Rintik air hujan telah mereda, berganti dengan sinar mentari yang kembali menghangat. Seorang gadis tengah berbaring di ranjang ruang kesehatan sekolah. Hanya ada dokter penjaga menemaninya sambil duduk di kursi untuk mengawasi. Entah bagaimana cara mereka mengangkat tubuh gemuk itu kemari yang jelas sekarang dia sudah ada di ruangan tersebut.
Perlahan kelopak mata sang gadis mulai terbuka, kepalanya terasa pening mengingat kembali apa yang dia alami. "Eugh." Sebuah lenguhan kecil keluar dari mulutnya dengan kedua tangan memijit pelipisnya.
Seluruh bagian tubuh gadis itu seakan remuk redam, kesadaran pun belum sepenuhnya terkumpul dan masih ada sisa nyawa yang melayang entah ke mana, hingga beberapa saat kemudian, kelopak matanya mulai terbuka. Dia mencoba untuk bangkit dari tidurnya, lantas memegang kepala yang terasa sangat pening.
"Di mana aku?" Ketika kesadarannya sudah kembali, gadis itu mengedarkan pandangan sambil mengernyitkan dahi, melihat ruangan asing yang baru pertama kali dilihatnya. Bukan rumah, bukan kampus, bukan pula rumah sakit, rasa bingung seketika membuatnya beberapa kali kembali mengerjapkan mata.
"Kau sudah bangun?" Suara bariton seorang dokter pria muda membuat gadis itu seketika menatap ke arahnya. Dia mendekat sambil memasukkan tangan ke dalam saku jas putih kebanggaannya untuk mengambil stetoskop. "Coba aku periksa sebentar!"
"Siapa kau?" Gadis itu langsung menapik tangan sang dokter yang ingin memeriksanya. Jenis wajah pria tersebut sangat asing baginya dan lebih mirip dengan pamannya—Mario. Namun, bagaimana ada pria seperti ini pula di negaranya?
"Di mana ini?" Dia kembali bertanya karena sungguh bingung dengan apa yang terjadi, hingga membuat sang dokter ikut kebingunan melihat sikapnya dan mengernyitkan dahi dalam waktu yang cukup lama.
Jangan-jangan dia amnesia? batin dokter tersebut.
"Apa kamu lupa? Kamu mencoba bunuh diri dengan melompat dari atap gedung sekolah ini. Beruntung kau mendarat di pagar tanaman yang tinggi. Jadi, tubuhmu hanya lecet dan tidak mati," jelasnya tanpa basa-basi sambil melihat kembali ekspresi gadis di depannya.
Namun, gadis itu sungguh terlihat sangat bingung dengan pernyataan dokter di depannya. Mengapa dia harus bunuh diri jika hidupnya saja sangatlah nyaman dan damai. "Apa kau gila? Bagaimana bisa kau sebut aku bunuh diri? Sangat jelas saat itu aku ditabrak ...."
Dia menghentikan kalimatnya ketika menyadari kata-kata yang digunakan untuk berbicara bukanlah bahasa kesehariannya. Meskipun, menguasai beberapa bahasa asing, tetapi bukan berarti dia bisa menggunakannya di sembarang tempat karena biasanya hanya digunakan ketika berlibur ke negara-negara tetangga saja.
Tunggu, tunggu. Dia kembali melihat persekitaran dengan tatapan aneh. Segala tulisan yang tertera di ruang kesehatan itu di tulis dengan aksara hangeul berasal dari Negara Korea. Bagaimana bisa aku di sini?
Pandangan gadis itu lantas beralih menatap ke bagian tubuhnya sendiri, kaki gajah dan tangan telapak tangan yang besar membuatnya melebarkan mata. "Apa kau punya cermin?"
"Cermin? Untuk apa? Kau sudah jelek, tak perlulah melihat cermin." Dokter tersebut mengejek, tetapi tetap melangkah untuk mengambil benda yang diinginkan siswi tersebut di laci mejanya. "Nah."
Gadis itu menerima cermin pemberian sang dokter, lalu melihat wajahnya sendiri di pantulannya. Dia memegang rambutnya kusut setelah kehujanan, pipi tembam layaknya babi, dan satu lagi, jerawat batu di dahi serta pipi yang kalau dipegang terasa sekali keasliannya. Melihat hal itu, Jessi seketika membelalakkan mata.
Saking syok dengan apa yang dilihat, wanita itu langsung melemparkan cermin di tangannya ke sembarang arah, hingga terdengar suara hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. "Siapa dia? Wajahnya mengerikan sekali." Tubuh gadis itu bergetar, jemari tangan Jessi mulai dingin karena hal itu. Otak jeniusnya seakan tidak mampu untuk mencerna kondisi yang dialaminya sekarang.
"Yak! Kenapa kau membuangnya? Apa takut melihat wajahmu sendiri?" teriak sang dokter yang hanya bisa menggelengkan kepala, sambil melangkah membersihkan pecahan kaca di lantai. "Mungkin karena itu juga kau mencoba untuk bunuh diri."
Ya selama bekerja di sekolah itu, dokter tersebut sangat tahu bagaiamana kondisi gadis itu. Dia tak pernah memiliki teman dan selalu dirundung hingga membuatnya mengawasi gerak gerik wanita tersebut setiap waktu.
Gadis itu tampak sangat kebingungan karena sejatinya, dia bukanlah Jenni yang gemuk, tetapi Jessi. Kecelakaan membuat jiwa wanita tersebut menempati tubuh lain tanpa tahu bagaimana hal seperti itu bisa terjadi.
"Aku mencoba bunuh diri?" Dia lantas menelisik tubuhnya sendiri, nama Jennifer Kim menempel di seragam putih yang dikenakan. Jika aku ada di tubuh Jennifer To, apa artinya aku sudah mati?
"Kau mengenal gadis ini?" Jessi bertanya kepada sang dokter sambil menunjuk diri sendiri seakan bukan dirinya lah yang ada di sana.
Dokter menghela napas sejenak sebelum menjawab, lalu membuang pecahan kaca ke tempat sampah terlebih dahulu. "Apa kau sungguh lupa ingatan?"
Sejenak Jessi memikirkan perkataan sang dokter. Tidak mungkin aku mengaku kalau diriku bukan Jennifer. Bisa-bisa, pria itu akan mengira aku gila.
Akhirnya Jessi pun hanya mengangguk. "Benarkah? Apa kau bahkan lupa dengan namamu?" Dokter yang terkejut lantas melangkah mendekatinya, memegang kepala gadis itu, melihat apakah ada luka yang dia lewatkan.
"Ish, apa yang kau lakukan?" Jessi kembali menapik tangan dokter yang menggerakkan kepalanya sembarangan, dan malah membuatnya terasa pusing.
"Tentu saja memeriksamu. Sepertinya kau harus dibawa ke rumah sakit." Dokter hendak melangkah pergi, tetapi tangannya ditahan oleh gadis itu.
"Tunggu, tunggu. Aku pikir tidak perlu seekstrim itu. Ceritakan saja padaku! Apa pun yang kau tahu tentangku."Jessi mengangguk kecil, berharap sang dokter memahami maksudnya. Dia sangat membenci rumah sakit, aroma obat sangat kuat di sana. Lagi pula tidak mungkin menjelaskan kejadian sesungguhnya kepada pihak medis tentang dia yang sesungguhnya. Bisa-bisa bukannya diberikan obat malah dilarikan ke rumah sakit jiwa.
"Benarkah?" Sejenak dokter tersebut mengamati kembali tubuh gadis di depannya dengan tatapan menelisik. Tidak ada tanda-tanda luka serius selain lecet, tetapi mengapa gadis itu bisa lupa ingatan. Mungkin dia hanya lupa sementara, pikirnya.
"Baiklah, aku akan memberitahumu. Namamu Jennifer Sumanto, biasanya kau dipanggil Jenni. Setiap hari kau datang kemari untuk meminta obat penenang, tapi aku tak memberikannya."
"Hanya itu yang kau tahu?" Gadis itu mengernyitkan dahi, mendengar secuil informasi yang didapat. Mengapa hanya ibarat sebongkah upil yang tak penting untuk didengar. Bahkan ocehan ibunya lebih panjang dari data seorang gadis.
"Kau pikir apa yang bisa diketahui oleh dokter penjaga sepertiku?"
Jessi mengangguk kecil. "Benar kau terlalu bodoh untuk mengetahui segala hal. Tak seperti ayahku."
"Yak! Kenapa amnesia membuatmu menjadi gadis yang menyebalkan?" Tangan sang dokter hampir melayangkan sebuah pukulan bercanda karena kesal dengannya yang kini berani menjawab. Akan tetapi, melihat sorot mata yang berbeda dari gadis di depannya membuat pria tersebut mengurungkan niatnya. "Ekhem, sepertinya kau sudah sembuh. Lebih baik kau segera pulang dan istirahat."
"Pulang? Di mana rumahku?"
"Oh, Tuhan. Kau ini sungguh lupa atau pura-pura lupa?" Pria tersebut terlihat cukup kesal menghadapi Jessi, gadis itu sungguh sangat berbeda dengan Jenni yang pemalu.
"Aku benar-benar lupa. Kenapa kau tidak mengantarkanku sekalian saja."
"Cih, menyebalkan." Pria tersebut melepaskan jas putihnya, lalu mengambil tas di kursi. "Cepat bawa tasmu itu! Ikuti aku!"
Gadis itu menoleh ke samping terlihat sebuah tas milik tubuh ini. Dia pun menyambarnya lantas turun dari ranjang mengikuti langkah kaki pria tersebut. "Ngomong-ngomong siapa namamu?"
Pria itu memicingkan mata menatap ke arah gadis di sampingnya. Benarkah dia lupa ingatan?
"Kenapa menatapku seperti itu? Mau kucongkel matamu?" Jessi mengancam dengan mengarahkan kedua jari ke wajah pria tersebut. Kadar galaknya seakan tiba-tiba saja overdosis membuat pria tersebut cukup heran melihat perubahannya dalam waktu satu hari.
Pria tersebut menghela napas sejenak. "Kau bisa memanggilku Richard."
Mereka kembali melangkah menuju area parkir. Namun, ketika tiba di depan sebuah kelas, Jessi yang memiliki kepekaan tinggi merasa ada seseorang yang mengintipnya dari belakang. Berulang kali gadis itu menoleh, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
"Sudah cukup mengikutiku!" Suara teriakan Jessi yang kesal mampu membuat pria di sampingnya mengernyitkan dahi karena kebingungan. "Kau tunggu di sini sebentar! Aku mau menyusulnya terlebih dahulu."
Jessi berbalik dan melangkah pergi mencari sosok yang mengikutinya tadi dengan perasaan kesal sekaligus penasaran.
Sementara itu, Richard dibuat kebingungan dengan tingkah gadis tersebut hanya bisa menggaruk kepalanya sendiri. "Sepertinya dia sungguh gila."
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
siti hajar
kie seng gawe cerito kehabisan nama marga ketoke😁
2025-01-03
0
٭ 𝕰𝖑𝖑𝖊 ٭ ᵉᶠ ᭄
nama sumanto gentayangan /Facepalm/
2024-12-22
0
Ds Phone
ada yang nak buli dia lagi
2025-01-09
0