Puskesmas Di Tengah Hutan [ END ]
Fani adalah seorang gadis muda yang baru saja menyelesaikan pendidikan kebidanannya dan kini, ia tengah menatap nanar pada selembar surat tugas di tangannya. Jauhnya lokasi penugasan yang tengah ia pikirkan. Meski begitu, dia harus tetap berangkat sebab, jika ia menolak maka beasiswa pendidikan kebidanan yang telah ia terima harus dikembalikan. Dengan kata lain, dia harus membayar semua biaya pendidikan kebidanannya.
"Baiklah, anggap ini sebagai liburan. Bukankah hiruk pikuk perkotaan cukup membuat penat? Tiga bulan tinggal di desa, menarik juga."
...🌸🌸🌸...
Hari keberangkatan pun tiba. Fani berangkat diantar kekasihnya sekaligus calon suaminya. Orang tuan Fani sudah tua jadi, tidak bisa ikut mengantar. Fani adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang mana semua saudaranya berprofesi sebagai bidan atau perawat di rumah sakit yang cukup ternama.
Setelah semuanya siap, Fani dan kekasihnya, Rifki berpamitan. Kedua orang tua Fani hanya mengantarkannya dengan doa.
"Baik-baik ya nak di sana! desa memang jauh berbeda dengan kota. Mungkin sekali akan kamu temui banyak kekurangan dalam di sana tapi ibu harap, kamu sabar ya! ketiga kakakmu juga mengalaminya sebelum bisa bekerja dengan nyaman di kota," pesan ibunya.
"Iya buk, Fani akan mengingat pesan ibuk."
"Rifki, pelan-pelan saja nyetirnya!"
"Baik buk."
"Hati-hati ya kalian!"
"Iya."
Usai berpamitan, perjalanan pun dimulai. Rifki sengaja menyewa mobil selama dua hari untuk mengantarkan Fani. Sepanjang perjalanan, Fani terlihat gelisah. Sejujurnya, ada keraguan di dalam hatinya. Rasanya, dia tidak sepenuhnya yakin untuk bertugas di tempat yang telah ditunjuk untuknya.
"Ada apa sayang?" tanya Rifki.
"Hemm, gimana ya?"
"Kenapa?"
"Tempat ini jauh sekali dan terasa asing."
Rifki terkekeh.
"Tentu saja asing, kamu kan memang belum pernah ke sana."
"Rasanya, gimana ya jelasinnya?"
"Jangan terlalu dipikirkan, dijalani dulu saja!"
Fani menghela napas panjang tanpa memberi jawaban.
Ternyata, lokasi desa penempatan Fani begitu jauh dan terpencil. Mereka cukup terkejut kala melewati jalan setapak yang diapit hutan nan lebat.
"Tuh kan firasatku benar," ucap Fani.
"Namanya juga desa yang, sudah wajar banyak pepohonan."
"Ini sih bukan sekedar pepohonan tapi hutan. Tidak ada peradaban sejauh mata memandang."
"Sabar dulu ya!"
"Kalau bukan karena biaya beasiswa, gak bakalan mau aku ditugasi ke sini."
"Ingat kata ibuk tadi! ketiga kakak kamu kan juga mengalaminya juga. Harusnya, kamu sudah yakin saat memutuskan untuk mengambil jurusan kebidanan dulu."
"Iya aku tahu tapi saat mengalaminya sendiri ya.. beda lagi."
Rifki tersenyum sembari mengusap kepala Fani.
Beberapa kilo kemudian, muncul keraguan. Apakah jalan yang mereka ambil sudah benar, hingga sampailah mereka di sebuah persimpangan. Terdapat papan petunjuk yang mana arah kanan menuju ke desa waringin dan arah kiri menuju ke desa beriyun. Fani membuka kembali surat tugasnya untuk memastikan.
"Ke kanan yang, ke desa waringin!" ucap Fani.
"Benar ke kanan?"
"Nih lihat aja sendiri!"
Rifki melihat lembar kertas yang diulurkan calon istrinya.
"Hemm, iya benar. Oke kita ke kanan!"
Kurang lebih sudah dua kilo meter terlewati tapi masih belum terlihat perkampungan. Hanya ada hutan di sisi kira dan kanan.
"Kok gini sih?" keluh Fani.
"Sabar ya! sebentar lagi pasti sampai."
"Ini sih desa terpencil."
"Sayang.."
"Kesel banget rasanya, badmood"
"Jangan gitu dong! eh, itu ada gapura tuh."
Fani meluruskan pandangannya dan benar saja, ada gapura kayu yang bertuliskan:
...SELAMAT DATANG DI DESA WARINGIN...
"Alhamdulillah," ucap Rifki.
Meski telah sampai di desa tujuan, perasaan Fani masih tak karuan. Dia juga tak tahu apa penyebab pastinya. Mungkin, semacam sebuah firasat.
Tak jauh dari gapura, mereka melihat bangunan yang tak seberapa besar dimana di depannya tertulis:
...PUSKESMAS WARINGIN...
"Akhirnya sampai juga," ucap Rifki.
"Udah, jangan cemberut terus! sudah sampai kita," ucap Rifki lagi.
Fani turun dari mobil dan langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Meski hari masih siang tapi suasana yang terasa membuatnya tidak nyaman. Sudah ada banyak rumah meski dengan jarak yang lumayan. Tentu saja berbeda dengan di kota yang mana jarak satu rumah dengan rumah lain berdekatan bahkan berdempetan.
Siang itu, tak ada satu pun orang yang terlihat di jalanan. Sudah seperti desa mati, pikir Fani. Bangunan kosong di mana-mana tapi tak ada satu pun manusia. Fani menggelengkan kepalanya, coba menghalau semua pemikiran buruknya.
"Hemm.. terlalu banyak nonton film horror nih," ucap Fani pada dirinya sendiri.
"Yang.." panggil Rifki.
"Apa?"
"Coba masuk dulu ke puskesmas!"
"Emm.. iya."
Fani dan Rifki pun berjalan perlahan, masuk ke dalam area puskesmas. Tiba-tiba, angin kencang menghempas tubuh mereka. Baru juga sampai di pelataran, bulu kuduk sudah berdiri.
"Gila, siang bolong begini bisa merinding."
"Jangan ngomong macem-macem yang!" sergah Rifki.
"Iya-iya."
"Emang sepi banget ya?"
"Tuh kan, aneh emang," timpal Fani.
"Masuk dulu deh!"
Terdapat tiga anak tangga sebelum sampai di teras puskesmas. Fani dan Rifki menaikinya dan kini, mereka berada di teras puskesmas. Beberapa langkah kemudian, sampailah mereka di dalam bangunan puskesmas.
"Kosong, kok bisa kosong sih?"
"Kita cek ke dalam dulu ya!" ajak Rifki seraya menggenggam tangan kekasihnya.
"Kenapa nih pakek pegang tanganku?"
"Khawatir kamu takut," jawab Rifki sambil nyengir.
"Kesempatan kamu ya?"
"Enggak."
Mereka pun tertawa seraya melanjutkan langsung masuk ke satu persatu ruangan yang ada di sana. Fani dan Rifki saling memandang usai memeriksa semua ruangan tanpa seorang pun di sana.
"Kayaknya kita balik aja deh ke rumah. Salah alamat ini, kosong begini," ucap Fani dengan nada kesal.
"Kok gitu sih? alamatnya sudah benar, puskesmas ini juga benar, puskesmas Waringin. Lebih baik, kita tanya ke warga saja!"
"Gak ada warga."
"Jangan bete terus dong! senyum dikit biar manis!" goda Rifki sembari mencubit pelan pipi Fani.
"Yaudah ayo!"
Fani dan Rifki berjalan keluar puskesmas lalu celingukan ke kanan dan ke kiri. Bingung hendak mendatangi rumah warga yang mana.
"Yang mana aja juga sama. Jangan-jangan semua rumah ini kosong," gerutu Fani.
"Hussttt! jangan gitu ah! ke sana aja deh, ayo!" ajak Rifki sembari menarik pelan lengan Fani.
Rumah yang dipilih Rifki berada di sisi kanan puskesmas. Rumah tembok bercat biru muda. Tidak terlalu besar tapi terlihat begitu bersih. Terdapat banyak tanaman bunga di halamannya.
......Tok... tok.. tok.........
"Permisi, Assalamualaikum," Rifki mengucap salam.
"Assalamualaikum," Fani mengikuti.
"Waalaikumsalam," terdengar suara perempuan memberi balasan.
"Alhamdulillah, ada orang," ucap Rifki seraya menyunggingkan senyuman.
Lima menit mereka menunggu, tak ada yang membukakan pintu. Akhirnya, Rifki kembali mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam,"
Salam balasan kembali terdengar namun, pintu rumah, masih belum dibukakan.
"Apa dia sakit ya jadi tidak bisa membukakan pintu?" gumam Rifki.
...🍂 BERSAMBUNG... 🍂...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Diankeren
Hem... desa yg bgimne dlu mba'e 👻
xixixixi
2024-01-23
1
Diankeren
resep nvel'y sdkit bab'y, tpi bnyk jdul²'y
2024-01-23
1
yuli Wiharjo
Gilak aku Baca aja ikut merinding. kekmanalah thor.,asal Baca novel bawaannya tuh akunya masuk kedalam cerita Seolah olahnya gitu, ya horror,, romantic,, mafia apa lh Pokoknya
2024-01-10
0