Klik..
Kubuka jendela kamar, terasa sejuknya angin pagi berhembus menerpa wajahku.
"Zuri, bangun!" ujarku sambil menarik selimutnya.
"Hhmm.. Ini kan hari minggu Kak, aku masih ngantuk nih," jawab Zuri masih dengan mata tertutup sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Kita cari sarapan yuk di luar, jalan kaki saja sambil olah raga,"
"Oke, sekalian aku mau cuci mata, mana tau ada cogan lewat,"
"Yaelah, kalau urusan cowok cepat ya,"
"Iya dong, tidak seperti Kakak, serba takut sama cowok. Itu yang dulu, si Vincent, kurang apa coba? Cakep, tajir, idola cewek-cewek di Sekolah dan suka banget sama Kakak. Dia putusin ceweknya cuma karena ingin mendekati Kakak,"
Dahiku berkerut sekaligus kaget, mendengar ucapan Zuri yang aku sendiri tidak tau sama sekali tentang hal itu.
"Dari mana kamu tau Zuri, Kakak saja gak tau lho ceritanya?" tanyaku penasaran.
"Tuh makanya, Kakak jangan kuper. Berita seheboh itu Kakak tidak tau. Ada apa sih Kak, kenapa Kakak dulu putusin dia?" adikku malah balik tanya.
Aku hanya diam mendengar ucapan Zuri. Memang aku orangnya pendiam, serba takut sama yang namanya cowok.
Dan aku tidak bisa pacaran berduaan ke sana kemari sekalipun itu teman cowok. Aku suka keramaian, biar gugupku bisa hilang.
"Kak! Ditanyain kok malah bengong," ujar Zuri mengagetkan lamunanku.
"Temanku yang cerita Kak, Kakaknya temanan sama mantan si Vincent, namanya Leni. Cewek itu diputusin begitu saja, karena Vincent lagi mendekati Kakak. Cewek-cewek di Sekolah pada nyingkir semua karena saingannya Kakakku sendiri," lanjut Zuri menjelaskan.
Aku tidak tau sama sekali kalau ternyata dia idola di Sekolah. Disukai banyak perempuan dan pilihannya ternyata adalah aku.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu, dulu teman genknya pernah mengolok-olokku. Mengenai perumahan yang di beli orang tuaku.
Mereka mungkin marah karena Vincent aku putuskan begitu saja. Entahlah, aku belum siap untuk pacaran saat ini.
"Kak! Kalau bengongnya masih lama, aku tidur lagi nih," ucap Zuri, membuatku kaget untuk yang kesekian kalinya.
"Yok, kita jalan! Kakak tunggu di bawah ya," jawabku sambil mengambil dompet dan menuruni anak tangga.
"Oke,"
********
Aku dan Zuri berjalan keluar menuju warung makan yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Pagi itu ternyata banyak orang yang seliweran. Ada yang jalan santai, bersepeda, anak-anak main sepatu roda dan nangkring di warung buat sarapan.
"Kak, aku mau makan ketupat gulai pakis sama bubur hitam," ujar Zuri.
"Kita bungkus saja, sekalian pesan buat Papa dan Mama," jawabku.
"Oke Kak, sekalian gorengan juga, Papa suka,"
"Ya..,"
Aku menghampiri penjualnya dan pesan. Sambil menunggu pesanan, terdengar dari kejauhan suara mobil yang bising.
~Sepertinya bunyi mobil itu sama dengan mobilnya si Angga.~
Mobil itu lewat dan ternyata benar kalau itu memang mobilnya Angga.
~Ngapain dia pagi-pagi lewat sini? Apa mau mencari sarapan juga?~
"Nak, ini pesanannya. Bapak bikin dua plastik biar tidak lepas saat di bawa," ujar Bapak yang jualan.
"Oiya Pak, terima kasih. Ini uangnya," jawabku sambil menyodorkan uang yang sudah aku siapkan.
Aku ambil plastiknya dan berjalan ke arah Zuri.
"Yok, pesanan kita udah nih, hayu pulang..," ujarku sambil menarik tangan Zuri.
Saat keluar warung, aku celingak celinguk melihat ke sekeliling. Mencari-cari sosok Bang Angga.
~Eh, keceplosan panggil Abang !~
Aku tersenyum. Sepertinya dia tidak ada di sekitar sini.
"Kak, lagi cari apa sih? Serius amat," ujar Zuri mengagetkanku.
Ternyata Zuri memperhatikanku dari tadi. Aku pura-pura tidak mendengar, panjang bahasnya kalau dijelaskan. Kulangkahkan kakiku dengan cepat, supaya Zuri melupakan pertanyaannya tadi.
"Kak.., Kak.. Tunggu aku dong, cepat bener jalannya,"
Aku tetap jalan dan diam tanpa menoleh ke Zuri yang sedang berlari kecil mengejarku.
Tak terasa akhirnya sampai rumah.
Aku lihat pintu rumah kok terbuka ya? Apa ada yang masuk atau ada tamu? Kulihat ada sendal lain yang tergeletak di teras dan sayup-sayup terdengar suara orang dari dalam rumah.
"Assalammu'alaikum..," ujarku bersamaan ucapan salam dari mulut Zuri.
"Wa'alaikum salam..," jawab seseorang dari dalam ruang tengah.
~Sepertinya aku kenal suara itu. Tapi kenapa dia ada di sini? Aku tidak melihat mobilnya nangkring depan rumah? Aneh.~
Saat melihat sosoknya dari dekat, lagi dan lagi aku rasakan detak jantung berirama cepat.
Tiba-tiba Mama muncul dari dapur dan langsung mengambil plastik makanan yang aku bawa dari tadi.
"Yuk, Angganya di salam dulu, Zanu dan Zuri," ujar Mama sambil melangkah menuju dapur.
~Sejak kapan pakai salam-salaman segala? Duh, Mama ini..~
~Lihat dia aja jantungku udah tidak karuan, apalagi salam cium tangan, ogah...!~
Eh, Zuri malah salam duluan. Terpaksa aku menyambut tangannya dan langsung mencium punggung telapak tangan itu. Degup jantungku makin terasa kencang.
"Kak, aku bantuin Mama ya siapkan sarapan," ujar Zuri sambil melangkah cepat ke dapur untuk menyelamatkan diri.
Baru saja badanku berbalik, Zuri memanggilku.
"Ssttt.., sstt.. Kak, sini Kak," ujar Zuri berbisik dari balik tembok dapur.
"Ada apa?" jawabku sambil menghampiri Zuri.
"Mama bilang, Bang Angga belum sarapan. Yang kita beli tadi kurang satu porsi, Kakak di minta Mama ke warung tadi,"
"Waduh.., trus dia ngobrol sama siapa, dibiarkan saja sendiri?"
"Yup! Mama bilangnya begitu,"
~Huh..! Ada-ada saja. Kenapa ngeribetin gini sih. Ini bagaimana cara lewat didepannya? Nanti kalau dia bertanya mau kemana, aku harus jawab apa coba?~
Aku mengendap-ngendap pelan melewatinya. Sesaat mataku tertuju ke pintu luar.
Hap! Tiba-tiba dia nongol menghadang didepanku. Aku kaget!
"Kamu mau kemana, jalan pelan-pelan begitu?" tanyanya sambil menatap manik mataku dari dekat.
Aku terpaku diam, seketika tubuhku mematung.
"Hei! Kamu kenapa diam?" ujarnya sambil menjentikkan jemari di depan mataku. Aku terkesiap dan sadar.
"Eh, iya.., iya.. Aku mau ke warung sebentar," jawabku kelabakan.
"Abang temanin ya, sambil beli rokok,"
"Eh iya..,"
Aku tidak bisa menolak, dia sudah berjalan duluan menuju pintu dan memasang sendal yang ada di teras depan. Ya, terpaksa aku ajak dan malah ikut berjalan dibelakangnya.
"Kamu kapan ujian?" tiba-tiba dia bertanya saat keheningan mulai menyergapi perjalanan ini.
"Besok senin," jawabku singkat.
"Rencananya mau kuliah di mana?" tanyanya lagi.
"Di salah satu Universitas Negeri kota P. Mama menyuruhku masuk kedokteran. Padahal aku merasa tidak akan bisa lolos," jawabku lancar.
"Emangnya kamu minat masuk jurusan apa?" ujarnya sambil berjalan pelan mengiringi langkahku.
"Maunya Hukum. Aku sempat ditawarkan Unpad, jurusan Biologi melalui Sekolah. Tapi Papa tidak mengizinkan, takut anaknya kejauhan dan tidak ada keluarga juga di sana," jawabku lagi.
"Ooo..,"
~Ini kenapa aku jadi curhat ke dia ya? Kenapa juga jantungku selalu dag dig dug, walau bicaraku lancar panjang lebar. Sejak awal bertemu dengannya, aku jadi merasa aneh !~
Akhirnya langkah kita berhenti di depan warung. Selanjutnya aku dan Bang Angga langsung masuk ke dalam. Aku memesan ketupat gulai pakis sebungkus dan dia pesan rokok. Dia bayar semua belanjaan di warung itu.
"Bang, mobilnya ke mana, kenapa gak ada di depan rumah?" tanyaku penasaran.
"Di pinjam sama teman, tadi Abang di antar," jawabnya.
"Oh..,"
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan dia hanya diam saja. Tetap dong, dengan ritme hati yang bergetar. Walau perasaanku takut, tapi ada perasaan nyaman didekatnya.
********
Sesampainya di rumah, aku lihat Zuri, Mama dan Papa sudah berada di meja makan. Mama mempersilahkan Angga, eh Abang untuk bergabung bersama kita.
Kulihat Zuri tersenyum dan mengedipkan matanya kearahku. Ada-ada saja adikku ini, pasti dia menggodaku dan akan membahas ini terus tanpa jeda.
~Huufff...! Si bocil mulai berulah, gerutuku dalam hati.~
Suasana di meja makan tidak terlalu seru buatku. Terlihat Mama dan Papa antusias mengobrol dengan Abang. Sekali-kali dia mencuri pandang melihatku walau mulutnya sedang mengunyah makanan.
~Dia kenapa ya? Selalu saja melihatku di saat ada kesempatan. Apa dia menyukaiku? Kan udah punya pacar.~
Entahlah..
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments