Siang ini Radit berencana akan ke psikolog untuk memeriksa kondisi Lena yang akhir-akhir ini memang mengkhawatirkan. Ia tak mau gangguan psikis yang Lena alami berdampak buruk pada sang janin.
"Len siap-siap, kita periksa ke rumah sakit." Ucap Radit
"Rumah sakit. Kan belum jadwalnya periksa." Jawab Lena mengernyitkan dahinya
"Kita nggak periksa kandungan. Tapi ...." Radit ragu, bisakah ia membujuk Lena untuk pergi ke psikolog
"Apa mas?" Tanya Lena yang sejak tadi menunggu
"Kita pergi dokter untuk memeriksakan kondisi psikis kamu"
"Apa? Mas pikir aku gila? Ngapain aku kesana?" Tanya Lena kesal
"Bukan gitu Lena. Kamu akhir-akhir ini kan sering berhalusinasi jadi apa salahnya kita kesana untuk mengetahui kondisi psikis kamu. Demi kamu juga."
"Nggak mau mas." Ucap Lena cepat
"Kamu mau sembuh nggak si?"
"Aku nggak gila mas."
"Nggak ada yang bilang kamu gila Lena. Ini buat kamu juga, kalau terus dibiarkan dengan halusinasi mu itu lama-lama kamu sungguhan gila."
"Kok kamu jadi doain aku gila sih mas."
"Udah, aku nggak mau ya berdebat sama kamu. Buruan siap-siap atau kamu mau benar-benar gila." Ancam Radit
Lena menghela nafas berat namun menuruti apa perintah Radit. Saat akan berangkat ingatan Lena kembali pada foto dirinya yang bersimbah darah.
"Mas, nggak aku nggak mau keluar rumah. Mas lihat foto tadi kan? Kayaknya dia udah ngincar aku mas. Aku takut dia nanti ikutin kita dan nabrak kita. Nggak nggak aku nggak mau kemana-mana." Ucap Lena kembali masuk ke dalam rumah namun dengan cepat Radit mencekal tangan Lena
"Ada aku Lena, kamu nggak perlu takut. Aku akan jaga kamu, janji. Aku pastikan kita selamat. Kamu percaya aku kan?" Ucap Radit mengatupkan kedua tangannya di wajah Lena.
Nampaknya tatapan mata Radit berhasil membuat Lena sedikit tenang. Ia tak lagi panik seperti tadi dan sedetik kemudian Lena mengangguk pelan. "Janji jaga aku." Ucap Lena lirih. Radit hanya mengangguk lalu merangkul Lena berjalan menuju motornya. Ya, hanya motor yang dimiliki Radit saat ini.
*
"Kak, aku boleh main ke rumah nggak? Aku bosen di rumah. Mau belajar buat kue sama Tante Nawang." Ucap Vania melalui telepon
"Boleh aja. Udah ada janji emang sama ibu?"
"Belum sih. Ya udah aku langsung jalan aja."
"Ya udah hati-hati." Ucap Wildan mengakhiri sambungan telepon.
Saat ini ia masih makan siang di teras kos Mirna. Entah lapar atau memang masakan Mirna terasa enak, Wildan makan dengan lahapnya. Sudah persis gelandangan yang tak makan berhari-hari.
"Aku habis ini pulang dulu ya istri-istriku. Nanti kalau ada waktu luang aku akan kesini." Ucap Wildan memakai jaketnya bersiap akan pulang
Mirna dan Ayu sama-sama tersedak dalam waktu bersamaan. Mereka berdua kompak mengarahkan sendok ke kepala Wildan dan seperti sudah tahu akan apa yang terjadi, dengan cepat Wildan menghindar.
"Mukanya aja kalem, alim ngomongnya nyablak juga rupanya." Ucap Ayu
"Ketularan kalian." Wildan merogoh ponselnya dan menyodorkannya ke arah Mirna. Mirna hanya mengernyit bingung. "Ketik nomer kamu." Pinta Wildan
"Buat apa mas?"
"Nambah daftar kontak. Buruan tulis Mirna." Wildan sedikitnya memaksa. Tak lama kemudian Mirna mengembalikan ponsel Wildan.
"Makasih ya. Aku kenyang banget, masakan kamu enak mir. Lain kali aku akan datang lagi minta makan ya. Bye." Ucap Wildan berjalan menuju motornya dan berlalu pergi.
"Mir, kok kayaknya kelakuan tu orang nggak mencerminkan pemilik perusahaan, beneran deh." Ucap Ayu
"Ya emangnya pemilik perusahaan harus dingin, cuek, judes, galak, udah biasa itu ma. Justru yang kayak mas Wildan ini langka, karakternya mas Wildan emang begitu kayaknya."
"Rasa-rasanya dia suka sama kamu deh mir."
Mirna hanya tersenyum kecut. "Udah nggak mau mikir laki-laki yu. Udah cukup selama ini aku di sakiti sama laki-laki. Aku mau fokus sama keluarga aku aja."
"Nggak apa-apa kalau kamu mengambil keputusan kayak gitu. Kamu emang mengistirahatkan hati kamu dulu."
Sementara di rumah Wildan, nampak Bu Nawang dan Vania tengah berada di dapur. Ternyata Vania memang benar-benar ingin belajar membuat kue, entah hanya ingin sekedar ingin bisa atau ada maksud lain dibalik usaha Vania mendekati Bu Nawang.
Wildan berjalan ke arah dapur, dimana dua orang wanita tengah bersenda gurau dengan tangan yang sibuk membuat kue.
"Udah lama Van?" Tanya Wildan berjalan menghampiri sang ibu dan mencium punggung tangannya. Kebiasaan kecil yang diajarkan oleh Bu Nawang sejak Wildan tinggal bersamanya.
"Baru kok. Ini baru mau buat." Jawab Vania
"Aku mandi dulu ya, dari luar bau." Ucap Wildan berjalan meninggalkan dapur.
"Nanti bantuin ya kak, jangan taunya makan doang." Teriak Vania yang dijawab ok oleh Wildan.
Wildan benar-benar mandi begitu sampai kamar. Ia mandi dengan cepat, bukan untuk segera ke dapur tapi untuk menghubungi Mirna. Pria itu menyadari sesuatu yang aneh dalam dirinya, apa ia jatuh cinta? Pikir Mandala di bawah guyuran air shower.
Ia mengotak atik ponselnya begitu selesai mandi. Ia memberi nama Mirna di kontaknya lalu memencet tombol panggil.
"Halo." Ucap Mirna di seberang
"Ini aku mir. Wildan, save nomer aku ya."
"Oh mas Wildan. Iya aku save nanti."
"Kamu lagi ngapain? Nggak ada Ayu kan disitu?"
"Nggak. Aku lagi dikamar. Kenapa?
"Nggak apa-apa, nanya aja. Kamu kalau ada manggung kasih tahu aku ya. Biar aku antar, aku tungguin sekalian. Aku nggak mau kamu kenapa napa." Ucap Wildan jujur.
"Emang kenapa kalau aku kenapa napa?"
"Nggak mau aja. Nggak tahu juga kenapa."
"Ada ada aja sih kamu ini."
"Aku tutup dulu ya. Kamu istirahat, besok pasti kerja kan."
"Iya mas. Bye." Ucap Mirna mengakhiri sambungan telepon.
Mirna memang merasa apa yang dibicarakan Ayu benar adanya, tapi ia tak mau berpikiran terlalu jauh. Ia tak mau terlalu percaya diri dengan menganggap Wildan menyukainya. Ia harus sadar diri, ia hanya sebutir debu yang tak berarti. Ia tak pantas jika harus bersanding dengan Wildan. Bersanding? Kenapa Mirna jadi berpikir sejauh itu? Mirna menutupi kepalanya dengan bantal dan berusaha untuk tidur agar ia tak ngelantur.
Wildan turun menuju dapur, ia melihat ibunya yang nampak senang karena kedatangan Vania. Sepertinya ibunya memang benar-benar membutuhkan teman, pikirnya.
Wildan memperhatikan Vania yang nampak akrab dengan ibunya, di dalam otaknya terlintas kenapa ia tak bisa jatuh cinta dengan gadis di depannya? Dengan sekejap saja ia bisa mengambil hati ibunya. Entah kenapa justru ia malah seperti jatuh hati pada biduan dangdut yang membuat jantungnya berdebar hebat lima tahun lalu, berdebar untuk pertama kalinya setelah perpisahannya dengan cinta pertamanya. Eh tunggu? Gimana-gimana? Jatuh hati sama biduan dangdut? Masak iya sih jatuh cinta sama Mirna secepat itu? Wildan nampak sedang berdebat dengan dirinya sendiri. Namun disisi lain Wildan masih menaruh curiga terhadap Vania, apakah gadis itu benar-benar membuktikan perkataannya yang akan menganggap Wildan murni sebagai kakaknya.
"Woy kak ngapain disitu? Udah kayak kutu aja sih mojok." Ucap Vania
Wildan hanya tersenyum dan berjalan menuju keduanya.
"Nih cobain, ini gue sendirian yang buat. Cuma resepnya aja dari Tante Nawang, tapi nggak ada campur tangan Tante Nawang disini. Nih, ntar gue coba buka stand toko roti kalau enak." Ucap Vania menyodorkan potongan kue kecil yang ia taruh di piring yang kecil pula.
"Kok jadi lo gue Van." Tanya Wildan heran sekaligus bingung. Wanita yang ia kenal lemah lembut entah ada angin apa yang membuatnya sedikit berubah.
"Ntar kalau aku kamu terus gue takut lo yang baper. Kakak adik nggak harus aku kamu kali. Panggilan itu buat yang khusus aja." Ucap Vania menopang dagunya dengan tangan.
Wildan hanya manggut-manggut. Nampaknya memang Vania sudah berubah, ia ingin murni menjadi teman, tak menuntut apapun dari dirinya, pikir pria yang tengah memasukkan kue ke dalam mulutnya.
"Gimana? Enak nggak?" Tanya Vania penasaran
"Enak. Tapi buat gue ini kemanisan krimnya. Tapi kalau buat orang lain mungkin nggak."
"Nggak manis Wil, memang ukuran rasa krim ya begitu. Kamunya aja yang nggak suka manis." Sela Bu Nawang yang juga menyendok kan kue ke dalam mulutnya.
"Wah, percobaan pertama dianggap berhasil ya Tan?" Tanya Vania senang.
Bu Nawang hanya mengangguk seraya tersenyum. Vania nampak kegirangan. Wildan nampak memandang Vania dengan seksama, wanita di depannya yang ia kenal lima tahun lalu nyatanya tak berubah, persis seperti pertama kali ia bertemu saat di negeri orang. Wanita yang kini tengah asyik dengan ibunya masih seperti gadis yang beranjak dewasa, padahal di usianya yang sudah 25 tahun sudah seharusnya ia bersikap dewasa.
Bercengkrama dengan Wildan dan juga bu Nawang membuat Vania lupa waktu, tak terasa hari sudah sore. Dengan berat hati ia pamit untuk pulang.
"Makasih ya Tan udah ngajarin aku buat kue. Aku masih punya orang tua lengkap tapi kayak nggak punya orang tua. Mereka pada sibuk dengan urusan masing-masing." Curhat Vania
"Iya nak sama-sama. Nggak boleh begitu, kamu harus bersyukur masih diberi kesempatan untuk membahagiakan mereka. Mereka sibuk juga untuk kebahagiaan kalian semua kan. Kalau kamu nggak ada teman kapanpun kamu boleh main kesini. Lagipula ibu juga sendirian disini. Wildan sering keluyuran, jadi ibu kesepian."
"Ya Bu, kalau ada waktu senggang aku pasti sering main kesini. Boleh kan kak?" Tanya Vania beralih pada Wildan yang nampak hanya memperhatikan interaksi antara ibunya dan Vania.
"Boleh dong. Kan ibu jadi ada temennya. Nggak mungkin juga kan kalau ibu ngemall atau buat kue sama gue." Ucap Wildan tertawa yang disusul oleh ibunya
"Ya udah kalau gitu aku pamit ya Tan, kak. Udah sore. Lama juga aku disini. Lain kali aku minta ajarin masak ya tan."
"Boleh banget. Tante tunggu ya. Kamu hati-hati pulangnya." Ucap Bu Nawang mengantarkan Vania sampai ke depan teras.
"Wil, kamu apain Vania? Kayaknya dia beda bangat dari yang ibu lihat pertama kali. Kayak lebih ngalir aja gitu hubungannya."
"Nggak aku apa-apain Bu. Dianya sendiri yang mau begitu, dia nggak sengaja dengerin omongan aku sama bang Robin kalau aku risih Vania kentara banget deketin aku. Terus dia bilang dia mau hubungan kita tu baik-baik aja kayak waktu di kampus. Udah itu aja. Aku juga bingung, apa yang membuatnya berubah begitu cepat."
"Positif thinking aja, dia benar-benar ingin persahabatan kalian terjaga. Mungkin dia ada rasa sama kamu, tapi sepertinya dia menganggap persahabatan kalian lebih dari segalanya. Itu sebabnya dia lebih memilih nggak menumbuhkan rasa dan tetap bersahabat sama kamu."
"Emang bisa begitu Bu? Bukannya kalau kita keseringan bareng malah rasa itu semakin tumbuh?"
"Itu artinya kamu lebih berharga dari cinta itu. Dia nggak mau kehilangan kamu." Ucap Bu Nawang berjalan mendahului Wildan.
"Nggak mau kehilangan aku? Gimana sih ini?" Ucap Wildan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Syarifah
apa coba ya kannn
2022-02-14
0