Vania nampak tengah berusaha mengambil hati Bu Nawang, ia menampakkan wajah ramahnya. Yang benar saja, Bu Nawang yang mempunyai sifat tidak membeda-bedakan orang itu sudah akrab dengan Vania.
"Tante tinggal sendirian aja sama kak Wildan." Tanya Vania
"Iya nak, anak-anak ibu sudah berumah tangga semua. Tinggal Wildan aja. Kamu udah lama dekat sama anak Tante?"
"Iya Tan. Dari awal kak Wildan masuk kampus. Jadi ya kurang lebih lima tahun aku dekat sama kak Wildan."
"Hany sekedar teman dekat?" Tanya Bu Nawang memastikan
"Iya Tan. Untuk sejauh ini masih nyaman dengan..."
Tap tap tap
Terdengar kaki yang melangkah mendekat menuju ruang tamu. Tak lama kemudian munculah Wildan yang sejak tadi sudah ditunggu Vania.
"Kamu tahu darimana alamat rumah ku?" Tanya Wildan mengulang pertanyaan saat di telepon tadi.
"Udahlah kak, masih di tanya juga. Kakak kan pengusaha terkenal, mudah aja nyari alamat rumah ini."
"Ada apa kesini?"
"Main aja kak. Nggak boleh emang aku kesini?"
Wildan menghela nafas panjang.
"Ya udah aku mandi dulu." Ucap Wildan pergi meninggalkan ruang tamu.
Wildan sengaja berlama-lama di kamar. Ia malas harus menemui Vania. Entah kenapa Wildan merasa Vania berubah. Ia menjadi wanita yang terlihat murahan dengan terus mengejarnya.
Ia merebahkan dirinya di ranjang. Ia memikirkan bagaimana caranya agar Vania pergi dari sini. Setelah memijat keningnya beberapa saat, terlintas ide di kepalanya. Ia segera merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang.
Sementara di tempat lain, Mirna berjalan kaki menuju kos nya dengan malas. Ia merasa sangat lelah. Setibanya di kos, ia melihat motor milik Jono terparkir di halaman. Nampak Jono yang duduk di teras seraya memainkan ponselnya.
"Udah lama mas?" Tanya Mirna
"Nggak kok, baru sampai. Aku minta maaf masalah kemarin ya. Kamu jadi pulang naik taksi kemarin?" Tanya Jono kembali duduk mengikuti langkah Mirna.
Mirna tak langsung menjawab, ia teringat kembali dengan Wildan.
"Mir." Panggil Jono
"Ha iya...iya aku jadi naik taksi. Taksi online." Jawab Mirna bohong.
"Ya udah kalau gitu aku pulang dulu ya. Ada urusan sebentar." Ucap Jono beranjak dari duduknya.
Mirna kesal dengan sikap Jono akhir-akhir ini. Mirna merasa Jono sibuk dengan dunianya sendiri. Jono jarang berkirim pesan, bertemu pun hanya sekejap, apalagi jalan-jalan, sudah sebulan ini Mirna merasa diabaikan oleh Jono.
Padahal laki-laki itu hanya seorang buruh pabrik, yang jam kerjanya pagi hingga sore. Setelah itu, tak ada lagi kegiatan yang menyibukkan laki-laki itu.
"Kok kamu sekarang jadi beda sih mas? Kamu udah nggak ada waktu lagi buat aku." Protes Mirna.
"Aku jauh-jauh kesini cuma buat minta maaf sama kamu loh mir. Kayak gini kamu bilang nggak ada waktu?" Ucap Jono yang merasa kesal dengan ucapan Mirna.
"Ya memang kenyataannya begitu mas. Aku merasa kamu semakin jauh dari aku."
"Perasaan kamu aja itu." Jawab Jono berlalu pergi dengan motornya dan mengabaikan Mirna yang merasa kesal.
Mirna menghentakkan kakinya di tanah. Ia merasa Jono berubah sejak ia menolak ajakan Jono untuk melakukan hubungan badan.
Siapapun memang akan tergoda jika melihat bentuk tubuh Mirna yang padat berisi. Semua laki-laki normal pasti akan sangat ingin menikmati sesuatu yang tersembunyi dibalik pakaian yang ia kenakan. Meskipun Mirna bekerja sebagai penyanyi dangdut yang menonjolkan beberapa bagian tubuhnya, ia tak mau memberikan mahkotanya kepada siapapun selain suaminya nanti.
Bertahan hidup ditengah-tengah kota dan mendapatkan pandangan sebelah mata oleh sebagian orang bukan perkara mudah. Ia harus menebalkan telinga demi menjaga kewarasannya.
Mirna masuk kamar dan menutup pintu kembali dengan membantingnya. Ayu yang baru saja keluar dari kamar hanya geleng-geleng kepala melihat Mirna dengan wajah kusutnya.
"Pasti berantem lagi itu sama si Jono." Gumam ayu.
*
Ting tong
"Eh mas Robin, silahkan masuk mas." Ucap bi Darmi begitu membuka pintu terlihat Robin dengan membawa map di tangannya.
Robin berjalan menuju ruang tamu. Terlihat Bu Nawang dan Vania yang masih betah ngobrol sejak tadi.
"Selama sore Bu. Wildan ada? Kebetulan ada pekerjaan yang haru kita urus." Ucap Robin menyalami tangan Bu Nawang.
"Ada di kamar. Tumben sekali rob, biasanya kalau udah pulang nggak pernah ngurus kerjaan lagi."
"Iya ini mendadak Bu tadi."
"Ya udah kamu naik aja. Wildan ada di kamar."
Robin mengangguk dan melenggang pergi. Ia melangkah dengan cepat agar segera sampai di kamar Wildan. Robin sendiri sebenarnya bingung kenapa ia disuruh datang ke rumah dengan membawa berkas dan beralasan ada keperluan dengan Wildan.
Tok tok tok
"Masuk." Ucap Wildan dari dalam. "Eh udah sampai bang."
"Itu tadi yang di bawah siapa?" Tanya Robin penasaran
"Vania, aku males nemuin dia. Mangkanya Abang aku suruh kesini. Kita keluar bareng yuk, ngopi kemana kek."
"Oh jadi ini alasan kamu nyuruh aku kesini bawa berkas dan beralasan ada kerjaan mendadak."
"Iya. Istri Abang nggak keberatan kan?"
"Nggak. Dia nggak pernah protes kalau urusan kerjaan. Aku yang protes. Kamu nggak kasian sama Vania, anak orang loh itu."
"Bukannya nggak kasian bang. Aku risih akhir-akhir ini dia kentara banget deketin aku. Mana ada laki-laki yang mau digituin bang. Lagian nih aku udah menganggap dia adik. Udah itu aja. Aku udah pernah bilang juga ke dia. Kalau dia masih ngotot begitu ya aku lama-lama risih."
"Ya terus rencana kamu selanjutnya?"
"Nggak ada. Aku udah pernah bilang ke dia kau hubungan kita nggak lebih dari kakak adik. Kalau dengan omongan nggak mempan ya udah. Aku terpaksa begini, menghindar. Udah ah kebanyakan nanya. Buruan." Ucap Wildan menyambar jaketnya.
Ia berjalan cepat menuruni anak tangga yang disusul oleh Robin.
"Van sorry banget ada urusan mendadak. Jadi aku harus pergi. Bu aku pergi dulu." Ucap Wildan pada Vania dan ibunya bergantian.
Vania seketika memasang wajah kecewa. Gagal sudah rencananya untuk mengajak keluar Wildan.
"Ya udah Tan, kalau gitu aku pamit ya. Kak Wildan juga lagi sibuk kayaknya."
"Iya Van, lain kali buat janji dulu sama Wildan ya. Biar kejadian ini nggak terulang lagi. Maafin anak Tante ya." Ucap Bu Nawang ya merasa iba pada gadis di depannya.
Vania merasa Wildan sudah berubah sejak pulang ke Indonesia. Wildan seperti menghindarinya. Apa ada wanita lain di hati laki-laki itu, pikir Vania.
"Nggak...nggak. Nggak boleh ada yang miliki kak Wildan. Dia adalah milikku." Batin Vania dengan raut wajah tak biasa.
Wildan bernafas lega ketika mobil Robin sudah berjalan keluar dari pekarangan rumahnya. Ia merebahkan kepalanya di ujung kursi seraya memejamkan mata.
"Ngopi dimana?" Tanya Robin
"Langganan kita aja bang. Mau dimana lagi?" Jawab Wildan enteng
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments