Aku mengingat lagi hari-hariku. Dimana sepertinya aku sekilas melihat teman sebangku ku itu sebelum disekolah. Aku sudah berjalan menyusuri gang dibelakang area sekolah saat merasa pernah begitu tertegun dengan bahu dari teman sebangku ku itu. Langkahnya saja yang sedikit lambat. Tidak seperti dalam pikiranku. Kenapa aku merasakan sama tetapi ada perbedaan juga. Apa yang kira-kira membedakannya?
Langkahku langsung terhenti begitu menabrak dua sobatku yang tiba-tiba mematung.
"Jalan oi! Jangan mematung begini!" Aku menyela dua sobatku ini dan mendapati wajah yang sama dengan wajahku tengah bersandar santai pada gang yang hanya bisa dilewati satu motor saja.
"Eh, abang!" kataku kaku.
Aku lupa! Disekolah ini, aku ada kakak dengan prestasi dan predikat cemerlang sebagai siswa teladan dan panutan sekolah. Wajah kami tidak ada bedanya. Entah raut wajah, alis, mata, hidung, bibir, bahkan warna kulit. Senyum kami pun sama. Kalau tidak ada yang mengenal keluargaku dengan baik, aku dan kakakku yang hanya beda waktu kelahiran 5 menit ini, mungkin akan bisa menipu banyak pasang mata. Tapi disini, kami bisa dibedakan hanya dengan kacamata yang Aray gunakan.
Yah! Kami kembar. Kembar identik tanpa kurang satu apapun yang mampu membedakan kami. Karena hal itulah, ketika masa SMP dulu ada kelas percepatan, aku memilih tidak mengikutinya dan membiarkan Aray, nama kakakku untuk mengambil kelas itu. Kemampuan kami sama di semua bidang akademik ataupun fisik. Hanya saja, aku tidak berminat mengikuti jejak ayah yang sebagai dokter. Dokter yang selalu saja menjelajah kemana pun ia ingin pergi.
Aku ingin bisa hidup tenang dan menetap disatu tempat tanpa perlu berpindah-pindah sehingga harus kehilangan banyak momen dimasa aku ingin menikmati dunia ku. Seperti kali ini contohnya. Aku bermaksud membolos dengan sobatku.
"Anak kelas satu sebentar lagi pulang! Kalo mau bolos lain kali aja, Rei!" Aray melepas kacamatanya. Memencet bagian tengah hidung antara kedua matanya.
"Kenapa mata lo? Belekan?!"
"Lo nambahin daftar kerjaan gue aja! Balik kelas sana!"
"Nanggung bang!" Jawabku menepuk bahu dua sobatku yang masih berdiri dengan kaku. Secara kami ketahuan bolos dihari pertama oleh sosok Ketua Osis. Ketua Osis yang mereka sudah kenali sebagai kembaranku.
"Kalian berdua mau balik atau nemenin dia ke BK?" tawaran Aray tentu saja membuat kedua sobatku memilih kembali ke kelas daripada dihari pertama harus berurusan dengan BK. Guru BK sekolah ini katanya baru diganti, jadi untuk ketegasan dan disiplin yang ditanamkan masih akan menjadi uji coba. Dengan pengetahuan ini pula, kedua sobatku langsung ngacir, alih-alih menjadi kelinci percobaan guru BK yang baru.
"Kita balik aja, Rei! Ogah gue berurusan sama guru BK yang baru."
"Gue juga nggak mau jadi kelinci percobaan, Rei!"
"Sejak kapan kalian takut guru BK!!" keluhku yang perlahan berbalik mengikuti langkah kedua sobatku.
"Salah jalan!" Ujar Aray tegas yang membuat kedua temanku berbalik kaku.
"Kalian tadi melompat dari sana, masak mau pakai jalan yang sama?!"
"Kalau lo ada jalan lain, kasi tahu dong bang!"
"Ya makanya gue tungguin lo disini!" jawab Aray rada malas. Berani taruhan ketika dia berbalik, dia tersenyum geli dengan ketakutan yang ditunjukan dua sobatku ini. "Ayo ikut gue!"
Jangan salah. Abangku ini tidak ada bedanya dengan ku dalam urusan menjahili anak-anak yang masih belum bisa bertanggung jawab dengan tindakannya. Bukannya bermaksud buruk, abang gue hanya ingin mereka bisa memperbaiki diri dengan mengetahui konsekuensi terburuk dari tindakan yang mereka lakukan.
Kami melangkah cukup jauh kebagian tengah pemukiman yang nampak sepi karena berada dekat dengan sungai. Diujung jalan, Aray berbelok dan menunjukan jalan dibalik semak-semak yang langsung tembus ke bagian gedung anak-anak kelas sepuluh.
"Waah! Ada jalan gini toh!"
Belum sempat meluapkan semua kesenanganku karena menemukan jalan baru, Aray sudah mengeluarkan sebuah segempuk kunci yang sama semuanya. Lalu kami dihadapkan pada sebuah gerbang yang sedikit mengkarat dengan rantai baja bergembok.
"Yaaah! Kecewa gue bang!" ucapku pada Aray yang hanya menggidikkan bahunya lalu membiarkanku dan dua sobatku untuk kembali ke kelas. Dia menggembok kembali rantai dan pagar besi itu. Lalu menghilang di balik semak-semak.
"Gila! Aray benar-benar beda yah wibawanya!" ujar Aditya kagum.
"Masih saja gue keder kalau dia yang nangkap basah." Raka menambahkan.
"Tapi kagak pernah menjerumuskan, bukan!" kilahku dari rasa iri terhadap kekaguman dan rasa segan yang didapatkan Aray dari kedua sobatku. Sementara aku paling sering dijadikan bahan bullyan mereka dengan membandingkan aku dengan kakakku itu. Padahal kami beda waktu lahir hanya 5 menit. Sial!
Aku berjalan menyusuri lorong untuk sampai didalam kelas. Ternyata ucapan Aray benar. Anak-anak angkatan baru sudah bubar dan hanya menyisakan satu dua siswa di beberapa kelas. Entah karena masih ada urusan atau sekedar ingin tetap berada disekolah karena akses wifi di sekolah ini memang sangat cepat. Pada belokan diujung lorong, aku langsung terdiam melihat Aray sedang mengobrol santai dengan wali kelasku, bu Hera.
"Cepat amat! Jalan lewat mana?!" aku menggerutu dengan memperhatikan bangunan gedung yang tidak memiliki akses apapun untuk keluar masuk ke area belakang sekolah dengan cepat. Kecuali harus putar balik atau harus masuk dari pagar mengkarat tadi.
Aray menatapku sejenak kemudian mengikuti langkah bu Hera menuju ruang guru. Awas saja kalau lo sampai laporin gue, Ray!
Aku berbalik lagi menuju gedung kelasku. Melihat sudah tidak ada siswa yang lalu lalang, menandakan kalau kelas sudah sepi dan tidak ada orang lagi. Tapi suara decitan kursi membuatku penasaran dan akhirnya menoleh ke dalam kelas. Disana aku kembali melihatnya. Teman sebangku yang tengah memasukan tumpukan buku paket pada kolong bangku punya ku.
Aku memperhatikannya sampai kedua teman menyapa.
"Liatin apaan, Rei! Udah pada pulang semua tuh!" ujar Raka santai.
"Yaaah! Percuma dong di gap abang lo!"
"Kalian yang nyerah dan akhirnya ngikutin kata-kata abang gue kan?!" sergahku. " Jadi jangan protes!" aku mentoyor kearah Aditya. Namun dia berhasil mengelak sambil meledek.
"Udah! Balik yuk! Gue belum balikin kartu anggota gue nih!"
"Kartu anggota apaan?!"
"Nih!" hal itu mengingatkan Aditya akan tingkahnya terakhir kali yang membuatnya harus menjaga sebuah toko penyewaan buku selama sebulan. Dan dari perhitunganku, masih tersisa dua 2 minggu lagi dari waktu sebulan itu.
"Akh! Sial! Sial!!" Aditya nampak panik dan hampir melupakan tanggung jawabnya itu. "Iya nih! Ayo cepat balik!"
"Kapok lo!"
"Bukannya gitu... "
"Ma, maaf!!" suara yang terdengar lambat tetapi jelas itu menggema disepanjang lorong. Membuat dua sobatku bergidik kaget dengan menempel padaku. Melihat tingkah kedua sobatku, aku tidak bisa menahan senyum. Dasar pengecut. Dikira suara apaan kali yah?!
"Ada apa?" sambutku saat sosok dengan suara tertahan itu menghampiri kearah kami.
"Ini!"
Jadilah tiga lembar angket sudah berada di tanganku.
"Kumpulkan besok! Terima kasih!"
Selesai mengatakan hal itu, dia berlalu begitu saja. Langkahnya cepat dan setengah berlari. Mengingatkan ku lagi pada sesuatu yang sepintas lewat dalam pikiran.
"Dimana?"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments