"Bu aku langsung ngantor ya. Ibu bawain bekal roti aja buat sarapan di sana." Ucap Wildan seraya berjalan di anak tangga.
"Wil kamu baru pulang kemarin dan sekarang mau langsung kerja?" Tanya Bu Nawang seraya tangannya terus bergerak menyiapkan bekal untuk Wildan
"He em. Banyak yang aku tinggal, kasian bang Robin."
"Ya sudah hati-hati dijalan."
"Siap." Jawab Wildan lalu mencium pipi Bu nawang. Sudah menjadi kebiasaan Wildan untuk mencium pipi Bu nawang ketika ia ingin kemanapun atau menginginkan sesuatu.
Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai kantor. Semua karyawannya nampak terkejut karena yang mereka tahu Wildan masih berada di Amerika untuk melanjutkan gelar magister nya.
"Selamat pagi pak." Sapa seorang karyawan
Seperti Davin dahulu, Wildan hanya akan menjawab anggukan sapaan beberapa karyawannya.
"Pak, kapan sampai sini?" Tanya Robin terkejut dengan datangnya Wildan.
Robin dengan segera bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Wildan.
"Kemarin baru sampai. Gimana? Alamat rumah baru Lena tahu kan?" Tanya Wildan tanpa basa-basi.
"Tahu, di daerah Bogor. Memang bapak sudah ada rencana?"
"Sebenarnya sudah bang. Aku berencana ingin meneror Lena, tujuanku hanya membuat dia gila atau paling tidak depresi."
"Nyawa harus di bayar nyawa pak. Kenapa kau hanya membuatnya gila?"
"Aku hanya ingin menikmati proses menuju dia ke tahap gila bang. Itu pasti menakutkan buat dia. Itu yang aku mau. Kalau aku bunuh dia, aku sama seperti dia, dan aku tidak bisa menikmati kesengsaraan di akhir kewarasannya."
"Dasar licik." Ucap Robin geleng geleng kepala.
"Tapi Lena Sadang hamil bang. Apa menurutmu aku jahat jika tetap meneror Lena dalam keadaan ada nyawa dalam tubuhnya. Pasti nanti akan berpengaruh pada janin yang ada di dalam kandungannya."
Robin tertawa terbahak-bahak. "Pak. Hatimu dari dulu tak pernah berubah. Muka sekarang udah garang, udah galak tapi hatinya masih hello kitty. Mana ada orang balas dendam nanggung kayak bapak. Bapak nggak akan pernah melaksanakan rencana bapak kalau bapak masih peduli pada orang di sekelilingnya. Mungkin bapak sekarang bapak mikir nasib janin yang ada di kandungan Lena nanti kalau sudah melahirkan kasian bayinya masih menyusui nanti kalau sudah besar kasian anaknya jadi anak yang nggak punya ibu. Bapak harus fokus sama tujuan bapak. Waktu Lena melakukan kejahatannya, dia nggak mikirin siapapun selain diri sendiri. Bapak harus bisa sama seperti dia."
"Jadi menurut Abang aku harus tetap melaksanakan rencanaku?"
"Kalau tidak sekarang kapan lagi? Umur bapak sudah tiga puluh tahun, sudah saatnya bapak menyelesaikan masalah Lena biar bapak bisa fokus cari istri. Bapak sebenarnya sudah membuang waktu selama lima tahun. Seandainya bapak menumpahkan semua rencana bapak ke saya lima tahun lalu saya pastikan sekarang Lena sudah di rumah sakit jiwa."
"Kerjaan Abang di perusahaan udah banyak."
"itu bukan masalah, pak Davin sudah menggembleng saya dengan tumpukan pekerjaan. Biasa saja. Oh ya mumpung ingat pak. Butik dan rumah Lena dijual. Sudah saya beli atas nama Bu Nawang. Lena nggak tahu kalau sekarang kalian tinggal bersama, yang dia tahu Bu Nawang banyak uang karena Bu Shanum menikah dengan orang kaya. Bapak tenang aja, udah ada yang urus rumah sama butiknya."
"Oh ya? Sepertinya aku harus menaikkan gaji Abang. Otak Abang benar-benar the best." Ucap Wildan tertawa.
"Mau langsung meeting atau duduk di sini dulu? Kita lima belas menit lagi ada meeting di cohive d.lab daerah Jakarta pusat."
"Ya udah ayo berangkat."
Robin mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Wildan menikmati pemandangannya jalanan kota Jakarta yang tak pernah berubah, selalu padat di jam kerja. Ditengah heningnya di dalam mobil terdengar ponselnya bergetar. Ia melihat nama Vania di sana.
"Ya van?"
"Lagi free kan?"
"Nggak. Aku udah masuk kantor ini, kenapa?"
"Oh udah masuk kantor ya. Niatnya tadi mau ngajak jalan sih. Ya udah nanti kita jalan ya. Lama kita nggak ketemu."
"Baru juga dua tahun nggak ketemu. Emang kamu nggak kerja?"
"Aku kan kerja di perusahaan papa, bebas mau datang jam berapa aja."
"Nggak boleh gitu Vania, sebagai calon penerus kamu harus kasih contoh yang baik untuk bawahannya. Kamu harusnya menjaga nama baik kamu sendiri."
"Iya iya bawel. Ya udah kalau gitu aku tutup dulu ya. Lanjutin kerjanya dan jangan lupa semangat."
"Iya makasih."
Wildan meletakkan kembali ponselnya ke saku jas. Robin yang sedari tadi hanya diam, namun diam-diam mendengar dengan jelas semua ucapan-ucapan gadis yang bernama Vania.
"Siapa? Udah move dari cinta pertama?" Tanya Robin tak bisa menahan penasaran
"Bukan. Teman baik aja. Aku sama dia memang dekat, tapi nggak pacaran. Aku udah menganggap dia adik."
"Tapi nanti pikiran dia beda pak. Penerimaan dia bukan sebagai adik. Bapak kasih perhatian kayak kakak ke adiknya ya dia beda menerimanya".
"Urusan dia, bodo amat."
"Jangan gitu pak, nanti jauh jodohnya."
"Jangan berperan sebagai Tuhan bang."
Robin hanya tertawa mendengar ucapan Wildan. Ia memang sulit diberi saran baik. Ia terlalu cuek dengan hidupnya. Namun ia bersikap baik pada semua orang di balik sifat dinginnya. Bagi sebagian wanita yang di perlakukan baik oleh Wildan akan salah mengartikan kebaikannya, seperti Vania. Ia menganggap bahwa Wildan jatuh hati padanya.
Ia berusia terus mendekati Wildan, ia juga gencar mengumbar perhatian-perhatian dan kemanjaannya pada Wildan dengan harapan Wildan segera mengungkap perasaannya.
Ciiiiit
Tiba-tiba Robin menginjak rem.
"Apa sih bang. Bikin kaget aja." Protes Wildan
"Lampu lalu lintas tiba-tiba merah." Ucap Robin mengatupkan mulutnya agar tak tertawa.
"Mulutnya lemes banget." Gumam Wildan.
Di tengah menunggu lampu lalu lintas kembali hijau, terlihat seorang wanita tengah menyebrangi jalan.
"Astaga pak, gede." Ucap Robin menepuk paha Wildan dengan pandangan tak lepas dari wanita tersebut
Refleks Wildan mengikuti arah pandang Robin. Wildan menghela nafas panjang.
"Sadar woy, anak udah dua." Ucap Wildan menepuk pipi Robin.
"Cuman lihat aja, nggak ada maksud apa-apa. Nggak masalah kan?" Robin masih terus saja memandang wanita yang mulai berjalan menjauh.
"Iya emang gede bang. Depan belakang gede. Kayak pernah lihat tapi dimana ya?" Ucap Wildan menggaruk keningnya yang tidak gatal.
"Nggak usah ngarang pak. Baru kemarin sampai sini masak iya udah lihat cewek tadi. Kayaknya udah mateng pak." Ucap Robin seraya menggerakkan mobilnya perlahan.
"Nggak bang, ini serius aku pernah ketemu dia. Tapi dimana lupa." Ucap Wildan seraya mengingat ingat.
***
"Ibu aku pulang." Teriak Wildan saat berada diambang pintu.
"Bisa nggak kalau dari mana-mana biasakan mengucap salam. Nggak teriak-teriak begitu." Omel Bu nawang
"Iya maaf ibu sayang." Ucap Wildan seraya mengendus makanan yang tersedia di meja makan untuk makan malam.
Plak
"Aduh." Keluh Wildan seraya memegang lengannya.
"Mandi. Sekali lagi ibu lihat kamu mengendus makanan, nggak usah makan di rumah." Ancam Bu Nawang yang sudah kesal dengan kebiasaan Wildan.
Wildan hanya nyengir, ia melangkah menuju lantai atas untuk membersihkan diri lalu makan malam bersama ibunya.
"Wil gimana? Kamu belum cerita sama ibu. Selama di Amerika ada yang nyuri hati kamu?" Tanya Bu Nawang di sela-sela makan malamnya
"Nggak ada. Kenapa?"
"Kamu kapak ngenalin calon kamu ke ibu. Ibu bosan di rumah nggak ada temannya. Kalau kamu menikah kan ibu ada teman ngobrol. Jangan terlalu tenggelam di lubang masa lalu wil. Nggak baik."
"Aku bukannya tenggelam Bu, tapi memang belum ada yang srek aja." Sergah Wildan
"Trek aja punya gandengan masak kamu nggak." Gerutu Bu Nawang seraya mengunyah makanannya.
"Aku denger lo Bu." Ucap Wildan melirik bu Nawang dengan ekspresi kesal.
Sementara ditempat lain nampak Lena dan suaminya nampak sibuk di cafe. Ya, setelah dibuat bangkrut oleh Robin beberapa tahun silam, dengan susah payah Radit dan Lena bangkit dari keterpurukannya. Usaha yang ia miliki sekarang berawal dari menjual kopi ala anak muda di sebuah kedai yang tak berukuran luas. Mereka benar-benar memulai semuanya dari nol.
Setelah tiga tahun lebih berniaga di kedai tersebut mereka mampu menyewa sebuah cafe yang baru dibangun. Mereka mendekorasi cafe tersebut dengan sangat apik untuk menarik perhatian pemuda pemudi. Mereka juga tak gencar untuk terus promo di sosial media mereka. Lambat laun usaha mereka banyak di kenal orang dan seperti sekarang ini. Meskipun pengunjung mereka tak membludak tapi cafe mereka tak pernah sepi pengunjung. Ada saja anak-anak muda yang keluar masuk ke cafe milik radit. Cafe tersebut diberi nama the coffcaf.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments