"Katakan saja, Bila? Apa yang ingin kamu tanyakan?" Pandu menatap Bila lekat.
"Mmm ... nggak usah seserius itu kali, Du, aku hanya ingin bertanya hal biasa saja, menurutmu apa yang seharusnya kamu lakukan, jika seseorang telah membuat kesalahan besar namun bertekad meminta maaf? Apa harus dimaafkan?"
"Ada seseorang yang menyakitimu?" Pandu bukannya lekas menjawab malah balik bertanya.
"Ah ... lupakan saja, aku ingin membeli bubur Manado yang mangkal di sebrang jalan. Kamu mau? Kalau weekend begini abangnya suka mangkal di sana, enak." Bila terpaksa mengalihkan pembicaraan, tidak etis rasanya mencurahkan risalah hatinya pada seseorang yang baru saja kenal, walaupun baik, Pandu lawan jenis, dan pasti pandangannya akan berbeda. Tidak mungkin juga Bila akan menceritakan hal pribadinya, itu konyol namanya, sampai kapanpun ia akan menutupnya rapat-rapat. Ia pernah menikah, jadi ... kalaupun hamil, orang pasti akan mengira hamil dengan mantan suaminya, bukan begitu lebih mudah, jadi ... Bisma ... sudah pasti Bila tidak mau terlibat urusan dalam bentuk apapun dengannya.
Sebaik apa dia sekarang, semenyesal apapun ia sekarang, Bila tetap mengutuk perbuatanya dan belum bisa memaafkan laki-laki yang telah sengaja menorehkan luka. Entah apa motif pria itu melakuan itu semua, Bila benar-benar membencinya.
Pandu mengikuti langkah Bila yang berjalan mendekati stand bubur, suasana cukup rame, banyak orang yang tengah mengantri, kebanyakan dari mereka sama, sehabis berolah raga pagi dan mampir di angkring bubur Manado untuk sarapan.
"Mbak Bila? Kok jalan santainya nggak ditemani suaminya?" sapa Bu Harjo, salah satu warga yang tinggal di sekitar kompleksnya.
Bila mengangguk ramah, "Iya, Buk, suami saya sedang sibuk, jadi ... ditemani saudaranya," jawab Bila berkilah, Pandu nampak bingung dengan obrolan tetangganya itu.
"Owh ... jadi saudaranya ya, padahal pengantin baru biasanya pingin ditemani terus, awas lho mbak, jangan terlalu dekat, nanti suami mbak cemburu?" tegur Bu Harjo, Bila hanya menanggapi dengan senyum tipis, perempuan itu jelas nampak tidak nyaman, apalagi memang benar pernikahan mereka belum lama.
"Nggak mungkin cemburu lah, Bu? Kepo amat." Kalimat itu tentu saja hanya terlontar di hatinya Bila.
Kasus seperti ini yang Bila takutkan, kalau sampai aib itu dilaporkan. Pelaku mungkin bisa dihukum, tapi Bila malah mungkin bisa gila karena cibiran dan tekanan orang sekitar, belum lagi semua kerabat tahu, sungguh Bila benar-benar sempat stres memikirkan hal itu.
"Du, sorry ya bikin suasana nggak enak, mereka bebas bertanya tentang apa yang mereka lihat?" Sebenarnya kalau sudah begini, Bila malas dan pingin cari tempat lain, tetapi entah mengapa pagi ini ia mendadak menginginkan soto itu tak terbantahkan, sepertinya bayi dalam perutnya berulah.
"Kita cari tempat lain saja kalau tidak nyaman," ajak Pandu, berdiri dan langsung menarik tangan Bila menjauh.
"Umm ... tapi ... " Bila merasa tak rela, itu hanya soto, kenapa tiba-tiba rasa ingin itu tidak bisa dicegah.
"Bila, jadi ... kamu sudah menikah? Mana suamimu? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?" tanya Pandu kepo maksimal.
"Ya, aku sudah pernah menikah," jawab Bila seperti biasa, cukup singkat dan membuat orang lumayan penasaran.
"Bukankah kata ibu tadi kamu baru saja menikah, kok pernah? Apa itu artinya ... kamu sudah berpisah?" tanyanya hati-hati.
Bila tersenyum getir, tak ingin mengulik kisah kelamnya yang terjadi satu bulan yang lalu itu. Tidak hanya membuat trauma mendalam, namun cukup menyisakan memori buruk tak berkesudahan, entah apa yang harus perempuan itu perbuat, agar bisa menghilangkan rasa hancur yang masih begitu terasa menyambangi hatinya. Setiap mengingat, Bila terus merasa menjadi wanita paling naas sedunia, itu mengapa dirinya bahkan tidak ingin bertemu, atau berurusan dengan Bisma, apalagi sampai menikah dengannya seperti yang orangtuanya sarankan, Bila sungguh merasa berat.
"Ya, aku sudah berpisah," jawab Bila cukup jelas. Entah mengapa Pandu merasa lega mendengar hal itu, entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu.
"Boleh aku tahu kenapa? Mmm ... sorry, aku hanya ingin tahu saja, maaf sebelumnya kalau aku lancang."
"Maaf Pandu, biarlah itu menjadi cerita rahasiaku, sungguh aku belum siap berbagi cerita dengan siapapun. Aku harap, kamu memakluminya," jelas Bila merasa tak enak.
"Owh ... begitu ya, nggak pa-pa sih, jangan mellow dong, bagaimana kalau aku traktir di tempat lain, sarapan di kedai lainya juga enak." Terlihat nada kecewa dari gambar wajahnya, namun pria itu cukup lihai menguasai diri agar tidak begitu kentara. Pandu memang baru saja mengenal, tapi merasa klik saja setiap berbincang dengan tetangga barunya itu.
"Sebainya pulang saja, matahari juga sudah meninggi, panas," keluh Bila seraya bergerak melangkah.
"Besok, atau kapan-kapan mau ya aku ajak jalan-jalan, sekalian temani aku untuk keliling kota Jakarta, di sini 'kan aku baru, jadi ... aku bakal sering ngrepotin kamu deh kayaknya."
"Tak masalah sih, asal pas aku ada waktu senggang saja, ngomong-ngomong kamu kerja di mana? Apa ada lowongan? Aku jenuh, aku sudah resign menjelang menikah, mantan suamiku tidak mengizinkan aku bekerja dulu."
"Owh, nanti biar aku carikan info, segera aku kabari bila ada lowongan untukmu," jawab Pandu semangat. Mereka berpisah di depan rumah, Bila masuk ke rumahnya sendiri dan Oandu juga sama.
Seperti biasa, Bila mencuci tangan dan kakinya, di halaman samping rumah, entah perasaannya Bila saja atau apa, perempuan itu berfirasat selalu ada yang mengawasi dirinya. Bila pun cepat-cepat masuk, dan sedikit parno. Semenjak kejadian itu, Bila mendadak sering dihantui perasaan tak menentu. Parnoan, dan pesimis hidup.
"Wah ... bubur Manado." Mata indah Bila berbinar saat menemukan semangkuk bubur yang baru saja diidamkan terdampar di meja makan. Perempuan itu lekas mendekat, menarik kursi dan menyuap bubur tersebut dengan lahap.
"Mbak Lastri, terbaik deh." Bila mengacungkan dua jempolnya melihat art rumahnya melintas.
"Terbaik apanya, Non. Saya belum nglakuin apapun pagi ini, baru mulai menyiangi sayur dan mau memasak untuk sarapan Non Bila, sekalian bawa rekomendasi makanan untuk Bapak."
"Lho, bukanya ini bubur Mbak yang beli? Tahu aja kalau aku lagi pingin bubur ginian," jawabnya sambil terus mengunyah.
"Nggak ada, saya pagi ini belum keluar rumah, Non."
"Yang bener mbak? Terus ini siapa yang siapin ini di sini?" Bila yang kaget sampai menyemburkan kunyahan terakhir dimulutnya.
"Anggap saja rezeki untuk orang baik seperti Non Bila," jawab Lastri enteng.
"Bukan begitu Mbak, sepertinya ada yang tidak beres dengan rumah ini, aku merasa tengah diawasi seseorang dan orang itu tahu tentang diriku, kok jadi ngeri ya Mbak."
"Non Bila terlalu banyak menonton drama, jangan terlalu dipikirin Non, anggap saja apa-apa yang terjadi bagian dari cerita yang akan membawa kebaikan."
"Ah, kamu terlalu menggampangkan semuanya Lastri, kamu tidak tahu rasanya jadi aku, sudahlah aku mau mandi." Bila masih dibuat penasaran dengan serentetan aksara yang mengabsen hidupnya. Sungguh apa yang terjadi terlalu membingungkan dan membuat perempuan dua puluh tiga tahun itu merasa takut tinggal hanya berdua dengan pembantunya saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
gia nasgia
Ternyata calon Ayah gercep juga
2024-05-22
0
Vera Wilda
jangan terlalu lama ambil keputusan Bila kasihan bunda kamu kepikiran ....
2024-03-31
0
Qaisaa Nazarudin
Bubur itu dari Bisma,bapaknya debay..
2024-01-31
0