💌 LOVE OF FATE 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
...Tuhan menggunakan hal-hal yang rusak menjadi indah. Awan yang pecah menuangkan hujan, tanah yang pecah menjadi ladang, hasil panen yang rusak menjadi benih, benih yang pecah memberi kehidupan bagi tanaman baru. Jadi, ketika kamu merasa hancur, yakinlah bahwa Tuhan sedang merencanakan untuk menggunakanmu untuk sesuatu yang besar....
🔸🔸🔸🔸🔸
Matahari semakin bergerak ke atas sehingga sinarnya menyeruak menerangi alam. Cahaya semakin terang kemudian berhasil meluncur bebas masuk ke celah jendela kamar Eleanor. Ia tertidur dengan posisi menyamping. Tidurnya begitu nyaman dan tenang.
Eleanor tidak bisa tidur karena mimpi buruk itu datang menghantuinya. Tiba-tiba Ia mendengar suara pintu diketuk. Ele bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam. Ia bahkan mengganti posisi tidurnya agar lebih nyaman. Ia memeluk bantal gulingnya dan kembali tertidur lagi. Ele belum terusik pada suara ketukan pertama.
TOK....TOK....TOK...!
"Ibu Ele, buka pintunya! ini pak Alois, kepala desa di sini." teriak lelaki itu dari luar. Kali ini pintu itu digedor kuat.
TOK...TOK...TOK...!
"Buka pintunya ibu Ele,"
Ele mulai mengerutkan dahinya, "Mmmm." Gumaman protes mulai terdengar dari mulutnya.
"Ibu Ele...saya pak kepala desa, ada yang ingin saya sampaikan." ucap pria itu, kembali mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu.
"Oh my God." Ele mengembuskan napas ke atas dengan pipi mengembung, sampai anak-anak rambutnya ikut tertiup.
"Kok pak Alois kurang kerjaan banget sih...Kenapa juga dia harus bertamu pagi-pagi sekali. Aissssss!" Eleanor mendengkus sambil menatap jam di kamarnya. Ia menyibak selimut dari pangkuannya. Lalu berdiri sambil memijit pelipisnya. Ele berjalan sedikit oleng menuju pintu utama. Badannya lesu seperti tidak bertenaga.
CEKLEK!
Ele membuka pintu rumahnya. Rambutnya acak-acakan.
"Eh.. pak Alois," Eleanor tersenyum menyapa. "Selamat pagi pak, ada yang bisa saya bantu pak?"
Wajah pak Alois nampak getir, ia meremas tangannya dan belum siap untuk bicara.
Tiba-tiba terdengar teriakan Amira memanggil namanya. "Ele...."
Eleanor dan pak Alois serentak memalingkan wajahnya, melihat ke arah Amira yang berlari cepat dan tergesa-gesa.
"Astaga, Amira. Kenapa lagi dengan dia itu?"
Amira membungkuk badannya dan memegang lutut nya untuk mencoba menstabilkan napasnya yang naik turun begitu cepat. Ia kembali menegakkan badannya dan menunduk hormat dengan pak Alois.
"Anda sudah di sini pak?" ucapnya dengan napas ngos-ngosan.
"Hmm. Selamat pagi ibu Amira." Sapa pak Alois tersenyum ramah.
"Pagi juga pak Alois." Amira menyapa balik dan memberikan senyum terbaiknya.
"Begini ibu Ele,"
"Biar saya yang bicara pak." Amira memotong ucapan pak Alois dengan cepat, tanpa wajah berdosa. Ekspresinya tegang, namun tidak bisa terbaca.
Dahi Ele berkerut menatap heran. Kebiasaan Amira yang selalu menyela pembicaraan orang tua. Eleanor menunjukkan wajah protes dan tidak terima. Sudah berkali-kali dinasehati masih aja melakukan hal yang sama.
Amira tahu jika Ele saat ini menatapnya dengan tatapan intimidasi. Ia berdehem, membuat kepalan tangan di depan mulut. Pura-pura melihat ke arah lain.
"Baiklah, waktu dan tempat saya persilakan." Ucap Pak Alois akhirnya. Ia memberikan ruang kepada Amira untuk bicara lebih dulu.
"Ada apa Amira?" tanya Ele menatap Amira dengan serius.
Amira nampak gugup sambil mencengkram tangannya. Ia menggigit bibir bawahnya. Memandang Ele sekilas, lalu melarikan lagi pandangannya lagi.
Ele menarik napas singkat. "Ayo katakanlah, bukankah kau ingin bicara? Ada apa?" tanya Ele mengulang pertanyaan yang sama. Ia masih tetap sabar hingga Amira bicara.
Amira menutup matanya sesaat. "Bagaimana aku harus mengatakan ini?" Ucapnya dengan ekspresi bingung dan resah.
Eleanor mengernyitkan dahi. "Ada apa Amira, katakanlah...apa sesuatu terjadi dengan keluargamu? atau sesuatu terjadi di desa ini pak?" Ele mulai tak sabaran, ia melemparkan pertanyaan kepada pak Alois juga.
Amira meringis semakin tak sanggup untuk mengatakannya.
"Sebenarnya.... sebenarnya, ahhhhh....."Amira mendesah lesu sambil membuang wajahnya. Rasanya tak sanggup untuk mengatakannya. Karena perkebunan strawberry itu adalah harapan untuk menyambung hidup Ele. Apalagi buah itu hari ini akan segera diangkut. Namun dengan hitungan detik semuanya hancur tampak sisa. Yang parahnya batang-batang strawberry yang baru ditanam tidak mengalami kerusakan sama sekali. Itu yang membuat Amira semakin frustasi dan ingin menangis. Dia tahu Ele akan marah besar jika tahu siapa pelaku perusak kebunnya.
Melihat kebisuan Amira, Ele semakin mengerutkan keningnya, ia menyandarkan punggungnya dengan tangan bersedekap. "Amira, apa kau akan diam seperti ini?" Tanya Ele tidak sabaran. Ia menatap ke arah pak Alois yang wajahnya ikut tegang di sana.
Amira mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menatap gugup kepada Eleanor. "Tadi malam, aku mendengar dari warga, di desa kita ada kecelakaan beruntun."
"Heuh? Kecelakaan beruntun?" Ekspresi Ele tiba-tiba berubah. Ia Ingat tuan lebah, langsung pulang saat berkunjung ke kebunnya. Apa tuan lebah salah satu korbannya? Ele tetap bersikap tenang. Menarik napas dengan mata terpejam. Kemudian menatap Amira dengan ekspresi serius.
"Terus kenapa dengan kecelakaan itu? apa ada hubungannya dengan aku. Oh tidak... maksudku apa korbannya masyarakat di desa kita?" Ele bertanya dengan antusias sambil mengangkat alisnya saat mendengar kata kecelakaan. Apalagi sampai pak Alois datang. Tentu saja membuatnya penasaran. Dia yakin pasti ini berhubungan dengan desa ini.
"Tapi tunggu dulu, kenapa mereka harus melapor dengan aku?" Perasaan Ele semakin tidak tenang.
Amira kembali menarik napas gugup. Mempersiapkan diri untuk mengatakan apa yang terjadi. "Dan kecelakaan itu merusak kebunmu." ucap Amira dengan pandangan getir.
DEG DEG DEG!
"Apa maksudmu? Kebunku rusak bagaimana? jangan bercanda Amira. Gak lucu..." Pekik Ele. Jantungnya langsung terpukul kencang. Ujung-ujung tangannya berubah dingin. Walau sesungguhnya Ia paham maksud perkataan Amira. Tapi ia ingin memastikannya.
"Bener kata ibu Amira. Mobil mewah milik seorang lelaki muda terjun bebas dan merusak kebunmu." Alois menimpali.
Ele semakin sulit bernapas. Ia menarik satu-satu napasnya. Beberapa detik kemudian Ele menggeleng cepat dengan pandangan kosong.
"Tidak mungkin, bapak mungkin salah lihat. Aku gak percaya itu." Ele tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Kemarin ia baru dari sana dan memastikan buah strawberrynya siap dipanen hari ini. Omong kosong apa ini.
"Ele, aku sudah memastikan bahwa kebun strawberrymu rusak parah."
"Tidak. Aku harus memastikan dengan mata kepalaku sendiri. Aku tidak semudah itu percaya."
Ele langsung menutup pintunya begitu saja. Lalu berlari sekuat tenaga ke arah kebunnya.
"Ele, tunggu!" Amira ikut mengejarnya.
Ele tidak perduli, ia hanya terus berlari. Berharap apa yang dikatakan Amira adalah bohong. Jantungnya memukul kencang, sangat kencang. Mata Ele langsung berkaca-kaca. Napasnya naik turun karena kecepatan berlarinya.
"Tidak mungkin,"
Heeekkkksss.....Heeeekkksss...Wajahnya mengerucut dan ingin menangis.
Ele terus berlari, bibirnya gemetar, tak tahan dengan segala gejolak yang timbul di dadanya. Ia mulai menangis, wajahnya mengerucut, mengerut. Dia hidup dengan kebun strawberry, bagaimana mungkin bisa rusak dalam hitungan detik.
"Siapa pun yang merusaknya, aku akan membunuhnya." geram Ele dengan tangan mengepal kuat.
Napasnya semakin keluar tidak stabil. Ia terus berdoa dan memohon. Namun tiba-tiba langkahnya melambat. Ia bisa melihat jelas kehancuran kebun strawberrynya. Jantung Ele terpukul kencang. Kakinya lunglai seperti tak memijak bumi lagi. Ia langsung berjongkok, menutup wajahnya dengan tangan dan menangis.
"Hiksss...hiksss? Tidak mungkin." Ele menumpahkan kekesalannya di sana. Bahunya bergetar, menahan goncangan tubuhnya yang bergetar karena menahan isak tangisnya yang semakin terdengar.
"Aaaaahhh...." Teriak Ele, ia semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya. Wajahnya menahan amarah, rahangnya mengencang kuat. Matanya terlihat merah menahan emosi yang membuncah. Rasa sakitnya tak bisa dilampiaskan. Ele tidak tahu harus marah sama siapa. Ia hanya memegang dadanya yang begitu sesak. Pedih, sakit dan kecewa. Itulah yang dirasakannya saat ini.
"Ele, kau tidak apa-apa?" Amira memegang ke dua pundak Ele.
Eleanor menunduk dan terus menangis. Napasnya sungguh tidak beraturan. Bahunya terus naik turun dan gemetar. Mulutnya terbuka. Tangannya memutih pucat dan gemetar. Pandangan kosong hanya menatap ke satu arah.
"Aku tidak mau tahu pertemukan aku dengan orang itu." Ucapnya pelan dan penuh penekanan.
"Semua korban kecelakaan dibawa ke desa seberang. Di puskesmas di sini, fasilitasnya tidak lengkap Ele."
"Sebelum dia mati, biarkan tanganku yang membunuhnya. Aku tidak mau tahu, antarkan aku ke sana. Aku ingin bertemu dengan orang brengsek itu."
"Oke, aku akan mengantarmu ke sana. Tapi kita mandi dulu. Jarak ke sana memerlukan waktu satu jam." Kata Amira lembut. Ele mengangguk lemah.
Amira mencoba memegang ke dua bahu Ele dan menuntunnya berjalan. Kakinya tak berdaya. Beberapa kali ia hampir terjatuh saat berjalan. Beberapa kali pula Amira menahan lengan Ele dengan rangkulan dari belakangnya. Mereka berjalan tanpa bicara apa-apa. Ele sudah tidak sabar ingin menghabisi lelaki yang menghancurkan kebunnya.
"Lihat saja, kau akan mati di tanganku. Aku tidak akan melepaskanmu." Geram Ele sepanjang jalan.
Dari keterangan yang di dapatnya dari Amira. Mobil dengan nomor polisi 41Vin terjun bebas dan mengalami kerusakan parah. Awalnya Mobil minibus yang tiba-tiba muncul dari depan membuatnya kehilangan konsentrasi dan tidak bisa menguasai laju mobilnya. Peristiwa kecelakaan ini menyebabkan satu pengendara tewas dan lima orang lainnya dirawat termasuk itu Alvin.
.
.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel ketujuh aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Harika Joozher
🤭🤭🤭🤭🤭
2022-07-11
0
Harika Joozher
Benar bangettttt thor
2022-07-11
0
Harika Joozher
Tuhan menggunakan hal-hal yang rusak menjadi indah. 🤗🤗🤗🤗🤩🤗🤗🤗
2022-07-11
0