Hari senin, hari yang panjang bagi sebagian orang. Melakukan aktivitas seperti biasa setelah hari libur memang membuat malas sebagian orang, entah itu pelajar atau pekerja.
Seperti Wildan pagi ini, di jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi ia masih telentang di ranjang dengan ponselnya. Sedetik kemudian bibirnya melengkungkan menatap benda pipih di depannya
"Makasih mir. Kamu malah kelihatan cantik begitu tahu." Ketik Wildan di ponselnya dan menambah emoticon kedipan mata sebelah.
Beberapa saat yang lalu entah ada angin apa ia ingin melihat Mirna dengan wajah polosnya. Mungkin ia merindukan Mirna, padahal baru kemarin ia bertemu tapi sudah rindu saja, pikirnya.
"Mir, bagi foto selfi kamu dong. Lagi butuh penyemangat nih." Ketik Wildan beberapa saat yang lalu.
Dan tanpa harus berdebat atau menanyakan kenapa harus fotonya, Mirna justru langsung saja mengirim foto dirinya yang masih berbaring dengan senyum manisnya.
"Nih fotonya, mudah-mudahan nggak kesambet lihat aku tanpa make up. Masih belekan pula." Ketik Mirna di foto tersebut dan menambah emoticon tertawa terbahak-bahak.
Wildan masih memandangi foto Mirna di ponselnya dengan posisi membelakangi pintu ketika Bu Nawang masuk kamarnya. Sudah beberapa kali wanita itu mengetuk pintu kamar anak perjakanya namun tak kunjung mendapat sahutan, akhirnya dengan gerakan pelan-pelan Bu Nawang membuka pintu kamar Wildan dan mendapati anaknya yang tengah berbaring dengan ponsel ditangannya. Bu Nawang melangkah dengan pelan, ia ingin tahu apa yang dilakukan anaknya dengan melihat ponselnya terus menerus.
Bu Nawang berjongkok dan mendekatkan kepala ke ponsel Wildan. Saking fokusnya dengan ponsel, Wildan sama sekali tak menyadari kehadiran ibunya yang kini juga memperhatikan foto Mirna.
"Siapa Wil?" Tanya Bu Nawang di dekat telinga Wildan
Saking terkejutnya Wildan, ia sampai melempar ponselnya dengan sekeras-kerasnya.
"Astaga ibu sejak kapan disini? Kaget tahu bu." Protes Wildan duduk seraya mengelus dadanya
"Kamunya aja yang budek. Dari tadi ibu udah ketuk pintu nggak ada sahutan ya ibu masuk lah. Ibu masuk kamar aja kamu nggak nyadar. Siapa perempuan tadi?" Tanya bu Nawang lagi.
"Ha? Ibu lihat fotonya juga?"
Bu Nawang hanya mengangguk seraya memberi tatapan meminta penjelasan
"Eeee itu tadi foto..." Wildan berpikir sejenak. "Foto...foto temen kok Bu, iya temen." Jawab Wildan yang mendadak menjadi gagap
"Masak? Nggak percaya ibu." Ucap Bu Nawang melipat tangannya di depan dada.
"Iya ibu cuma temen. Baru kenal beberapa hari yang lalu."
"Kenal dimana?"
Wildan gelagapan, apa yang harus ia katakan untuk pertanyaan yang satu ini, pikir pria itu.
"Di...jalan. Jadi aku nggak sengaja hampir nabrak dia, terus aku turun dari mobil, minta maaf kenalan."
Bu Nawang menatap Wildan tak percaya.
Wildan hanya diam seraya mencoba mengalihkan pandangannya ke segala arah dengan gugup
"Mandi gih. Pemimpin perusahaan kok malas-malasan." Ucap Bu Nawang meninggalkan Wildan yang masih duduk termangu di ranjang.
Wildan bernafas dengan lega setelah Bu Nawang menutup pintu kamarnya. Jantungnya yang semula berdegup kencang kini kembali normal. Entah kenapa Wildan belum siap jika ibunya mengetahui ia kenal dengan biduan dangdut. Ia terlalu takut akan resikonya, pandangan orang mengenai profesi Mirna memang tak bisa disepelekan.
Sejurus kemudian Wildan teringat ponsel yang ia lempar. Ia turun dari ranjang dan memungut ponsel nya yang tergeletak di lantai.
"Kamu cantik banget sih mir. Cuma rebahan pakai piyama meluk guling senyum tipis, udah buat aku jadi males ngapa-ngapain. Aku jadi pengen jadi gulingnya." Gumam Wildan duduk ditepi ranjang dengan ponselnya yang masih menyala dan memperlihatkan foto Mirna
"Wildaaaaan, mandiii!!" Teriak Bu Nawang yang entah dimana keberadaannya. Namun suaranya yang melengking membuat Wildan kembali terkejut dan refleks berlari ke arah kamar mandi.
*
"Mir, ntar malem kita ada manggung ya di nikahan orang, jangan sampai ketiduran. Berangkat bareng aku aja naik mobil sama mas bam, aku udah bilang dan dia setuju."
"Terserah kamu aja yu baiknya gimana. Aku mah nurut aja. Lagian kalau nggak bareng kamu aku mau bareng siapa?" Tanya Mirna mengunci pintu kamarnya.
"Ya barangkali kamu mau diantar sama mas mu."
"Siapa?"
"Mas Wildan lah, siapa lagi."
"Nggak ah. Aku nggak pantes buat dia yang terlalu sempurna, apalah dayaku yang hanya upik abu." Ucap Mirna terkekeh lalu pergi meninggalkan Ayu yang masih melipat tangannya di atas dada dengan bersandar di gawang pintu.
Mirna berjalan menuju rumah majikannya. Salah satu hal yang ia syukuri, mendapat majikan yang baik, tak memandang rendah dirinya, dan tak jauh dari kosnya, itu yang lebih penting. Ia berjalan seraya bersenandung ria
Awake dewe tau due bayangan
(Kita dulu pernah punya khayalan)
Besok yen wes wayah e omah-omahan
(Besok kalau sudah waktunya berumah tangga)
Kowe moco koran sarungan
(Kamu baca koran pakai sarung)
Aku blonjo dasteran
(Aku belanja pakai daster)
Nanging sak iki west dadi kenangan
(Namun sekarang sudah jadi kenangan)
Aku karo kowe wes pisahan
(Aku dan kamu sudah berpisah)
Kowe kiri aku kanan west bedo dalan
(Kamu kiri aku kanan sudah beda jalan)
(Ndarboy Genk mendung tanpo udan)
"Kheem." Ucap seorang yang membuat Mirna menoleh ke sumber suara.
"Lah mas Wildan kok udah sampai sini aja." Tanya Mirna yang mendapati Wildan tengah duduk di warung kopi.
"Udah dong, sengaja nungguin kamu. Itu rumah majikan kamu?" Tanya Wildan menunjuk sebuah rumah di seberang jalan dengan dagunya.
"Iya mas. Kok tahu kalau berangkat ngasuh jam segini?" Tanya Mirna heran.
"Insting aja. Ikatan batin kita udah kuat kayaknya." Ucap Wildan tersenyum lebar
Mirna tertawa. "Bisa aja. Aku pergi dulu ya mas. Udah mau telat nih."
"Iya berangkat aja, kerja yang rajin ya. Nanti aku bawa kamu buat tinggal di rumah yang gede juga kayak rumah majikan kamu."
"Apaan sih ni orang, masih pagi juga. Udah ah, ngobrol sama kamu nggak menghasilkan uang." Ucap Mirna menyeberang jalan.
Wildan hanya tertawa seraya menatap punggung Mirna yang sudah mulai masuk ke pekarangan rumah mewah. Rasa itu, rasa yang pernah ada untuk Aina kini seperti hadir kembali, namun bukan untuk orang yang sama. Tapi untuk orang yang baru ia kenal beberapa hari lalu. Apa ia sudah jatuh cinta dengan Mirna? Secepat itu? Entah sudah berapa kali pertanyaan itu muncul di kepala Wildan namun berakhir dengan jawaban ah sudahlah, terlalu cepat untuk jatuh cinta. Tapi Wildan akui berada di sisi Mirna sangat membuatnya nyaman dan seperti ada rasa yang tak mau jauh dari wanita itu. Selalu ingin berada di dekatnya setiap waktu.
Sementara itu, Mirna masih saja memikirkan apa yang diucapkan Wildan terakhirnya kali. Sebenarnya Mirna tak ingin memikirkan ucapan pria itu, namun sepertinya logikanya kini sudah tak sejalan dengan keinginannya. Mirna menepuk kepalanya pelan. Ingin sekali rasanya Mirna tak mau melibatkan perasaannya ketika bersama Wildan, tapi lagi-lagi keinginannya tak sejalan dengan perasaannya.
"Ah sudahlah Mirna. Harus tahu diri, kamu hanya debu, kamu hanya debu, hanya debu." Gumam Mirna mengulang-ulang kalimatnya.
*
Wildan sampai kantor dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Entah mengapa pertemuan singkat dengan Mirna pagi ini nampaknya membuat Wildan seperti ABG jatuh cinta.
Wildan melewati meja kerja Robin dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Astaghfirullah. Kesambet apaan itu orang?" Tanya Robin pada dirinya sendiri, terheran melihat tingkah Wildan yang aneh. "Harus segera disembuhkan, kalau nggak bukan Lena yang dibuat gila sama dia,, tapi dirinya sendiri." Gumam Robin berjalan masuk ke ruangan Wildan yang belum tertutup sempurna.
"Pak, nggak apa-apa kan?" Tanya Robin mengernyitkan dahi
"Memang aku kenapa bang?"
"Itu tadi kayaknya..."
"Eh bang bang duduk sini deh." Ucap Wildan memotong pembicaraan Robin dan menepuk sofa disebelahnya. Robin menurut. "Abang percaya nggak sih jatuh cinta pada pandangan pertama?" Tanya Wildan dengan gesture tubuh seperti ibu-ibu yang berkumpul di pedagang sayur keliling yang bersiap akan ghibah. Robin tak langsung menjawab, ia mengernyitkan dahinya dan memundurkan kepalanya sedikit.
"Ini kantor kan ya? Seriusan nih orang bahas beginian di kantor?" Batin Robin yang sudah mulai heran dengan atasannya.
"Bang." Panggil Wildan yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Ha? Jatuh cinta pandangan pertama ya? Percaya aja. Saya dulu juga gitu pak sama istri. Saya nggak sengaja dulu ketemu di bioskop, dan entah kenapa saya jadi kepikiran terus sama dia. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian kita ketemuan lagi di restoran, nggak mau buang kesempatan saya langsung minta kenalan sama nomernya sekalian. Habis itu ya udah kita dekat terus pacaran, nikah, jadilah sekarang ini. Tapi nih ya, kalau kita jatuh cinta pada pandangan pertama jelas yang kita sukai itu karena parasnya, nggak mungkin nggak. Iya kan?" Tanya Robin di akhir kalimat.
Wildan hanya mengangguk. "Terus bang?"
"Dulu nih waktu pacaran, saya sempat berpikiran 'kok dia jadi begini, perasaan dulu awal kenal sifatnya nggak begitu, kok dia berubah' dan lain sebagainya. Tapi entah kenapa saya nggak ada kepikiran untuk memutuskan hubungan atau meninggalkannya begitu saja. Rasa cinta saya masih ada meskipun dipenuhi keluhan. Dan akhirnya, ya seperti yang bapak lihat, saya sudah menghasilkan dua anak dari cinta pandangan pertama saya." Ucap Robin bangga.
Wildan nampak memikirkan kata-kata sekretarisnya.
"Bapak sedang jatuh cinta?" Tanya Robin.
"Nggak tahu, tapi aku kayak ngerasain sesuatu yang beda aja. Nggak tahu juga rasanya tu kayak aku pengen deket terus sama dia. Masak aku jatuh cinta sih bang?"
Robin tertawa dengan curhatan atasannya, kini ia tahu apa yang membuatnya nampak bahagia saat datang ke kantor beberapa saat lalu.
"Apa yang lucu sih?" Tanya Wildan kesal
"Yang lucu ya bapak, saking lamanya sendiri jadi lupa rasanya jatuh cinta. Siapa wanita yang berhasil merebut posisi Aina?" Tanya Robin penasaran.
"Biduan dangdut yang kapan hari aku pernah ceritain ke Abang."
Kini mereka sudah berghibah ria di kantor, bukannya berkas yang mereka urus tapi malah membicarakan masalah Mirna si biduan dangdut yang montok. Saat sedang asyik-asyiknya membicarakan Mirna, Robin teringat sesuatu.
"Alamak, udah jam 10. Mampus pak kita ada meeting dengan klien penting." Ucap Robin berlari menuju ruangannya.
Wildan melihat kepergian Robin dengan menopang dagu dengan tangannya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Syarifah
ceritain aja kali mas will sama ibu nawang pasti ibu setuju2 aja demi kebahagiaan mas wil
2022-02-15
0