Bila mengemudi dengan kecepatan sedang. Berharap pria yang masih terlelap di rumah, tidak notice dengan kepergiannya. Hati kecilnya berteriak lantang melarang, namun dengan tekad yang kuat ia harus mampu melewatinya tanpa bayang-bayang yang menyakitkan. Perempuan itu butuh ketenangan, mengobati hatinya yang luka, bukan hanya perasaan yang tak berbentuk, namun jiwa dan psikologisnya juga harus dibentuk. Untuk membangun percaya diri lagi, bangkit di tengah derita yang menyambangi hidupnya.
Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, Bila menepikan mobilnya di halaman masjid Pondok Tahfiz. Di tempat ini tujuan terakhir Bila setelah bergelut dengan hatinya. Menimbang resah tak berkesudahan. Berharap dengan menepi dari hingar-bingar kota Jakarta, gadis itu bisa khusuk mendamaikan hatinya.
Ada Bunda yang harus dijaga, ada Ayah yang selalu support dan setia, dan Ada Bisma yang cukup bertanggung jawab. Namun, rasa marah pada takdir membuat ia menutup mata, berharap ketenangan batin ia dapatkan di tempat ini, meninggalkan orang-orang yang mungkin peduli. Tapi, entah itu dengan perasaanya. Karena saat ini, yang bila rasakan hanya kecewa dan luka. Anggap saja gadis itu tengah berputus asa.
Sembari menunggu adzan subuh berkumandang, Bila masih setia di dalam mobilnya. Masih terlalu pagi, perempuan itu melelapkan matanya yang teramat berat. Sebuah ketukan jendela kaca mobil membangunkan lelapnya yang baru saja sejam.
"Permisi, Neng. Mohon jangan parkir di bahu jalan, masuk saja ke halaman pesantren untuk menepikan mobilnya," tegur seorang Bapak bertampang sahaja. Bila mengangguk, dengan patuh memarkirkan mobilnya di tempat yang diberi petunjuk.
"Pak, Maaf, apakah ini sudah waktu subuh?" tanyanya memastikan.
"Sudah lewat, Neng. Silahkan kalau mau sholat, jamaah baru saja turun."
"Terima kasih," jawab Bila mengangguk sopan.
Perempuan itu menuju halaman masjid dan masuk bagian kiri shaf wanita setelah lebih dulu mengambil wudhu. Dua rakaat ia tunaikan. Cukup lama perempuan itu bersimpuh memanjatkan doa, banyak hal yang ingin ia tumpahkan. Setelah tenang, dan semuanya bisa dinalar dengan baik, Bila mulai berpikir untuk langkah selanjutnya.
Walaupun pergi tentu saja tak ingin membuat orang cemas mencarinya. Bahkan mungkin saat ini Bisma sedang khawatir karena kepergiannya yang diam-diam. Hal pertama yang Bila lakukan adalah, menyalakan ponselnya yang sengaja ia matikan semalam. Dengan rasa campur aduk, perempuan itu mengabarkan seseorang di sebrang sana.
"Assalamu'alaikum ...." sapa perempuan itu tenang.
"Waalaikumsalam, Bila, kamu di mana? Katakan sesuatu dan segera aku akan menjemputmu."
Binar harapan kembali menyala setelah semalam Bisma kelimpungan mencarinya tak ada kabar, pagi ini Bila menghubunginya. Rasa cemas dan pikiran yang tak tentu arah lenyap sudah, sedikit lega setidaknya istrinya itu baik-baik saja.
"Jangan mencemaskan aku, jangan mengkhawatirkan aku, Bisma. Aku baik-baik saja. Tolong jangan pernah mencariku, atau berniat menjemputku. Aku berjanji akan selalu memberi kabar tentang anak kita. Kamu hanya butuh bertanggung jawab dengan anak ini, dan aku harap jika saatnya lahir nanti, kamu bisa ikhlas melepas tanggung jawabmu padaku. Maaf, tidak bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan, maaf, tidak bisa membalas cinta yang mungkin kamu beri begitu tulus. Maaf, untuk semua kata yang terlontar selalu membuat kupingmu panas. Aku yang akan pergi, jika kamu tak bisa berpindah dari hati.
"Jangan khawatir tentang Ayah atau Bunda, aku sendiri yang akan mengabarinya. Terima kasih sudah menjaga dan mencintai. Tolong, jangan mengharap apapun dariku. Hiduplah dengan tenang, raihlah cinta yang bisa membalasmu. Jangan khawatir, aku akan memberi kabar sebulan sekali mengenai perkembangan anak ini. Suatu hari nanti, aku juga tidak akan melarangmu untuk bertemu. Aku pamit, tolong jangan hubungi aku, jangan cari aku, dan jangan pernah berharap apapun dari kisah ini."
Serentetan kata yang terlontar dari mulut Bila, terasa mer*mas-rem*s hatinya. Sakit ... mencintai sendirian. Semakin mencintai dan menggenggam begitu erat, ia semakin ingin lari dan menghilang. Bibirnya kelu untuk membalas ucapan itu, belum sempat membalas balasan kata, sambungan telephone itu telah terputus secara sepihak. Bilanya telah pergi, meninggalkan cinta yang baru saja bersemi.
Bisma menangis dalam diam, muka yang berantakan karena semalam tidak tidur, ditambah kabar berita yang memporak-porandakan jiwa dan relung hatinya. Lengkap sudah nestapa hidupnya. Berkali-kali ia memaki sendiri, menyesali semua yang telah terjadi. Terpaksa memakas rindu dengan si buah hati yang mungkin tidak bisa tersentuh. Bila telah memilih jalannya sendiri. Sujud-sujud panjang yang ia tunaikan belum mampu meluluhkan hatinya untuk pulang. Mereka terpaksa harus tinggal terpisah karena begitulah jalan yang ditempuh saat ini.
Hari-berhari telah Bila lewati, bulan berganti dengan tahun. Perempuan itu selalu memberi kabar Ayah dan bundanya. Tak lupa mengirim foto untuk mereka. Rindu itu jelas ada, namun untuk kembali, Bila masih memikirkan lagi. Setiap sebulan seperti janjinya, Bila selalu mengirimkan foto anaknya pada Bisma. Pria itu berhak tahu. Walaupun tak sekali pun Bila mau mengangkat telephonenya, tapi Bila selalu memberi kabar tentang perkembangan putra mereka.
Bisma yang tidak tahu menahu keberadaan putranya dan istrinya tinggal. Ya, Bila masih tetap istrinya, karena Bisma tidak pernah berniat menceraikannya, walaupun mereka terpisah jarak dan waktu. Cinta itu tetap kukuh, tersimpan rapi di sana. Pria itu juga tidak lalai dengan tanggung jawab lahirnya, masih selalu mentransfer uang untuk Bila dan anaknya. Walaupun tidak pernah berkomunikasi secara nyata, sebab Bila tidak pernah menghubungi selain mengirim foto perkembangan buah hati mereka. Perempuan itu benar-benar memutus akses komunikasi dalam bentuk apapun.
Tiga tahun berlalu tidak mudah bagi keduanya melewati waktu. Terkadang rindu itu tak bisa dibendung, hanya lewat lantunan doa pria itu menyapa, mencurahkan risalah hatinya yang mendalam. Begitupun dengan Bila, walaupun tak lagi dendam dan merasa kecewa, namun jelas masih tersisa sakit jika harus mengenang. Apalagi melihat putranya yang semakin pintar menanyakan banyak hal. Bersyukur, hidup di pesantren banyak orang baik yang selalu menaunginya.
"Mbak Bila," seru Salma berlari tergopoh-gopoh. Bila yang tengah menemani Ustadzah Rumi menyiangi sayur di dapur, segera mencuci tangannya begitu mendengar putranya pingsan di selasar masjid. Perempuan itu berlari mengikuti Salma dengan gusar.
"Bila, Razik sudah di mobil, ayo cepat naik, kita harus segera membawanya ke rumah sakit," seru Ustadz Zaki. Bila langsung mengiyakan, perempuan itu meneliti putranya dengan wajah panik.
"Ustadz, bisa lebih cepat sedikit, Razik pucat sekali," ucapnya di sela tangis yang mulai pecah.
"Iya." Zaki menambah kecepatannya mobilnya.
Bergegas petugas medis membawa bocah yang belum genap berumur tiga tahun itu untuk diperiksa. Bila dan Ustadz Zaki menunggu dengan cemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
gia nasgia
Next
2024-05-23
0
Vera Wilda
sebel dengan sikap Bila, egois keras kepala, enek dg sikap Bila,
tinggalin aja Bila nya Bisma untuk apa mempertahankan perempuan yg gak punya hati .... 😡😡🤔🤔🤔
2024-04-01
0
Qaisaa Nazarudin
Menurut ku Bila terlalu Egois dan keras kepala,Seakan dia menantang takdir yg tlah tuhan tentukan,Lama aku enek dgn aikapnya..🙄🙄
2024-01-31
1