Sekolah Bersama

"Dan aku juga lupa jika kau adalah pria yang tidak tahu malu," sarkas Elara.

Ares diam dan tersenyum manis. "Itu kau tau..." pria itu memunguti majalah yang berjatuhan dan mengerlingkan mata pada istri orang.

Elara menatap ngeri Ares lalu mengurut dada. "Ya Tuhan... berikan aku kesabaran," ucapnya.

"Kenapa perkataanmu sama dengan Deni?" Ares memasang wajah kecut karena diingatkan pada asistennya itu.

"Berarti dia waras!" Elara melipat tangannya. Ternyata bukan dia saja yang kewalahan menghadapi pria di hadapannya ini.

"Ara... aku tidak gila. Kecuali tergila-gila padamu," ucapnya malu-malu.

"Apa mau aku buat kau makin gila?" sahut seseorang

yang secara tiba-tiba datang dari luar rumah.

"Papa?" seru Elara, wanita itu tersenyum sumringah. Berbanding terbalik dengan Ares. Baru melihat wajahnya saja sudah memasang muka datar.

"Ck!" Ares mencebik.

"Tuan Ares seperti tidak punya rumah saja, hampir setiap hari datang ke sini," sindir Charles. Pria itu segera pulang setelah mendapatkan kabar dari salah satu pengawalnya yang melaporkan jika Ares datang ke mansion.

"Aku mengantar Hades yang yang ingin bermain dengan Acha..." sergah Ares setengah malu karena ketahuan sedang merayu Elara. Hei… dia tidak punya malu, catat!

Charles mengangkat setengah alisnya. ‘Kau pikir aku tidak tahu isi otakmu?’

"Sayang, buatkan kami kopi," Charles dengan sengaja mengecup pipi Elara di depan Ares yang memalingkan muka.

"Tolong lakukan itu di dalam kamar," ketus Ares.

Entah kenapa sekarang dia kesal. Padahal biasanya pria itu cuek-cuek saja melihat kemesraan mantan istrinya dengan suami barunya.

"Memangnya kenapa? Ara istriku," Charles memicingkan mata.

"No... no... jangan bahas itu, aku juga-" Ares mengacungkan telunjuk dan menggoyangnya.

"Aku akan buat kopi!" Elara memotong, "Kamu sebaiknya duduk manis, Ares!” Elara memberikan tatapan tajam hingga berhasil membuat Ares bungkam seketika.

Charles mendengus, Ares hanya bisa diam dengan pawangnya. Yaitu Elara, istrinya. Pria itu melepaskan jas dan menggulung lengan kemeja sampai ke siku, duduk di sofa berhadapan dengan Ares yang menyilangkan kakinya. Oh, sikap Ares yang angkuh tidak pernah berubah.

“So… ada apa kali ini?” tanya pria bermata biru tersebut. Charles menegakkan tubuh lalu menyenderkan punggung ke sofa.

“Maksudmu?”

“Sudah kau turunkan papan reklame yang hampir sebulan kau pasang?”

“Hm… mengenai itu,” Ares menggaruk ujung hidungnya. “Aku belakangan ini sering lupa, jadi belum sempat aku turunkan.” Pria itu menyunggingkan senyum jenaka.

“Aku  mengerti sekarang, mungkin karena factor umur. Apa kau tidak takut menduda terlalu lama? Aku khawatir pedangmu akan karatan nantinya,” skakmat. Perkataan Charles berhasil membuat wajah Ares merah padam.

“Jangan bicara sembarangan! Begini-gini aku yakin pedangku lebih tajam darimu!” Ares mencak-mencak.

“Apanya?” Charles terkikik geli. Tajam? Yang benar saja!

“Buktinya Ara-“

“Kopi datang!” Elara sengaja datang dengan suara yang

nyaring karena dia tidak seorang diri, ada Hades, Acha beserta beberapa pelayan yang mengikutinya dari belakang. Membawa kopi dan beberapa kudapan. Dia tahu jika Ares dan Charles mulai membicarakan hal yang absurd. Jangan sampai anak-anak mereka mendengarnya. Sedangkan dua pria tersebut langsung bungkam menutup mulut mereka rapat-rapat.

“Papa!” Acha yang melihat Charles langsung menghampiri dan mengecupi kedua pipinya.

“Hai, sweety!” sahut Charles. Dia pun membalas kecupan sang puteri kesayangan.

Ares cemberut, dan itu tidak luput dari perhatian Hades. Bocah itu menghela nafas, tidak menyangka memiliki Ayah yang masih kekanakan.

“Selamat siang Papa Charles,” sapa Hades.

“Hei, Boy… kemari!” Charles melambaikan tangan pada Hades. Sedangkan Acha berjalan menuju Ares.

Gadis kecil itu bergelayut manja pada Ares, jangan ditanya bagaimana ekspresi Ares. Pria itu langsung sumringah seusai bermuram durja.

“Ayah dan Papa sedang bicara apa?” tanya Acha penasaran.

Seketika tengkuk Ares terasa dingin, ternyata Elara sedang berdiri di belakangnya dan memberikan aura mematikan. Pria itu menoleh dengan takut kemudian tersenyum kikuk.

“Ah… Ayah sedang bicara tentang…” manik pria itu bergulir ke sana ke mari sambil memikirkan alasan yang masuk akal. Hingga dia mendapatkan sesuatu. “Kalian yang akan di masukkan sekolah yang sama sampai kuliah nanti,” celetuk pria itu asal.

“Ha?” Elara dan Charles terkejut secara bersamaan. Sedangkan Hades memilih menyeruput teh melati yang disediakan.

“Kalian?” Acha membeo.

“Ya kalian, Acha dan Hades!” jelas Ares.

“Ares!” Elara mendesis. Apa-apaan pria itu menentukan pendidikan Acha seenak udelnya.

“Stss…” Ares memberikan kode pada Elara untuk diam. Tidak terkecuali Charles yang menegang. Pasalnya tidak boleh sembarangan berucap di hadapan Acha. Bocah itu kritis.

“Aku, akan selalu bersama Kak Hades?” tanya Acha antusias.

“Iya sayang!” tegas Ares cepat.

“Yeay! Kak Hades, kita akan sama-sama terus!” Acha bersorak kegirangan.

Hades hanya tersenyum tipis, memangnya dia bisa apa? Ares tidak akan bisa dibantah. Dan Hades tahu itu. Elara mendesah sambil menahan gemuruh di dada. Rasanya ingin melempar Ares ke hutan belantara biar dibawa orang utan sekalian. Dan Charles mengusap wajahnya kasar, Acha akan menagih itu. Semua ucapan Ares suatu hari nanti pasti harus terealisasi.

‘Cari mati neh Ares!’ makinya dalam hati.

***

Bandara

Terik matahari menyilaukan pandangan seorang wanita dengan surai hitam sebahu yang baru saja keluar dari bandara, padahal dia sudah mengenakan kacamata hitam. Sepertinya kurang hitam hingga tembus dan langsung mengenai manik hitam beningnya.

“Panas sekali hari ini,” keluhnya. Dia mengibaskan tangan dan menempelkan tangannya pada kening seperti orang yang memberikan hormat pada

tiang bendera pada upacara di hari senin.

Wanita itu merogoh tas ranselnya untuk mengambil ponselnya. Mengutak-atik, mencari nomor seseorang kemudian melakukan panggilan.

“Halo, Kakak Deni! Ini aku Diana,” jelas wanita itu yang ternyata merupakan adik perempuan Deni.

[Halo, Diana! Kamu sudah sampai?]

“Iya Kak, baru saja. Aku langsung ke alamat Kakak ‘kan?”

[Tidak usah, biar aku jemput. Kamu tunggu saja di lobby, Ok?!]

“Ok, jangan lama-lama, aku sudah lapar!”

[Siap Boss!]

Wanita itu terkekeh sambil menyimpan ponselnya kemudian berjalan ke toilet untuk buang air kecil.

30 menit berselang Deni pun sampai bandara. Dia harus buru-buru karena persiapan dinner Ares yang tidak boleh gagal.

“Maaf ya, macet. Biasa lah, Jakarta!” Deni memberi alasan, padahal dia mampir dulu untuk reservasi restaurant.

“Hm… nyamanan di Bali donk,” sahut Diana.

“Tapi cari uang lebih mudah di sini!” terang Deni.

“Ah sama saja, kalau tidak ada keahlian juga tidak akan dapat pekerjaan,” sergah Diana kurang setuju dengan pendapat Kakaknya.

“Iya, benar juga.” Deni mengangguk. “Masih lapar?” tanyanya kembali.

Diana menatap malas Deni. “Masih tanya, ya lapar lha Kak!”

“Oh, hehehe… Kakak kira sudah kenyang, melihat 1 box donat kamu habiskan,” tunjuknya pada kardus kosong yang baru saja dibuang oleh Diana.

“Kalau belum makan nasi belum afdol, Kak!”

“Bisa saja kamu, ya sudah, ayo!” mereka pun menaiki mobil menuju tempat makan.

Tbc.

Terpopuler

Comments

Yuiko23

Yuiko23

kapan Ares ga bikin kesel ya

2025-03-06

1

Naendia

Naendia

Dasar si Ares 🤣

2025-03-09

1

Iis Yuningsih

Iis Yuningsih

thor di ditunggu up nya semangat💪🏻💪🏻💪🏻🫰🏻🫰🏻🫰🏻🥰🥰🥰

2025-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!