Kedatangan Lauren

"Ardennn!" seru Lauren yang berlari menghampiri.

Arden merentangkan tangan. Lauren masuk ke dalam pelukan pria itu, lalu memberi kecupan di bibir. Lauren datang berkunjung ke Amerika demi bertemu pria yang tanpa ia sadari sudah menjerat hatinya.

"Akhirnya, kamu bisa datang kemari juga," ucap Arden.

Lauren kembali mengecup bibir Arden. Sepertinya bibir sang pria sangat manis sampai ia tidak tahan untuk menyentuhnya, dan Arden semakin tampan selama tinggal di Amerika.

"Hidupmu makmur," kata Lauren.

"Biasa saja menurutku. Ayo, aku bawa kamu ke apartemen."

Tangan Lauren bergelayut manja di lengan sang pria. Entah bagaimana menyebut hubungan mereka berdua. Dibilang kekasih, tapi sangat dekat. Wanita simpanan? Lauren bukan perempuan seperti itu. Hubungan tanpa status. Teman tapi mesra. Mungkin begitu.

"Terima kasih karena telah mengajakku kemari. Selama hidupku di sini, kamu yang harus menanggungnya," ucap Lauren.

"Tenang saja. Aku akan tanggung biaya liburanmu selama di sini. Berapa lama kamu akan di sini?" tanya Arden sembari membuka pintu mobil bagian penumpang. "Masuklah dulu."

Lauren masuk, Arden menutup pintu kemudian berlari kecil ke depan menuju bagian pengemudi. Lauren telah memasang sabuk pengaman ketika Arden tiba. Mesin dinyalakan, mobil melaju ke jalan raya meninggalkan bandara.

"Aku sekalian ingin berbelanja. Ada temanku menitip tas dan syal merek Level. Lumayan jika aku bisa mengambil keuntungan dari mereka."

"Kamu kemari untuk menemuiku, kan? Kenapa malah datang belanja untuk butikmu?" protes Arden.

"Sekalian, Sayang." Lauren memajukan tubuh agar ia bisa mengecup pipi Arden.

"Aku tidak marah jika kamu bisa membuatku senang."

"Aku sangat ingin, tetapi kamu tidak pernah memberi apa yang kuinginkan." Pandangan Lauren mengarah pada bagian bawah Arden. Ia meletakkan tangan ke kaki bagian atas tepat di bawah pinggul. Lauren mengusapnya. Jari-jemarinya ingin merangkak ke bagian tengah.

"Hentikan, Sayang," ucap Arden.

Lauren berdecak, lalu menarik tangannya. Arden mengacak-acak rambut wanita itu. Ia suka sifat Lauren yang langsung patuh pada apa yang ia ucapkan.

Mereka sampai di gedung apartemen yang Lauren tebak mungkin ada sekitar tiga puluh atau lima puluh lantai. Lokasinya sangat strategis. Berada di jantung kota dan Lauren tebak harga sewa di sini tentu sangat mahal.

"Berapa kamu menyewa apartemen ini?" tanya Lauren.

"Aku membelinya. Di sini juga ada artis hollywood," jawab Arden.

"Benarkah?" sangat jelas ekspresi kaget dari Lauren. "Siapa? Aku ingin meminta tanda tangannya."

Arden mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak kenal."

Lauren tercengang. Sedetik kemudian ia menyikut lengan Arden. "Yang benar saja kamu."

Arden tertawa karena berhasil menggoda Lauren. "Vokalis band dan supermodel. Mungkin ini tempat peristirahatan mereka. Aku hanya beberapa kali pernah berjumpa."

"Andai aku bertemu mereka," ucap Lauren.

"Itu tergantung keberuntunganmu."

Keduanya masuk ke dalam lift. Kotak baja mulai naik ke lantai tiga puluh tempat bilik Arden berada. Selagi lift bergerak, Arden bermesraan bersama Lauren.

"Sabar sedikit," ucap Lauren dengan menutup bibir Arden. "Apa kamu tidak bermain bersama wanita lain di sini?"

"Jika aku ingin bersama mereka, aku tidak akan menyuruhmu datang," jawab Arden. "Bagaimana denganmu?"

"Sama. Kamu bilang aku tidak boleh tidur dengan pria lain."

"Aku tidak bermaksud melarangmu. Lakukan apa yang menjadi kesenanganmu," kata Arden.

"Setelah mengenalmu, aku malas menjalin hubungan bersama pria lain." Lauren mengalungkan kedua tangannya di leher Arden. Mata keduanya saling menatap. "Sepertinya aku tengah jatuh cinta."

Arden merangkul pinggang wanita itu. "Oh, kamu jatuh cinta padaku?"

"Menurutku begitu."

Arden mengecup leher kekasihnya yang otomatis membuat Lauren mendongak agar Arden leluasa menjarah tulang jenjangnya.

Terdengar dering ponsel bersamaan lift terbuka. Arden lekas menarik Lauren keluar bersama koper bawaan wanita itu. Telepon masih berbunyi, tetapi tidak ada salah satu dari mereka yang ingin menjawabnya.

"Teleponmu bunyi," kata Lauren.

"Bukannya ponselmu yang berdering?" Arden membalik keadaan.

"Bunyi deringnya tidak begitu. Suara itu pasti berasal dari telepon genggammu."

"Aku akan angkat setelah kita sampai di kamar," ucap Arden.

Apartemen yang bagus. Lauren bisa memanfaatkan fasilitas dan berselfi di sini. Mumpung ada Arden yang akan menanggung semuanya.

Arden memencet angka-angka di depan bagian pintu. Kunci terbuka. Mereka masuk bersama. Arden lekas menutup pintu, menarik Lauren ke sisinya untuk melanjutkan apa yang terjadi di dalam lift tadi.

Ponsel Arden berdering kembali. Lagi-lagi Lauren menutup bibir Arden. "Aku perlu mandi. Angkat teleponmu selagi aku sibuk."

Arden mengembuskan napas kasar. "Mereka tidak bisa membuatku senang sedikit. Biar aku tunjukkan kamarku."

Arden tetap mengabaikan telepon itu. Ia mengantar Lauren ke kamar dulu setelah itu membuat perhitungan bagi orang yang telah menganggunya.

"Siapa yang dari tadi menelepon?" ucap Arden sembari merogoh saku celana mengambil ponsel.

Satu nama yang tertera, yaitu Aretha. Saudara kembar Arden yang berkali-kali menelepon. Arden balas memanggil balik yang tidak lama diangkat oleh si penerima.

"Arden! Ke mana saja kamu? Aku menelepon berkali-kali. Kenapa kamu seperti ini? Apa masih menganggapku saudara?" teriak Aretha dari seberang telepon.

Arden menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia membiarkan ibu yang tengah hamil mengomel. Setelah ponsel itu tenang, barulah ia kembali mendengarkan suara lembut Aretha.

"Sudah?" tanya Arden.

"Aku ingin bicara mengenai Kayla," ucap Aretha.

Arden berdecak mendengar nama Kayla. Beberapa hari saudaranya selalu ingin bicara tentang wanita gendut itu. Memangnya Arden orang tua dari Kayla yang harus setiap saat tahu perkembangan dari perempuan itu. Tidak, kan?

"Dengar, Aretha. Jika kamu ingin bicara mengenai Kayla, aku tidak berminat. Aku sibuk hari ini. Jangan mengangguku!" ucap Arden.

"Dengarkan aku dulu!" Aretha mendesak dengan nada suara sedikit keras.

"Aku tidak berminat. Jangan katakan apa pun mengenai Kayla. Aku tidak punya hubungan dengannya. Dengarkan aku, Aretha. Hormati keputusanku ini. Hubungan kami berdua sudah berakhir. Kayla bukan sahabatku," ucap Arden menegaskan.

Arden memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia langsung menonaktifkan ponsel agar Aretha tidak menganggu kesenangannya bersama Lauren.

"Siapa yang menelepon?" tanya Lauren.

Arden menoleh, ia melempar telepon genggam di atas sofa kemudian menarik Lauren agar mendekat. "Bukan siapa-siapa. Hanya wanita yang merindukanku."

"Kamu terlalu banyak kekasih."

Arden tertawa. "Dia kekasih dan belahan jiwaku. Dia saudara kembarku satu-satunya."

"Kamu kembar?" tanya Lauren tidak percaya.

"Apa aku belum pernah mengatakannya?"

Lauren sedikit berpikir, lalu ia mengangkat bahu. "Aku tidak tau. Kurasa belum."

"Lupakan itu. Kita lanjutkan permainan kita yang tertunda."

"Aku lapar." Lauren mengelus perutnya.

"Sepertinya aku harus bersabar," ucap Arden dengan senyumnya.

Bersambung

Terpopuler

Comments

𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏

𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏

Kenapa Arden g mendengar apa yg mau di omongin Aretha sih, 😔
Ingat Arden kamu boleh main sesukamu tapi ingat hanya istri mu yg akn mendapatkan keperj*ka*n mu, 🤭😌

2023-02-04

1

Nita Anjani

Nita Anjani

iss Arden,AQ ko jd pengen getok kpalanya y

2022-11-12

0

Windi Hera Santika

Windi Hera Santika

biarin nyesel tuuh si sarden gak tau kabar menyedihkan kayla😒😒😒

2022-06-05

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!