"Bila, kamu nggak pa-pa?" Bila yang baru saja menyembul dari balik pintu tersentak kaget dengan kedatangan pria di depannya.
"Ngapain sih, ngikutin aku?!" Bukannya menjawab, Bila justru bertanya dengan nada ketus. Ia berlalu begitu saja tanpa menghiraukan Bisma yang masih terlihat khawatir.
"Kita perlu bicara, Bila," ucap Bisma gusar, tangannya mencekal lengan gadis itu. Bila yang tidak mau disentuh langsung menghempaskan dengan kasar.
"Lepas! Jangan sentuh aku, aku tidak sudi tubuhmu terlalu dekat!" desis Bila geram. Bisma terdiam sesaat, langsung melepaskan tangannya.
"Aku minta maaf, Bila, kamu terlihat tidak baik-baik saja, sebaiknya kita periksa ke rumah sakit."
"Nggak usah sok peduli, aku semakin muak dengan sikapmu yang sok care itu, Bisma! Apa salahku? Kamu membuat hidupku hancur!"
"Aku akan bertanggung jawab, Bila, tolong beri aku kesempatan untuk menebus dosaku," kekeh Bisma pada pendiriannya. "Bagaimana caranya, biar kamu bisa memaafkan kesalahanku?" ratap Bisma dengan pilu.
"Pergi, Bis, aku tidak ingin melihat dirimu, pergi dan jangan pernah menemuiku lagi!" usir Bila tak peduli, tubuhnya bergetar, lelehan bening itu terus berdesakan keluar, membuat orang-orang yang tak sengaja melihat pertengkaran itu menyorot aneh. Bila segera meninggalkan tempat itu, ia tidak kembali ke meja resto melainkan langsung pulang. Tak lupa perempuan itu memberi pesan singkat, mengabari kepada teman-temannya kalau dirinya merasa tidak enak badan dan langsung pulang.
Sementara Bisma tertunduk lesu, ia hanya mampu terdiam mengamati punggung perempuan itu yang berjalan menjauh, seonggok daging di relung hati terdalam terasa teriris, pria itu mencoba menguatkan hatinya. Walau sakit, ia tentu harus menerima konsekuensi dibenci Bila seumur hidup.
Sesampainya di rumah, Bila langsung menuju kamar, hunian terasa sepi, Bunda entah pergi ke mana, dan Ayah seperti biasa belum pulang dari bekerja. Bila yang tadinya hendak membersihkan diri, merasakan perutnya bergejolak hebat, tiba-tiba ia merasa enek dan lapar sekaligus.
Dulu sebelum menikah, Bila ada asam lambung, atau mungkin saja kumat karena belakangan pola makan dan istrihat Bila berantakan. Atau indikasi penyakit lainnya, atau bahkan kemungkinan terburuknya adalah ... benar adanya kehidupan lain di rahimnya.
Bila mulai gusar, tak ingin menduga-duga sebelum semuanya jelas. Ia juga harus berpikir logis untuk mengambil langkah, kalau-kalau apa yang tidak diinginkan terjadi nyata.
"Bila, melamun sayang." Bunda Rima menghampiri putrinya.
"Eh, Bunda, dari mana Bun, kok rapi aja." Perempuan itu terkesiap, namun terus menormalkan ekspresinya, tak ingin membuat wanita setengah abad itu khawatir.
"Bunda baru saja pulang habis belanja, kamu sudah makan?" tanyanya seraya membelai rambut Bila dengan lembut.
"Belum, Bun, sedang tidak nafsu makan, tapi perutku sangat lapar," jujur Bila.
"Kalau begitu lekas isi perutmu dengan karbohidrat, kamu jaga kesehatan sayang, Bunda hanya punya kamu, tolong jangan membuat Bunda cemas." Belakangan memang Bunda mulai sakit-sakitan, tensi yang tinggi membuat wanita yang tak lagi muda itu harus pintar menguasai emosinya.
"Iya, Bun, Bila makan sekarang." Menuju ruang makan, art rumah nampaknya sudah menyiapkan hidangan untuk makan siang. Bila langsung bergegas membuka piring di atas meja dan mengisinya dengan segera.
Ayam goreng mentega buatan art rumahnya yang biasanya pas di lidah terasa hambar, entah indera pengecap rasa Bila yang bermasalah, atau makanan ini yang tidak enak. Karena penasaran, Bila sampai mendatangi art yang tengah sibuk di belakang dan menenteng satu paha ayam yang telah di masak.
"Mbak, sini deh!" panggil Bila menyeru.
"Iya, Non, kenapa?" Art itu menghampiri dengan cepat.
"Coba mbak makan ini, terus komen." Art itu nampak bingung tapi menurut.
"Gimana rasanya?" Bila cukup penasaran, ia berharap mbak Lastri merasakan hal yang sama.
"Enak, pas, sesuai selera Non Bila."
"Masa' sih, jujur lho ya?"
"Beneran Non, coba saja tanya Ibu," saran Lastri mantap.
"Iya deh makasih." Saat Bila kembali ke meja makan, menemukan Bunda Rima mengisi salah satu kursi di sana, siap memulai santapan menu yang cukup menggugah selera. Bunda makan dengan nyaman, tak ada yang berbeda dengan lauk yang Bila bilang hambar.
Ya ampun ... fiks ini gue yang bermasalah.
Karena makan tak merasa enak, Bila memutuskan untuk ngemil saja. Buah yang segar-segar, cukup memberi solusi, ditambah biskuit sebagai pengganjal perut yang terasa begah. Saat ia tengah bingung dengan tubuhnya, ia memberanikan diri memesan barang lewat ponselnya, yang mungkin bisa memecahkan kegamangan hatinya.
Keluar rumah jelas malas, terutama takut bertemu pria itu lagi. Satu-satunya jalan membelinya secara online saja. Sore hari saat Bila tengah di kamarnya, Bik Lastri mengetuk pintu dengan membawa bungkusan kecil di tangannya.
"Non Bila, paket." Art itu menyorot Penuh selidik.
"Makasih, mbak," jawab Bila mengambil dengan cepat. Bunda yang tengah melintas di depan kamar menyeru.
"Apa ya mbak?" tanyanya kepo.
"Bukan apa-apa, Bun." Bila menyahut.
"Biasa Bun, keperluan wanita," jawab Bila datar. Ia lekas mengunci pintu setelah Bunda keluar dari kamarnya. Rasanya mendadak waswas untuk memulai, takut ekspektasi tak sesuai harapan. Dengan perasaan campur aduk, Bila lekas menuju kamar mandi, membuka bungkusan tersebut dan mengaplikasikan sesuai petunjuk yang tertera.
Jantungnya berpacu dengan cepat, sesaat setelah benda kecil itu sedang bekerja. Ia menerawang dengan perasaan gamang, mendadak kakinya lemas tak mampu menopang tubuhnya yang terasa berat, hancur, marah, benci, dan merasa kehilangan arah saat hasil itu tertera dengan nyata di depan matanya.
Bila menggigit bibir bawahnya agar tangis pilunya tidak terdengar sampai luar. Ia sengaja memutar keran untuk menciptakan suasana berisik, demi meredam tangis yang tak terbantahkan.
"Seharusnya kamu tidak tumbuh di sini, kamu tidak boleh ada di sini!" Bila memukul-mukul perutnya, rasa benci terhadap orang yang membuat kehancuran itu bertambah berkali-kali lipat. Dengan kasar Bila menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Berusaha tegar, dan kuat untuk menerima kenyataan. Sembari terus berpikir mencari solusi yang baik ke depannya.
Bila masih setia menutup rapat mulutnya, untuk tidak memberi tahu perihal kondisinya saat ini. Ia mempunyai cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Kehadiran makhluk tak berdosa itu jelas bukan keinginannya. Jadi, Bila sudah memutuskan untuk tidak membuat ia hadir di sana.
Satu-satunya jalan, tentu saja melenyapkan ia agar tidak tumbuh di rahimnya. Hari-hari Bila ia lewati dengan perasaan gamang, sudah mencoba seaktif mungkin berkegiatan, bahkan berlari-lari untuk membuat yang di dalam sana terguncang, mengingat masih terlalu kecil akan mudah untuk lenyap bukan?
"Sial, kenapa kau kuat sekali, pergilah dari tubuhku, kamu sama sekali tidak diinginkan, tolong lenyaplah!" rutuk Bila lirih. Ia frustasi sendiri setelah hampir satu minggu menyibukan diri namun belum ada tanda-tanda kontraksi di perutnya. Bukan gejolak perut yang ia dapat, namun malah tubuhnya yang panas, Bila demam tinggi, sudah menenggak obat yang disarankan Bunda, perempuan itu tidak mendapatkan suhu tubuh yang baik.
"Sebaiknya ke rumah sakit saja, kamu terlihat sangat pucat," usul Bunda pada suatu sore. Tak tahan melihat putrinya yang terbaring di atas ranjang namun terus menolaknya untuk di bawa periksa.
"Bila, ada apa denganmu sayang, kamu tidak terlihat baik-baik saja?" Bila masih enggan untuk diperiksa, saat tiba-tiba tubuhnya terasa lemas, gadis itu ambruk tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
gia nasgia
kamu belum tahu aja rasanya bagaimana jadi ibu🥲
2024-05-22
0
Marhaban ya Nur17
se keras" nya usaha buat ngilangin janin tp Tuhan tdk ngijinin ttp aja bakalan idup
2024-03-26
1
Katherina Ajawaila
kasian Bila, dia ngk berdosa rahim kamu aja yg kuat, jgn siksa diri
2023-06-15
0