"Bila, ada apa denganmu sayang, kamu tidak terlihat baik-baik saja?" Bila masih enggan untuk diperiksa, saat tiba-tiba tubuhnya terasa lemas, gadis itu ambruk tak sadarkan diri.
Bu Rima berhambur meneliti putrinya, "Mbak, mbak Lastri!" seru perempuan itu panik, nampak art rumahnya tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ada apa dengan Non Bila, Bu?" cemas Lastri ikut berjongkok.
"Bantuin cepet, ayo angkat ke kasur, kamu telfon Bapak segera."
"Siap, Bu, 86." Wanita bertubuh kurus itu mondar-mandir seraya melakukan panggilan.
"Lastri! Kamu bisa diem nggak sih, kaya setrikaan bikin aku pusing."
"Bisa, Bu, bisa," jawabnya seraya mengambil duduk supaya tenang.
"Mohon maaf, Bu, sepertinya Bapak sedang sibuk, handphonenya tidak diangkat," lapor Lastri masam.
"Ish ... gimana sih, minta tolong siapa kek cepet, kita bawa Bila ke rumah sakit saja." Art itu meluncur ke tetangga sebelah.
"Hallo ... permisi! Spada! Assalamu'alaikum ... ada orang!" Lastri berseru kencang.
"Ada apa mbak?" Seorang pemuda berwajah tampan menyembul dari balik pagar.
"Mas, Om, ganteng, kasep, siapalah namanya, punten, bisa minta tolong!"
"Tolong, apa mbak?" jawab pemuda itu kalem, diketahui rumah samping tersebut merupakan penghuni baru.
"Ada yang pingsan, Mas, tolong bantuin, saya dan Ibu tidak bisa gendong dari lantai atas," cemas Lastri. Pemuda berstatus tetangga barunya itu langsung bergegas menghampiri setelah mendapat laporan dari art tetangganya.
"Kamarnya di atas, Mas, ayo naik!" seru Lastri berjalan cepat.
Begitu sampai di lantai atas, pemuda itu langsung mengangkat tubuh Bila, dan membawanya ke mobil.
"Terima kasih nak, jadi ngrepotin," ucap Bu Rima lega.
"Sebaiknya saya antar saja Tante, biar saya yang bawa mobilnya."
"Apa tidak merepotkan?" Bu Rima jelas merasa sungkan, sebelumnya belum saling mengenal.
"Tentu saja tidak, Tante, kita harus segera membawanya ke rumah sakit." Perempuan itu mengiyakan, dan menggumamkan banyak terima kasih sebelum mobil melaju.
"Saya, Pandu, Tante, salam kenal, baru pindah kemarin sore." Pandu memperkenalkan diri sopan. Netranya melirik gadis yang tengah berbaring dalam pangkuan Ibunya.
"Iya Pandu, terima kasih ya?"
"Sama-sama." Pandu melajukan mobilnya dengan cepat. Sampai di rumah sakit, Bila langsung ditangani tim medis, nampak Bu Rima sibuk di ruang daftar. Sementara Pandu sendiri ikut menunggu dengan gusar, seakan ikut merasakan panik dan kasihan melihat gadis cantik yang entah siapa namanya itu tergolek lemah di atas brankar.
Bila masih di UGD ketika sadar, perempuan itu langsung mendengungkan kata bundanya setelah kesadarannya terkumpul kembali, membuat perawat yang menangani keluar dan mencari keluarganya untuk ditemui.
"Maaf, Mas, keluarga pasien di dalam?" Suster menyeru, Pandu yang bingung celingukan mencari sosok perempuan seusia Ibunya itu, namun batang hidungnya belum lekas muncul.
"Mas, ditanya malah bengong, pasien sudah sadar mencari Ibunya, tolong hubungi orang terdekat, atau temui pasien sebentar."
Pandu yang bingung mengiyakan begitu saja, ia masuk dan menghampiri Bila.
"Mbak sudah sadar? Apanya yang sakit?" Bila masih lemas, selang infus sudah menghiasi di tangan kirinya.
"Kamu siapa? Apa sebelumnya kita saling mengenal? Bunda mana?" Sederet pertanyaan keluar dari mulut mungil itu begitu saja.
"Saya Pandu mbak, tetangga baru di kompleks." Bila menyipit dengan raut bingung, namun ia lekas mengerti kenapa tiba-tiba dibawa ke rumah sakit.
"Bunda mana?" Netra Bila menyapu di sekitar.
"Sepertinya keluar sebentar, ada yang mau dibutuhkan?"
"Saya mau pulang, sekarang!" ucapnya yakin.
"Tapi mbak, mbak masih terlihat pucet, apa tidak sebaiknya menjalani rawat inap saja."
"Saya sudah sehat, Mas, bisa tolong bantu saya, saya mau pulang."
"Tunggu Ibu kamu ke sini dulu, nanti kalau beliau datang nyariin."
"Ish ... " Bila mencebik kesal, ia mencabut infus yang terpasang dengan kasar, darah segar langsung mengucur lewat tangannya.
"Mbak, jangan nekat, suster tolong!" Pandu kuwalahan menahan gadis itu yang berontak. Karena merasa kesulitan Bila sampai di tangani beberapa orang, dan terpaksa mendapat suntikan penenang.
Bu Rima datang tergesa, "Apa yang terjadi Pandu, Ibu baru keluar sebentar kata suster Bila mengamuk, ya Tuhan ... kasihan sekali anakku," cemas perempuan itu tertunduk lesu.
"Sudah ditangani Dokter, Tante, jangan khawatir." Tetangga baru bernama Pandu itu menenangkan.
"Eh iya nak Pandu, terima kasih sudah menolong, nak Pandu kalau mau pulang nggak pa-pa, maaf sudah merepotkan."
"Sama sekali tidak Tante, saya senang bisa membantu tetangga," tutur Pandu kalem.
"Kamu pemuda yang baik, btw tinggal di rumah sebelah sama siapa?" kepo Bu Rima.
"Sendirian Tante, belum ada teman, belum menikah juga. Hehe." Pandu nyengir.
"Owh ... belum berkeluarga to nak, Tante pikir sudah," timpal Bu Rima dengan senyuman.
"Otw Tante, yang pasti sudah ada dan disiapkan Tuhan, tapi mungkin belum saatnya bertemu."
Obrolan basa-basi itu terjeda karena Bu Rima dipanggil suster untuk menemui dokter yang menangani putrinya. Tentu untuk menyampaikan informasi atas keluhan anaknya. Sementara Bila sendiri sudah dipindah ke ruang rawat. Bu Rima terbengong sesaat, ibu dari satu anak itu cukup syok mendengar penuturan dokter, hasil tes darah dan pemeriksaan Bila sehat, namun ada satu hal berita yang entah itu harus disyukuri atau disesali. Di mana hari ini mendapat pernyataan putrinya telah berbadan dua. Mendadak Bu Rima mumet, segera menghubungi suaminya yang sedang perjalanan ke rumah sakit.
Entah bagaimana nantinya kalau Bila tahu hal itu, Bu Rima pening sendiri, ia mengira Bila belum tahu keadaan tubuhnya sendiri. Sejenak ia berpikir, keluar ruangan untuk memasok oksigen yang terasa menghimpit dada.
"Mas," panggil Bu Rima begitu mendapati suaminya mendekat, ia langsung berhambur ke dalam pelukan suaminya, berharap mendapat ketenangan di sana.
"Apa yang terjadi dengan Bila? Dia sakit?" Bu Rima menggeleng pelan. "Terus, kenapa Bunda menangis?" Pak Rama mencoba menenangkan istrinya yang tengah sesenggukan.
"Kita akan punya cucu, Mas, aku takut Bila tidak bisa menerimanya, tadi saja dia mengamuk dan histeris untuk diperiksa, bagaimana kalau dia tahu dirinya hamil, Bunda takut Bila mendapat tekanan." Kekhawatiran Bu Rima bukan tanpa alasan, siapapun yang mempunyai kasus pelecehan pasti mempunyai trauma mendasar, dan Bu Rima jelas takut Bila tidak bisa menerima anaknya.
"Ya Tuhan ... benar begitu Bun, bagaimana ini, apa kitah harus memberitahukan Bisma tentang hal ini?"
"Aku rasa Bisma perlu tahu, tapi kita harus memberitahukan Bila dulu lalu mendengarkan pendapat putri kita, aku tidak mau memaksa jika Bila tidak menginginkan, ini terlalu berat ujian untuk keluarga kita."
Kedua orang tua itu masuk ke dalam ruang rawat, nampak di sana ada Pandu yang masih setia menjaga. Tetangga barunya itu baik sekali. Pandu pun mengangguk sopan, mengulurkan tangannya dengan takzim, seraya memperkenalkan diri.
Perlahan Bila membuka mata, ia menemukan dirinya sudah di ruangan yang berbeda. Ia baru ingat, masih di rumah sakit. Pak Rama dan Pandu memberikan kesempatan untuk dua perempuan beda generasi itu mengobrol.
"Bila sayang." Bunda duduk di bibir ranjang seraya mengelus kepala putrinya lembut. "Ada yang ingin kamu pingin mungkin?" Bila menggeleng, ia lekas memeluk bundanya seraya menangis sesenggukan.
"Yang sabar ya sayang, Bunda yakin kamu bisa, dan kuat menjalani ini semua." Tanpa banyak kata- kata, sorot matanya sudah cukup memberi jawaban, seakan tak harus diungkapkan dengan lisan, tersirat jelas Bila menyimpan sejuta luka dan beban. keduanya menangis dalam.
"Kamu tidak sendirian, tolong tetap pertahankan, dan Bunda akan menghubungi Bisma untuk meminta pertanggungjawaban."
"Nggak Bun, Bila nggak mau nikah sama Bisma," tolak Bila cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
gia nasgia
cpt atau lambat Bisma akan tahu kalau kecebong nya sdh tumbuh di rahim nya Bila
2024-05-22
0
Ayas Waty
semangat Bila.... jangan digugurkan
2023-04-30
1
gia nasgia
Ingat Bila janin yg kamu kandung nggak berdosa mungkin itu takdir yang harus kamu terima, kalau memang jodoh mu bersama Bisma
2023-03-04
1