“Ternyata sudah pagi.” Gumamku.
Aku berdiri dari kursi yang kubuat untuk tidur semalaman, aku langsung melihat keadaan Nia ternyata keadaannya mulai membaik dan melihat jam dinding ternyata masih menunjukkan pukul 6.30 WIB. Aku memutuskan hari ini untuk tidak bersekolah karena ingin merawat Nia. Aku turun kebawah dan ingin membuatkan makanan untuk Nia.
“Kamu enggak sekolah, Lin?” tanya Mas Alif yang melihatku turun kebawah.
“Enggak, Mas?” kataku lemas. “Aku sudah meminta tolong pada temannku, Untuk Ijin tidak masuk.” Kataku yang menuju dapur. “Aku ingin merawat Nia, Mas. Mas Alif kalau mau sekolah, sekolah saja, biar Nia, aku yang jaga.” Kataku pada Mas Alif dan Tante Ami keluar dari kamarnya. Wajahnya kusut sepertinya dia tidak tidur semalaman.
“Baiklah kalau begitu, Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku.” Kata Mas Alif yang berpamitan untuk pergi sekolah dengan ku dan sikap Mas Alif pada tante Ami masih dingin.
Aku sedang mencuci beras untuk membuat bubur dan memotong sayur-sayuran untuk membuat Sup. Tante Ami mendekati ku dan ingin membantuku tetapi aku mengatakan tidak membutuhkan bantuan. Setelah selesai memasak, aku membawa makanan naik keatas dan tante Ami mengikutiku sampai didepan pintu. Aku meminta Tante Ami untuk menunggu sampai Nia benar-benar selesai makan.
“Tante, aku minta maaf harus mengatakan ini pada tante. Tapi tante jangan masuk dulu iya?” Kataku.
Tante Ami bisa memaklumi hal itu. Aku masuk kedalam kamar dan Tante Ami melihat kedalam dengan cemas.
“Haloooo,,, Nia selamat pagi....” aku meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman itu
dimeja. Lalu membuka korden jendela kamar Nia. Sinar matahari masuk kedalam ruangan kamar dan menyilaukan mata yang melihat. Nia yang terkena sinar matahari itu merasa silau dan bangun dari tidurnya lalu dia duduk dan menghalangi matanya dengan kedua tangannya.
“heii,, Ayo bangun. Aku sudah membuatkan makanan untukkmu.” Kataku bersemangat dan menarik tangan Nia. Nia hanya melihatku bingung dan bertanya-tanya.
“Ayoo,, kekamar mandi. Sikat gigimu dan cuci muka, setelah itu makan.” Nia hanya mengikuti perintahku tanpa perlawanan. Aku menunggu Nia diluar kamar mandi dan setelah Nia keluar aku langsung menyuruh Nia untuk duduk dikursi dan menyiapkan makanan untuk Nia.
“Lin, masih pagi gini. Aku masih ngantuk?” Katanya. Meskipun dia sudah cuci muka tetapi tidak bisa dipungkiri wajahnya telihat masih mengantuk dan terlihat kusut.
“Hap,,,” Aku menutup mulut Nia yang sedang menguap lebar dan aku memberikan bando untuknya.
Nia melihatku dengan sangat heran. “Ayo pakai,, terus minum air putihnya baru setelah itu makan.” Nia memakai bando yang aku berikan dan dia meminum air putih yang kuberikan.
“Ini, kamu yang buat?” Tanyanya. Aku hanya mengangguk senang. “Aku coba iya? Awas kalau tidak enak.” Katanya sambil mengambil kuah sup sayur itu. Nia hanya mengangguk saja tanpa berkomentar apapun, Nia memakan makanan yang aku berikan.
“Enak iya?” Kata ku senang yang melihat Nia sedang melahap makanannya.
“Iyaa,,,” Nia hanya mengangguk. “Jam berapa, Lin?” Tanya Nia
“Jam 9, Ni? kenapa?” Kataku.
“Jam 9? kamu tidak sekolah?” Tanya Nia sedikit terkejut karena pasti dikira Nia ini masih pagi. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “jangan karena aku kamu tidak sekolah,,,”
“Yeee,, enggak mungkin, Ni?” Kataku mencoba mengelak. “aku memang sedang malas sekolah hari ini.” Kataku tersenyum. Nia hanya melihatku tidak percaya.
“Apa?” Kataku dengan mata menyelidiki. “Owhh,, gimana perasaanmu, Ni?” tanyaku. Aku melihat Nia, Nia tiba-tiba saja menghentikan makannya dan menatapku tajam. “Apa ada kataku yang salah?” batinku. Aku merasa tidak nyaman.
“Aku, Baik. Buktinya aku sedang memakan makanan mu yanggg,,,,” Nia menggantung kalimatnya dan melihatku, lalu tertawa. “yang kurang enak ini,,,” Nia tertawa sangat keras.
“Ihhh,,, kamu tu iyaa,,, setidaknya kalau lagi sakit gini,, jangan bikin ribut kenapa?” Kataku kesal.
“tidak tahu orang sedang cemas apa?” Lanjutkku dengan muka cemberut, Nia hanya tertawa. Aku senang Nia bisa seperti ini lagi. Setidaknya pagi ini dia bisa sedikit menghilangkan beban yang sedang menimpanya dan melupakan kesedihannya yang kemarin.
“Ni, istirahat iya? Aku turun dulu,,” Kataku.
Aku membawa nampan yang berisi peralatan makan yang sudah kosong karena Nia dengan lahap memakan makanan yang kubuatkan untuknya. Aku melihat Tante Ami yang menunggu didepan kamar Nia dan menunggu dengan harapan dia bisa masuk kedalam.
“Lin, gimana? Apa tante bisa masuk?” Aku tidak langsung menjawab aku hanya melihat kearah pintu kamar Nia. “Lin?” kata Tante Ami lagi.
Aku tidak bisa menghalangi seorang Ibu bertemu dengan anaknya, Lagipula apa hakku untuk melarang Tante Ami untuk bertemu dengan Nia. Tapi yang aku khawatirkan adalah Nia, sekali dia terguncang dia sembuhnya akan lama.
Akhirnya aku menganggukan kepalaku mengiyakan untuk Tante Ami bertemu dengan Nia. Senyum Tante Ami berkembang dan dia terlihat sangat senang.
“Tapi tante, jangan buat Nia marah iya?” Kataku sebelum Tante Ami masuk kedalam kamar. Tante Ami hanya mengangguk. Aku melihat Tante Ami yang masuk kedalam kamar Nia, entah apa yang akan terjadi selanjutnya aku hanya bisa menunggu.
Aku duduk disofa ruang keluarga dirumah Nia dengan harap-harap cemas. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan diatas. Aku jadi teringat ketika Ibu kandungku datang dan menyuruh Aku dan Mas Anwar ikut bersamanya, saat itu Bapak tidak ada dirumah, yang ada dirumah hanyalah Aku, kakakku dan Mama tiriku.
“Lin, Arif?” Teriak ibuku yang memanggil dari luar rumah dan mengetuk pintu dengan kasarnya. Saat itu kita bertiga sedang menonton televisi. Mama ku yang membukakan pintunya. Tidak lama setelah itu terdengar keributan diluar rumah. Aku dan kakakku yang mendengar itu langsung menuju kedepan rumah dan melihat apa yang terjadi. Aku terkejut ketika yang aku lihat adalah Ibu ku yang sedang marah-marah pada Mama tiriku.
“Arif, Lin. Ayo ikut ibu pergi.” Kata ibuku sambil menarik tangan kita berdua dengan kasar. Aku dan kakakku kompak menolak ajakan ibu. “Kenapa?” tanya ibuku. “Lin, enggak mau ikut ibu?” Tanyanya padaku tetapi aku hanya diam saja menunduk dan melihat kakakku.
“Arif?” tanyanya, Kakakku pun melakukan hal yang sama denganku. Lalu aku berlari kearah mama tiriku dan ibu hanya melihatku.
“Lin, kamu ini kenapa?” teriak ibu mengahampiriku dan mencoba meraih tanganku, aku bersembunyi dibelakang Mama tiriku. “Lin, ini ibu. Ibu kandung kamu, yang melahirkan kamu?” Katanya panjang lebar yang membuatku semakin takut. Ibu tidak mau menyerah, ketika ibu tidak bisa meraihku dia membawa Mas Arif untuk pergi bersamanya. Kali ini yang tadinya Mamamku hanya diam saja mencoba menarik tangan Mas Arif dan mendorong Mas Arif kearah belakang. Kita berduapun berdiri bersembunyi dibelakang Mama tiri kami. Ibu tidak terima dengan hal itu, Ibu malah memaki-maki Mama tiriku dengan kata-kata yang kasar dan Mamaku hanya diam saja. Ketika ibu sudah selesai bicara kemudian Mama baru bicara.
“Kalau mau mengambil mereka berdua, temui ayahnya baik-baik jangan mengambil mereka dengan kasar seperti ini.” Kata mamaku yang menahan marahnya dari tadi.
“Apa? Kasar?” kata ibuku yang tidak terima.
“Maaf, sebaiknya anda pergi dari sini.” Usir mamaku secara halus. Ibu mau memukul Mama tiriku tetapi orang-orang yang sedari tadi melihat pertengkaran itu mencoba membela mamaku dan akhirnya ibupun pergi entah kemana. Aku pun tidak tahu keberadaannya hingga sekarang dan tidak mau tahu. Saat itu usiaku baru 8 tahun dan kakakku baru 9
tahun, karena aku dan kakakku hanya berbeda 1 tahun usianya.
Saat aku sedang melamun teringat tentang kejadian itu. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan adanya suara teriakan dari atas yang sedang beradu mulut. itu suara Nia dan Tante Ami. Aku melihat jam tanganku dan aku baru sadar sudah meninggalkan Nia selama setengah jam.
“Siall,, Nia?” batinku.
Aku segera berlari menaiki anak tangga dan menuju keatas. sesampainya diatas aku melihat Nia dan Tente Ami berada diluar ruangan. Nia menyadari kedatanganku. Aku melihat Tante Ami sedang menangis terisak-isak dan Nia wajahnya terlihat sangat marah seperti ingin membunuh orang yang ada dihadapannya. Aku bingung siapa yang harus kubela, Tante Ami atau Nia. Aku hanya mengawasi nya saja dari jarak yang agak jauh.
“Nia,, Ibu sayang kamu, Nak?” Kata Tante Ami yang berusaha mendekati Nia. Tapi Nia berusaha menghindar.
“Lebih baik anda pergi dari sini. aku tidak ingin melihat anda.” Kata Nia yang mengusir Tante Ami. Terlihat sekali Nia sangat membenci Ibunya.
“Tapi,, Nia. Ibu hanya,,,” Tante Ami tetap tidak mau menyerah. Tante Ami berusaha memeluk Nia tapi Nia menepisnya sehingga membuat Ibunya terjatuh dan Tante Ami merasa kesakitan.
“haaa,,” Aku berusaha menutup mulutku dengan kedua tanganku karena terkejut melihat kejadian itu dan Aku maju selangkah untuk menolong Tante Ami tapi langkahku, kuhentikan ini bukan Urusanku, ini urusan Orang tua dan anak. Aku hanya merasa kasihan melihat Tante Ami.
“Sekarang apa yang ibu mau dariku?” Kata Nia dengan nadanya yang emosi. “Sekarang ibu ingin membawaku ku pergi? Bagaimana dengan ayah bu, Apa harus aku meninggalkan ayah sendiri.” lanjut Nia. “Ibu sudah membuang Aku dan Mas Alif jadi untuk apa ibu meminta kami berdua kembali.” kali ini suara Nia
pelan dia mengatur nafasnya. “Bukankah ibu tidak menginginkanku!!!” bentak Nia. Nia lalu meninggalkan Tante Ami sendiri yang sedang tersungkur dibawah dan Nia hanya berlalu melihatku yang sedang memperhatikan mereka berdua.
Bretttt....
Nia membanting pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Apa yang harus kulakukan? Nia atau Tante Ami?
Aku memutuskan untuk menolong Tante Ami terlebih dahulu karena saat ini pasti Tante Ami sedang membutuhkan pertolongan yang lebih dan Nia, aku percaya padanya, dia tidak akan melakukan hal-hal bodoh yang akan merugikan dirinya. Aku mencoba menenangkan Tante Ami dan segera mungkin aku menghubungi Mas Alif. Mas Alif baru bisa pulang jam 2 nanti, Aku harus bersabar mengahadapi mereka berdua. Setelah melihat tante Ami tenang. Aku kekamar Nia.
“Nia, Ini aku, Lin?” Aku mengetuk pintu kamar Nia. “Ni, buka pintunya? Aku tahu kamu ada didalam. Nia...” Kataku tapi tetap saja tidak ada jawaban. “Baiklah kalau kamu tidak mau membuka, aku...” belum sempat aku pergi ternyata ada suara kunci terbuka. Aku tersenyum dan membuka pintu kamar itu. Aku melihat Nia sedang berjalan memunggungiku.
“Aku tahu itu, Ni?” Aku berjalan mengikuti Nia dari belakang. Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk bicara pada Nia supaya dia tidak tersinggung. “Aku tidak tahu saat ini harus mengatakan apa padamu. Ni?” Nia hanya diam saja dan dia duduk diatas kasurnya. Aku duduk disamping Nia, Kita hanya diam saja tanpa suara apapun yang keluar dari mulut kita. Lama kita diam, Nia melihatku dan ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Lin, kalau kamu diposisi aku. Apa yang akan kamu lakukan.” Tanya Nia tiba-tiba. “Bukankah sebenarnya posisi kita sama?” lanjut Nia. Aku hanya bisa diam, Kalau aku bisa langsung menjawab.
“aku akan mengatakan untuk apa memperdulikan Ibu yang telah membuang kamu lebih baik kamu tinggal dengan ayah yang sudah membesarkan kamu, Ni?“ Aku hanya bisa mengatakan dalam hatiku saja tanpa
berani mengatakan apa yang sedang aku pikirkan.
“Apakah yang akan kamu lakukan sama denganku?” Tanya Nia lagi. Aku sedang berputar Otak untuk menentukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini.
“Itu semua ada disini, Ni?” Kataku menunjukkan letak jantung Nia dengan telunjukku. Nia melihat ku “Iyaa,, semua keputusan ada ditanganmu. Tinggal kamu berani atau tidak mengambil keputusan bahwa aku akan bisa hidup dengan salah satu orang tua ku, Ibu atau ayahku?” kataku. “Sama halnya denganku, Aku harus mempunyai keberanian dan punya alasan yang kuat kenapa aku memilih tinggal bersama ayahku dari pada ibuku. Alasan aku simple, Ni?” Aku mengantung kalimatku. “Alasanku adalah Aku sayang pada ayahku, Jika aku pergi meninggalkan ayahku, terus ayah akan tinggal sama siapa. nanti ketika aku dan kakakku tidak ada dirumah yang ada hanya Mama Tiriku kalau dia tiba-tiba membunuh ayahku,,,,” Lalu Aku tertawa mengingat kata-kataku dan Nia pun
tersenyum.
“Jadi, Kamu harus bisa mempertimbangkan baik dan buruknya, Ni?” kataku panjang lebar. Entah hal ini bisa membuat Nia tenang atau tidak. Nia lalu memelukku dengan erat.
“Aku enggak tahu, Lin. Aku akan jadi apa kalau kamu tidak ada disampingku.” Kata Nia semakin memelukku sangat erat.
“Niaa,,, lepas. Aku enggak bisa nafas tahuuu...” Aku mencoba melepaskan pelukkan Nia. Nia hanya tersenyum.
Mas Alif yang ketika itu sudah sampai rumah sangat senang karena keadaan mulai membaik. Aku mendengar ketika Mas Alif sedang berbicara pada ayahnya, Om Lukman lewat telepon dan ketika Nia berbicara pada ayahnya pun aku berada disamping Nia. Sebenarnya selama aku mengenal Nia aku tidak pernah melihat wajah ayah Nia.
Setelah satu bulan kejadian itu semuanya membaik. Nia masih tetap melakukan aktifitasnya sehari-hari yaitu besekolah, bermain dengan Bandnya dan bermain Basket dengan teman-temannya. Akhirnya Nia berani mengambil keputusan untuk tetap tinggal bersama ayahnya dan tante Ami pun merelakan Nia dan Mas Alif.
***
Itulah kisah dari masa lalu yang aku dan Nia miliki. Hanya sebagian orang yang mengetahui tentang kisahku ini.
🌳🌳🌳
Tetep hampa
Enggak ada Inspirasi
♡♡♡Selamat Membaca♡♡♡
Busa Lin
(Yang hari ini pikirannya lagi Buntu... 😅)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
K y⃟ ◂▸ yᵘⁿɑ ༆
Aku kasih vote ya thor.. makasih
2020-05-19
1
K y⃟ ◂▸ yᵘⁿɑ ༆
Hai thoor, aku mampir laagii..
Ceritanyaa makin seru.. Tetap semangat yaa, aku tunggu karya selanjutnyaa.
Jgn lupa feedback yaa.. Makasih..
2020-05-19
0
Siena
Semangat dan lanjutkan ceritanya thor..
2020-05-18
0