Selamanya tidak pernah mengakui

Steven yang mendengar hal itu pun bertanya, “Maksudnya?”

Sama seperti Vidia, Davian pun terdiam sejenak lalu kemudian menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pada Steven dan Steven yang mendengarnya pun mengangguk-angguk sambil memegang dagunya.

Namun ada satu hal yang masih belum Steven mengerti dari cerita Davian. Karena penasaran, akhirnya Steven pun bertanya, “Lalu tujuan lo ngasih kartu nama ke dia itu apa?”

“Belum aku pikirkan,” sahut Davian santai.

“Eh. Lha..” Begitulah respons spontan yang di berikan oleh Steven saat mendengar jawaban dari Davian.

***

Sore hari di kediaman keluarga besar Bapak Putra Sanjaya. Ada seorang wanita yang sedang mengadukan perihal sikap yang diberikan oleh Davian padanya. Ya. Dia adalah Tasya. Wanita ini rupanya tidak terima jika di suruh tinggal di rumahnya yang kosong.

“Tan, Dav bener-bener keterlaluan deh. Masa’ aku di suruh tinggal di rumahku yang kosong itu. Aku kan takut, Tan,” rengek Tasya.

“Ya sudah. Kalau kamu memang takut tinggal di sana sendirian, kamu menginaplah di sini. Kebetulan, di sini masih ada 1 kamar yang kosong,” ucap mama Fanya.

“Beneran, Tan? Tasya boleh menginap di sini?” tanya Tasya dengan nada girang.

Mama Fanya pun mengangguk yang kemudian di sambut oleh pelukan Tasya. Mama Fanya pun menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Tasya yang masih saja tetap manja seperti dulu.

Lalu tak selang berapa lama kemudian, Davian pun datang. Betapa terkejutnya Davian saat melihat Tasya sedang berada di rumahnya.

“Dav, kamu baru pulang?” tanya Mama Fanya saat melihat Davian masuk ke dalam rumah.

Davian hanya menganggukkan kepalanya dan kemudian langsung pergi ke kamar tanpa menghiraukan keberadaan Tasya di situ.

Tasya yang merasa tidak di hiraukan oleh Davian pun dengan memasang wajah sedih langsung memegang tangan Mama Fanya. Sementara itu, Mama Fanya pun tersadar jika anaknya masih saja belum bisa menerima Tasya sebagai tunangannya.

“Ya sudah. Biar Tante yang coba bicara pada Davian,” ucap Mama Fanya sambil mengelus punggung tangan Tasya.

Mama Tasya pun langsung menghampiri Davian di kamarnya. Tanpa membuang banyak waktu, Mama Fanya pun langsung berkata, “Dav, kenapa sikapmu terhadap Tasya seperti itu? Dia itu tunanganmu. Hargailah dia.”

Davian yang bosan dengan Mamanya yang selalu saja mendesak dirinya agar mau menerima pertunangan itu pun akhirnya menghela nafas panjang dan setelah itu berkata, “Maaf, Ma. Davi gak bisa dan gak akan pernah mungkin bisa untuk menerima Tasya sebagai tunangan Davi.”

“Kenapa? Kenapa kamu sama sekali tidak ada niatan untuk mencoba menerimanya?” tanya Mama Fanya yang tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Davian agar mau menerima Tasya.

“Ma, tidak bisa ya tidak bisa. Mau sampai berapa kali pun dan mau sampai kapan pun, aku tetap tidak akan bisa menerima Tasya sebagai tunangan Davi,” ucap Davian kekeh.

Mendengar ucapan Davian, Mama Fanya pun menarik nafas panjang.

“Baiklah. Begini saja. Kita buat kesepakatan. Mama akan batalkan pertunangan ini jika kamu dalam waktu tiga hari dapat menemukan seorang wanita yang mau kau nikahi. Bagaimana?” ucap Mama Fanya yang sebenarnya tahu kalau Davian tidak akan mungkin bisa menemukan wanita seperti itu dalam waktu dekat.

“Kalau aku gagal, bagaimana?” tanya Davian.

“Kalau kamu gagal, berarti kamu yang harus bisa menerima pertunangan ini dan menganggap Tasya sebagai tunangan kamu,” ucap Mama Fanya.

Mendengar ucapan Mamanya, Davian pun terdiam sejenak. Dia sadar kalau Mamanya melakukan itu mungkin sudah direncanakan. Tapi mau bagaimana lagi. Ini cara satu-satunya agar dia terbebas dari ikatan pertunangan yang tidak dia inginkan ini.

“Baiklah. Aku setuju. Aku harap Mama berjanji akan menepati ucapan Mama tadi. Jika aku berhasil membawa wanita yang bersedia menikah denganku, maka Mama harus menjamin kalau pertunangan ini dibatalkan,” ucap Davian agar lebih memastikannya lagi.

“Iya. Mama Janji,...” sahut Mama Fanya, “Ya sudah. Kalau begitu Mama keluar menemani Tasya.”

Mama Fanya pun langsung keluar dari kamar Davian dan sementara itu, Davian sendiri langsung terduduk lemas di tepi tempat tidurnya.

***

Keesokan harinya, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Vidia pun sengaja membuat makanan lezat untuk dapat membujuk Davian agar mau membayar ganti rugi kerusakan motornya.

Dengan jantung yang berdegup kencang saat memasuki kantor Davian, dia berharap semuanya dapat berjalan sesuai keinginannya. Namun belum juga dia melangkah lebih jauh, tiba-tiba saja dia di hadang oleh seorang scurity.

“Maaf, Mbak. Mbak ini mau ke mana dan bertemu siapa?” tanya scurity itu dengan nada sopan.

“Oh. Aku mau bertemu dengan Bapak... Hmm... Bapak Davian Putra. Apakah bisa?” tanya Vidia.

“Kalau boleh tahu, mbak ini siapa ya?” tanya scurity itu lagi.

“Oh. Aku Vidia yang kemarin minta ganti rugi kerusakan motor,” jelas Vidia.

“Oh begitu. Mbak tunggu sebentar di sini. Saya akan coba tanyakan dulu,” ucap scurity itu dan Vidia pun mengangguk.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya scurity itu datang menghampiri Vidia lalu berkata, “Mari Mbak. Saya akan antar Mbak ke ruangannya.”

Vidia pun mengangguk dan kemudian mengikuti scurity tersebut.

Sesampainya Vidia di ruangan Davian, dia melihat ada seorang pria tampan sedang duduk serius menatap tumpukan berkas yang ada di meja kerjanya. Entah apa yang sedang di kerjakannya. Namun Vidia tidak mau ambil peduli soal itu.

“Pak, tamu Bapak sudah saya antar ke sini,” ucap scurity tersebut.

“Oh. Iya, Pak. Terima kasih,” ucap Davian sopan.

Sesaat setelah scurity itu pergi, Vidia pun hanya melongo. Vidia tidak habis pikir ternyata orang kayak batu ini ternyata bisa bicara. Bahkan dengan nada sopan lagi.

“Sudah puas lihatnya?” tanya Davian yang rupanya menyadari kalau dirinya sedang di perhatikan oleh Vidia.

“Eh?...” ucap Vidia spontan, “Siapa juga yang lagi ngelihatin. Dasar GR.”

“Ada apa?” tanya Davian to the point dengan masih fokus pada berkasnya.

“Oh, iya. Maaf. Aku datang ke sini untuk memberikan makanan ini untukmu,” ucap Vidia yang kembali ingat dengan tujuan awalnya dia datang.

“Letakkan saja di situ,” perintah Davian.

“Oh,” sahut Vidia yang langsung meletakkan rantang makanan yang dia bawa dari rumah di atas meja terima tamu yang ada di kantor tersebut.

Setelah meletakkan rantang makanan bawaannya, Vidia pun memberanikan diri untuk bertanya, “Hmm.. o ya, soal ganti rugi kerusakan motorku yang kemarin, bagaimana?”

Davian pun langsung menghentikan aktivitasnya dan kemudian berkata, “Apa kamu gak salah minta pertanggungjawaban? Bukannya justru aku yang harus minta ganti rugi kerusakan mobilku?”

“Bagaimana bisa begitu. Jelas di sini yang jadi korban itu aku. Kenapa malah aku yang harus ganti rugi?” protes Vidia.

“Eh dengar ya. Kamu tuh sadar gak? Kemarin kamu itu mengemudikan motor hampir ke tengah badan jalan. Aku coba untuk menegurmu dengan membunyikan klakson agar kamu menepi dan memberikan jalan padaku, tapi kamunya tidak juga menepi. Karena berhubung aku sedang terburu-buru, akhirnya aku mencoba memaksakan diri pelan-pelan melewatimu. Namun karena kamunya sendiri yang oleng, akhirnya kamu menyenggol mobilku sebelum akhirnya kamu sendiri yang terjatuh,...” jelas Davian panjang dan lebar sehingga membuat Vidia hanya melongo mendengarnya.

“Sekarang kamu sudah tahu kan siapa yang salah di sini dan siapa yang berhak meminta ganti rugi?”

Tatapan Davian pun semakin tajam menatap Vidia sehingga membuat Vidia merasa tidak bisa berkutik dan hanya terdiam mematung.

Bersambung..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!