arah Ezra yang kini sedang mengobati luka memar akibat kuah bakso yang masih panas mengenai perut Ezra. Di sana terlihat berwarna merah entah berbentuk apa yang jelas Ditha menjadi sedikit khawatir. Namun, detik kemudian ia langsung tepis rasa khawatir itu dalam pikirannya.

Biarin ajalah dia, kan cowok. Masa, iya, lemah banget. Kena kuah begitu doang langsung tangannya ikut-ikutan sakit gitu? Nggak masuk akal banget, batin Ditha.

"Ada pesan buat kamu, sebelum saya pergi jauh. Jadilah orang yang bertanggung jawab, setelah melakukan kesalahan kepada manusia. Kalau tidak bisa membantu, setidaknya meminta maaflah. Jangan malah menghina seseorang tersebut."

Ditha tercengang dengan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Ezra.

"Silahkan kalau, Om mau pergi jauh dan dengan senang hati saya ijinkan, Om lebih baik nggak usah kembali lagi ke sini. Nggak usah muncul-muncul lagi di depan muka saya!"

Ditha keluar dari ruangan pak David ini tanpa menutup pintu, sedangkan Ezra yang melihatnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalau bukan atas permintaan mama, sudah pasti saya menolak keras untuk mengiyakannya."

...Ω...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!