Richard yang ditinggalkan Jessi seorang diri berulang kali melihat jam di pergelangan tangannya. "Ke mana perginya gadis itu?"
Dia menunggu sambil bersandar di dinding dengan tangannya memainkan ponsel untuk bermain game. Namun, sedetik kemudian sesuatu terlintas dalam benaknya akan kejadian sebelumnya. "Jangan-jangan dia mencoba bunuh diri lagi!"
Pria tersebut lantas memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya dan berlari dengan raut wajah panik. Langkah Richard tegas serta cepat karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi begitu saja. Dia melangkah menaiki anak tangga menuju rooftop tempat Jenni mencoba bunuh diri sebelumnya sebab merasa khawatir gadis itu akan kembali melakukan tindakan bodoh.
Dia berhenti dengan napas yang terengah-engah Richard ketika tiba di tempat itu. Namun, betapa terkejutnya pria tersebut di saat melihat Jenni sudah berdiri di tepian atap tersebut seperti bersiap akan bunuh diri.
"Yak! Apa yang kau lakukan? Apa kau gila, hah?" Dengan raut wajah khawatir serta irama jantung yang berdegup kencang tanpa memikirkan hal lain selain menyelamatkan gadis di seberang, dia segera berlari sekuat tenaga karena khawatir. Kedua tangan Richard seketika melingkar memeluk kaki Jenni dari belakang dan langsung menariknya turun.
Akan tetapi, tubuh gemuk Jenni tak mampu untuk ditahan oleh kekuatan pria itu. Mereka pun sama-sama terjatuh ke lantai dengan posisi Richard yang langsung tertimpa beban berat dari tubuh gadis tersebut. "Ukhuk." Dia terbatuk karena sakit di dada akibat hantaman keras wanita di atasnya.
Rasanya seperti terhantam buldoser secara tiba-tiba, hingga membuat Richard hanya bisa meringis kesakitan. "Me–nying–kir–lah! Tu–buh–mu be–rat." Dengan susah payah pria tersebut berbicara karena tubuh Jenni memanglah sangat berat.
Jessi hanya bisa mencebikkan bibir menatap Richard di bawahnya dan beranjak dari posisi sambil menepuk rok yang kotor. "Salah siapa kau datang langsung menarikku!"
Setelah Jessi bangkit dari posisinya, Richard pun berdiri sambil menepuk dadanya yang seperti kehilangan pasokan oksigen. Sesaat kemudian, jari pria tersebut mendaratkan sebuah sentilan di dahi lebar berjerawat gadis di depannya akibat kesal dengan tingkahnya yang tak pernah berpikir panjang.
"Kalau aku tak menarikmu, kau pasti akan terjun lagi ke bawah! Kau pikir dirimu itu kucing yang punya sembilan nyawa! Bagaimana kalau kau mati?" Richard mendengus kesal melihat tingkah gadis di depannya yang kini selalu menjawab perkataannya tanpa merasa bersalah. Namun, hal itu lebih baik daripada dahulu, sosok pemalu yang hanya bisa mengucapkan kata maaf sambil menundukkan kepala.
"Cih, kau terlalu banyak menonton drama. Lihatlah! Dengan lemak babi sebanyak ini, kau pikir aku akan mati hanya karena jatuh ke bawah?" Jessi memperlihatkan lipatan lemak di perutnya yang berlapis-lapis dengan wajah kesal. "Bodoh! Paling tubuhku hanya akan terpental beberapa kali di atas rumput itu."
Jawaban Jessi sukses membuat pria di depannya kesal hingga membelalakkan mata. "Menyebalkan! Ayo pulang!" Richard lantas menarik tangan gadis tersebut agar segera meninggalkan atap, berdebat dengannya tak akan ada habisnya kalau dilayani terus menerus.
Padahal baru hari ini mereka bisa mengobrol layaknya manusia. Biasanya hanya pria tersebut yang berbicara, tetapi Jenni selalu terdiam layaknya patung bernyawa. Namun, kini gadis itu bisa berbicara lebih mengerikan daripada Annabelle dan Chuky.
Sementara itu, Jenni yang hanya berupa jiwa tersenyum kecil melihat kelakuan keduanya. Dia tidak menyangka jika hanya dalam waktu sekejap Jessi bisa mendapatkan teman, berbeda dengan dirinya selama tujuh belas tahun ini sendirian. Gadis tersebut lantas mengikuti keduanya meninggalkan atap dan selalu mengekori ke mana pun tubuhnya pergi.
Jessi diantar pulang oleh Richard menggunakan mobilnya, sesekali pria tersebut menatap heran gadis di sampingnya yang terlihat tidak memiliki urat malu, sambil fokus pada jalan di depannya. Dia terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Apa ini efek samping amnesia? batinnya.
"Apa lihat-lihat? Mau aku colok matamu?" Sorot mata gadis itu terlihat begitu tajam, hingga membuat pria di sampingnya menelan ludahnya sendiri dengan susah payah.
"Ekhem." Sejenak pria itu berdehem untuk menetralkan kembali perasaannya, sambil kembali fokus mengemudikan mobil. "Kau yakin tidak ingin ke rumah sakit?"
"Tidak. Bukannya sembuh aku malah bisa mati di sana nanti?" Jessi membuang muka, menatap ke arah luar kaca mobil. Hiruk pikuk keramaian kota membuatnya rindu akan tempat tinggalnya yang jauh di sana. Padahal belum genap satu hari dia berada di tubuh barunya, tetapi malah mulai merindukan ocehan sang ibu setiap pulang dari kampus.
Wanita tersebut menghirup oksigen dalam-dalam untuk menenangkan jiwanya. Rasanya masih sulit dipercaya dia bisa berada di situasi yang sangat mustahil dijabarkan secara logika. Hanya ada jalan buntu di setiap riset otak jeniusnya. Jessi hanya bisa pasrah berada di tubuh gemuk Jenni.
"Apa kau juga akan bunuh diri jika aku bawa ke rumah sakit?" Suara Richard seketika membuat Jessi tersadar dari lamunannya di awang-awang.
Gadis itu langsung menatap tajam ke arah Richard sambil memicingkan mata, entah mengapa dia paling benci pria cerewet seperti lelaki di sampingnya itu. "Kau ini sungguh bodoh atau pura-pura bodoh sih? Jelas kau tahu aku ini miskin dan tidak punya uang. Bayangkan jika kau membawaku ke rumah sakit, lalu tidak mampu membayar administrasinya? Kau pikir mereka akan menyuruhku mencuci piring untuk mengganti biaya kesehatan itu? Mikir dong!"
Gadis tersebut berceloteh panjang lebar sambil mendengus kesal layaknya kereta uap di kepala dengan segala alasannya, sehingga membuat suasana di dalam mobil yang awalnya sepi, menjadi sangat ramai mengalahkan siaran radio karenanya.
"Cih, amnesia membuatmu menjadi gadis menyebalkan!" Richard berdecih, kemudian mengalihkan pandangannya sejenak, pria tersebut tersenyum kecil melihat perubahan Jenni yang lebih berani dalam berpendapat. Jika saja gadis ini terus seperti itu ketika dirundung, mungkin dia tidak perlu khawatir hingga harus menjadi dokter penjaga di sekolahan hanya untuk mengawasinya.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan disalah satu kediaman mewah, Jessi menatap lekat rumah tersebut, tetapi tak ada perasaan wah yang membiatnya terpesona dengan tempat itu. Tidak lebih mewah dari rumah mommy, batinnya.
"Inikah rumahku?" Setelah melihat kondisi rumah dari mobil. Dia bertanya terlebih dahulu kepada Richard, sambil melirik Jenni di kursi belakang. Gadis itu hanya mengangguk begitu pula dengan pria di sampingnya.
"Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu. Terima kasih untuk tumpangannya." Tanpa menunggu jawaban pria di sampingnya, Jessi langsung turun dan melangkah meninggalkan kendaraan untuk masuk ke dalam kediaman, diikuti Jenni di sampingnya.
Richard hanya bisa terdiam melihat tingkah gadis itu dengan senyum tipis di wajahnya yang manis. "Dasar gadis itu." Dia lantas kembali menyalakan mobil untuk bergerak pulang, setelah melihat Jenni sudah memasuki rumah karena tugasnya sudah selesai ketika melihatnya aman.
Sementara itu, Jessi mengedarkan pandangan ke segala penjuru untuk mengamati situasi di tempat itu. "Ini rumahmu? Kenapa sepi sekali."
"Iya, apa rumah aslimu lebih besar dari ini? Aku mendengar kau bilang kediamanmu lebih mewah?" ujar Jenni.
"Kau bisa mendengar batinku?" Sejenak Jessi menghentikan langkahnya karena terkejut mendengar pernyataan Jenni. Dia ingin memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar dengan hal itu.
Namun, Jenni hanya mengangguk.
Benarkah? batin Jessi lagi.
Jenni kembali mengangguk, lalu menjelaskan apa yang dialaminya di mobil tadi . "Aku bisa mendengar suara batinmu, tapi tidak dengan orang lain."
"Baguslah, setidaknya aku tidak akan dikira orang gila karena berbicara sendirian." Jessi yang mengerti dengan maksud Jenni memilih untuk kembali melangkah memasuki kediaman.
Langkah Jessi terlihat begitu santai karena tidak mengetahui hal apa yang sudah menanti kedatangannya, berbeda dengan Jenni yang sudah mulai bergetar. Jika saja dia berada di tubuh nya, sudah pasti gadis itu pucat pasi karena ketakutan.
"Apa yang kau tunggu?" Jessi menghentikan langkahnya untuk menoleh Jenni di belakang.
"Ti–tidak."
"Apa kau takut masuk ke dalam rumahmu sendiri?" Gadis itu mengangguk, membuat Jessi menghela napas kasar.
"Apa kau bodoh? Apa yang harus kau takutkan? Dirimu sekarang hanyalah sebuah jiwa tanpa raga, tidak ada satu orang pun yang melihatmu kecuali aku. Jadi, berhenti menakuti diri sendiri dan ayo masuk!" Jessi menggenggam tangan Jenni untuk pertama kali sambil melangkah membuka pintu utama rumah tersebut. "Seharusnya mereka yang takut padamu karena sekarang kau adalah setan."
Jenni pun hanya bisa mengikuti langkah cepat Jessi. Ya mereka bisa saling bersentuhan, tetapi tidak untuk jiwanya kembali ke dalam tubuh. Tak ada yang tahu penyebabnya, sehingga keduanya hanya bisa mengikuti alur takdir terlebih dahulu.
Baru tangan Jessi membuka pintu, suara teriakan seseorang dari dari dalam rumah sudah membuat mereka terkejut.
"Bagus ya jam segini baru pulang! Kelayapan ke mana saja kamu?" Suara teriakan seorang wanita di belakang seketika membuat Jessi berjingkat karena terkejut mendengarnya.
To Be Continue...
Hello teman-teman, di sini aku memanggil jiwa Jessi di tubuh Jenni dengan panggilan Jessi ya.
Dan untuk orang lain tetap memanggilnya Jenni karena mereka melihat tubuh Jenni di sana.
Sementara untuk jiwa Jenni yang berkeliaran tetap akan dipanggil Jenni jadi jangan bingung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Hairani Siregar
karna dah d siksa lahir bathin dari orok, bahkan dah jdi arwah gentayangan pun masih aja ketakutan. sedih iya, lucu jga iya.
2024-12-13
0
Sita Sit
Richard ini siapa ,kok harus nyamar gitu
2024-11-05
0
Ds Phone
itu setan yang sebenar
2025-01-09
0