bab 3

Minggu pagi, waktunya santai-santai, pikir Wildan. Ia kini tengah duduk di belakang rumahnya yang terdapat kolam renang seraya memainkan ponselnya.

Terlintas di pikirannya untuk memulai meneror hidup Lena dan juga Radit. Ia akan memulainya malam ini, ia sendiri yang akan datang ke rumah Radit seperti maling. Rumah sederhana Radit tidak mungkin ada satpam, ini kesempatan emas bagi Wildan untuk datang sewaktu-waktu tanpa harus mengelabui siapapun.

Ponselnya tiba-tiba berdering saat Wildan memikirkan balas dendamnya.

"Dia selalu menggangguku akhir-akhir ini." Gumam Mandala melihat nama vania di layar ponselnya.

"Ya van?"

"Jalan yuk kak. Mumpung kita sama-sama libur. Udah dua minggu kakak di Indonesia tapi nggak ngajak aku ketemu."

"Kemana?"

"Makan-makan, atau nge mall, atau nonton. Kemana aja. Aku bosen di rumah."

"Ya udah aku jemput sejam lagi ya. aku siap-siap dulu. Jangan lupa share lok."

Vania melompat kegirangan, akhirnya Wildan bisa bertemu dengannya, ia harus dandan secantik mungkin, pikirnya.

Wildan terlihat seperti ABG dengan style-nya yang sederhana, hanya memakai hoodie berwarna biru dongker dengan dipadukan celana jeans berwarna hitam. Dengan sepasang sepatu bergaris tiga berwarna hitam membuat penampilan Wildan terlihat sempurna.

"Mau kemana?"

"Jalan sama temen sebentar."

"Ya udah hati-hati. Jangan pulang larut malam."

"Belum juga pergi, udah di kasih wejangan jangan pulang larut malam."

"Keblabasan kalau nggak di ingetin."

Wildan menyambar kunci mobil yang terletak di laci lemari ruang tengah dan berlalu pergi dari sana.

*

Pagi menuju siang itu Mirna tengah duduk santai di teras kosnya dengan di temani secangkir teh dan juga ponselnya.

Kesehariannya yang melelahkan membuat wanita itu memilih duduk diam di kosnya. Mirna adalah seorang baby sitter seorang anak kembar berusia dua tahun. Selain itu ia punya profesi sampingan, yakni penyanyi dangdut yang sering manggung di berbagai daerah.

Tubuh Mirna sangat sempurna bagi seorang penyanyi dangdut kelas menengah. Dada dan bokong yang mengembang sempurna membuat Mirna menjadi primadona dikalangan pria hidung belang yang menyukai goyang pinggulnya.

Sudah lima tahun lebih Mirna merantau ke kota. Riwayat pendidikan yang hanya duduk di bangku SMA membuatnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tak tinggi.

Ia nekat merantau di usia yang masih tergolong muda, 23 tahun. Alasan Mirna merantau adalah seperti pemuda lainnya, ingin memperbaiki ekonomi keluarga agar lebih baik. Kedua orang tua Mirna masih lengkap, namun bapaknya yang sakit-sakitan dan keluar masuk rumah sakit menjadi salah satu alasan Mirna bekerja keras. Tak hanya itu saja, Mirna mempunyai sepasang adik kembar yang harus mengenyam pendidikan lebih dari tinggi darinya.

"Mir gimana bapakmu? Udah sehat?" Tanya ayu sahabat satu-satunya Mirna selama di Jakarta. Ia juga yang merekomendasikan Mirna untuk bergabung di grup musik yang ia naungi.

"Udah. Udah dibawa pulang juga katanya." Jawab Mirna singkat

"Hubungan kamu sama Jono gimana? Kok kayaknya aku lihat kayak jalan ditempat nggak ada kemajuan."

"Emang nggak ada. Aku sebenarnya udah males yu kalau harus pacaran lama. Aku udah capek juga kerja sendirian begini. Aku pengen nikah, tapi adikku nanti gimana? Siapa yang cari uang buat biaya kuliah yang mahal semua." Keluh Mirna

"Kurang berapa tahun mereka lulus?"

"Kalau lancar akhir tahun depan mereka harusnya udah wisuda."

"Aku doain mudah-mudahan semua lancar. Kamu yang sabar. Untuk urusan jodoh ya biar yang di atas aja yang ngatur, kalau Jono jodoh kamu juga dia bakal segera lamar kamu, kalau nggak ya jangan paksa dia ngelamar kamu. Udah jangan galau gitu, mukamu nggak pantes galau. Ntar malem kita ada manggung. Mudah-mudahan nanti kamu ketemu sama orang berjas dan jatuh hati sama kamu." Ucap ayu menepuk pundak Mirna

"Mana ada orang berjas nonton dangdut?"

"Aminin aja Mirna. Daripada pacaran sama Joko cuman dibonceng ngalor ngidul, diajak makan di warung pula. Kalau aku mah ogah mir."

*

Sementara di tempat lain Wildan sudah sampai di teras rumah Vania. Pintu terbuka saat tangan Wildan akan menyentuh bel.

"Kak Wildan, kangen tau." Ucap Vania menghambur memeluk Wildan.

Vania dan Wildan kenal empat tahun yang lalu saat mereka kuliah di fakultas yang sama. Fania yang saat itu baru lulus SMA ingin menyelesaikan S-1 nya di luar negeri. Mereka saling kenal saat tak sengaja bertabrakan di kantin. Karena merasa punya teman satu negara Vania merasa ada teman dan tak sendirian. Semakin lama mereka semakin dekat. Namun Wildan menganggap kedekatan mereka hanyalah sebatas kakak beradik. Namun nampaknya Vania menyalah artikan perhatian Wildan.

"Mau jalan sekarang?". Tanya Wildan seraya berusaha melepas pelukan Fania.

"Mau kemana kita?"

"Ke mall aja ya. Nanti makan di sana sekalian. Aku traktir deh. Apapun yang kamu mau, ambil. Aku yang bayar. Untuk adikku tercinta."

Wajah Vania yang tadinya sumringah mendadak masam mendengar kata adik tercinta dari mulut Wildan.

"Adik? Jadi kakak selama ini anggap aku adik?" Tanya Vania lemah

"Ya lah. Kita cocoknya jadi kakak adik. Kenapa?"

"Nggak...nggak apa-apa. Aku ke dalam dulu ambil tas."

Vania tak ada semangat lagi untuk bepergian dengan Wildan. Perhatian yang selama ini ia terima ternyata hanya sebagai adik, pikirnya.

Vania adalah anak satu-satunya, ia selalu dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Apapun yang ia mau harus ia dapatkan. Vania tak menerima penolakan, termasuk Wildan. Pria ini harus menjadi miliknya, batin Vania merasa dipermainkan oleh Wildan. Seperti yang sudah-sudah, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang ia mau.

"Kita makan dulu yuk. Biar nanti semangat belanjanya." Ucap Wildan begitu memarkir mobilnya di pekarangan mall.

*

Tak terasa hari sudah siang menuju ke sore. Merasa puas sudah keliling mall Fania dan Wildan memutuskan untuk pulang.

Vania nampak senang hampir seharian ini dia berduaan dengan Wildan. Keberadaan Wildan disisinya membuat gadis itu merasa nyaman dan senang.

"Aku langsung balik ya Van, nanti ibu ngomel aku diluar kelamaan."

"Iya kak. Makasih untuk hari ini. Lain kali kita pergi nonton ya." Ajak ania antusias

"Kalau ada waktu." Jawab Wildan singkat.

*

Pukul 11 malam Wildan menjalankan aksi perdananya untuk meneror Lena. Ia membuka pintu utama dengan perlahan agar tak diketahui penghuni rumah. Bukannya takut, tapi ia terlalu malas harus meladeni pertanyaan jika ia ketahuan.

Tak membutuhkan waktu lama, kini Wildan sudah melajukan mobilnya di jalan raya. Kendaraan yang tak terlalu ramai membuat Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Setelah satu jam mencari alamat yang ia tuju, akhirnya ia berhenti di sebuah rumah sederhana dan tak terlalu besar, memiliki halaman yang tak seberapa dan tak ada pagar yang menjadi pembatas antara jalan dan pekarangan rumahnya. Ia harus melewati jalan yang berliku dan masuk ke jalan yang hanya muat dilewati oleh satu mobil untuk sampai di sana.

Ia berjalan pelan seraya celingukan ke berbagai arah agar aksinya tidak diketahui oleh orang. Wildan sudah persis seperti maling, ia memakai atribut serba hitam, masker dan juga topi untuk menyempurnakan penyamarannya.

Begitu berhasil sampai di depan pintu, Wildan mengambil alat untuk menembak lubang kunci. Dengan sekali tarikan saja Wildan berhasil membuka pintu yang terkunci dengan mudah.

Tak mau membuang waktu, ia segera masuk ke dalam rumah yang gelap gulita tanpa penerangan cahaya apapun. Dengan bantuan senter di ponselnya ia menyusuri rumah baru Radit dan Lena. Benar-benar jauh dari kata mewah, ia menjadi teringat kehidupan ibu tiri Wildan dan kedua kakaknya beberapa tahun lalu.

Dengan perlahan ia membuka pintu satu persatu demi menemukan dimana kamar Lena. Hingga pintu ke tiga, ia berhasil menemukan kamar yang ia cari. Nampak Radit dan Lena yang tidur nyenyak dengan posisi saling memeluk. Mata Wildan menatap mereka dengan kebencian yang amat sangat.

Sedetik kemudian ia teringat tujuannya datang ke rumah Lena. Dengan gerakan cepat ia segera menjalankan aksinya dengan menulis kalimat-kalimat ancaman beserta kalimat pengingat dosanya lima tahun lalu. Ia menghabiskan lima lipstik untuk membuat kamar Lena penuh dengan tulisannya.

Setelah dirasa cukup untuk membuat Lena terkejut esok hari, ia memutuskan pergi dari sana sesegera mungkin.

Wildan berhasil kembali masuk mobil dengan aman.

"Ini baru permulaan Lena. Akan ku buat kau menyesal dengan apa yang sudah kau lakukan." Ucap Wildan dengan wajah seramnya.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!