Mas Adam masuk ke kamar merebahkan diri di atas ranjang dengan tangan kanan menutupi wajahnya.
Setelah acara memasak selesai, aku keluar menghampiri Rasyid karena hari mulai siang aku menyiapkan makanan untuk Rasyid menyuapinya sambil bermain di depan rumah.
"Ibu.. ibu.. ibu dimana?" Adam memaggilku dari dalam
"Ibu didepan Mas" ujar ku, ku gendong Rasyid dan menghampiri Adam
"Ada apa? Mas mau makan?"
"Mas boleh ambil buah yang ada didapur? Mas mau pisang" pinta Adam
"Owh itu emang buah punya Mas Adam, Om Evan yang kasih" jawab ku
"Jangan dimakan Mas nanti Ayah belikan" ucap Mas Ardi yang datang dibelakang Adam
"Emang Ayah sudah punya uang?" Tanya Adam membuat ku tersenyum dan menaikan satu satu alis
"Jangan minta Nenek sama Mbah Ayah Adam malu" ucap Adam sambil menundukan kepala dan masuk kembali ke kamar.
Mas Ardi terdiam mematung menundukan kepalanya entah apa yang dipikirkannya.
"Gak apa - apa Mas yang ada dulu saja rezeki jangan ditolak, nanti lain kali kamu yang belikan" ujar ku pada Mas Ardi dan berlalu menghampiri Adam.
Mungkin ini menyakitkan bagi Mas Ardi, tapi bagi ku lebih menyakitkan ketika kita di posisi Adam dia menginginkan sesuatu yang jelas ini miliknya tapi dilarang karena keegoisan ayah nya.
Adam memang masih kecil usianya baru mengijak 8 tahun tapi karna situasi yang sering dia alami membuat dia dewasa terlalu cepat, semenjak Ayahnya tidak bekerja dia jarang meminta uang jajan seperti kebanyakan anak sebayanya apa lagi meminta mainan, yang ada semua mainan yang Adam miliki ia berikan kepada Rasyid adiknya saat aku bertanya kenapa Adam memberikan semua mainannya Adam hanya berkata
"Biar ibu tidak usah membeli mainan lagi untuk Rasyid"
Terharu bahkan lebih ke sedih karna keterbatasaan dia harus menahan rasa inginnya. Mencoba berbagi meski dia masih ingin memilikinya. Inilah salah satu alasan mengapa aku ingin memiliki penghasilan sendiri semua itu untuk anak - anak ku. Cukup aku saja sedari kecil kesusahan tidak dengan anak - anak kami.
Sore setelah shalat ashar aku menemani Rasyid dan Adam bermain di sekitar taman, disana aku bertemu kembali dengan Husein.
"Assalamualaikum Pak Ust. Husein" sapa Adam
"Pak Ust?" Tanya ku dengan heran ke arah Husein dan Adam bergantian
"Iya Ibu ini Pak Ust. Husein yang mengajar mengaji di mushola menggantikan Pak Ust Abdullah" ujar Adam
"Jadi ini Ibu adam? Hmmm kalau ini Pak Ust kenal Ibu Adam ini teman baik Pak Ust waktu kami sekolah" jawab Husein dengan senyuman
"Kaki Adam masih sakit?" Tanya Husein karna melihat aku menemaninya bermain.
"Sudah baik Pak Ust, Ibu saja yang berlebihan Mas Adam kan bukan anak kecil sampai main saja harus ditemani" ujar Adam mengeluh dengan menarik nafas panjang
"Baiklah.. baiklah, Mas boleh main dengan sepedahnya tapi ingat hanya sekitaran taman saja dan tidak boleh kebut - kebutan"
Adam bermain membaur dengan teman sebayanya, kini tinggal aku, Rasyid dan Husein. Kami pergi ke cafe sekitar untuk duduk beristirahat sekedar minum dan berbincang.
"Ada apa ini Indri? Apa kau menyimpan sesuatu? Apa berita itu benar?"
Dia sudah dalam mode marah bila sudah menyebut namaku, karna biasanya dia akan menyebut Humairah.
"Berita yang mana? Kau sudah seperti ibu - ibu komplek saja yang selalu mencari bahan gibah?"
"Tentang suami mu yang lepas tanggung jawab? Isu perceraian? Dan lelaki lain yang berkunjung ke rumahmu!"
"Husein bukan kah itu ranah pribadi kami? Apa aku harus mendiskusikannya dengan mu?"
"Indri sejak aku merelakan kau dengan laki - laki yang kini menjadi suami mu kau sudah berjanji akan mengnggap ku sebagai sahabat sekaligus saudaramu dan akan selalu mengadu padaku, bila dia berani menyakiti mu kau akan kembali pada ku.."
"Dan bagaimana cara ku menghubungi mu? Dimana dirimu saat aku ingin mengadu?" Ucapku memotong perkataan Husein
"Maafkan aku.. maafkan aku Humairah kini aku sudah kembali kau bisa sesuka hati berkeluh kesah pada ku katakan apa saja, menangislah bila memang kau menginginkannya" Husein meraih tangan kiri ku dan menggenggamnya.
Husein memang sangat dekat dengan ku semenjak kematian kembarannya Hasan.
Flashback
"Humairah sudah selesai berkemasnya? ayo kita pulang Umi sudah menyiapkan cemilan enak siang ini" ujar Husein menghampiri meja kelas ku dengan senyum merekah diiringi Hasan yang bersender dipintu kelas dengan tanggan terlipat didada nya.
"Si dingin yang selalu membuat gadis histeris itu selalu membuat ku terpaku" batin ku
Inilah Hasan dan Husein anak kembar yang menjadi sahabatku semenjak duduk disekolah SMP hingga sekarang aku SMA kelas X dan mereka kelas XI ,kami beda tingkat kelas berteman karena bertemu di pengajian dan kamipun mulai berteman, Husein yang humoris periang, ceria dan ramah berbanding terbalik dengan kaka kembarannya Hasan yang dingin cuek dan tidak banyak bicara.
Tapi bila dibandingkan fisik Hasan lebih mendominasi dia tampan berkulit putih bersih dengan tubuh tinggi tegap karna selalu rajin berolah raga dan hampir semua extra kulikuler disekolah yang berbau olah raga Hasan Ikuti sedangkan Husein postur tubuhnya lebih kecil meski sama - sama tampan. Hasan selalu mendapat nilai lebih dimata semua gadis termasuk aku.
"Ternyata lelaki tampan dan pendiam itu mengesankan"
Dia selalu memperlakukan aku seperti gadis kecilnya sedangkan Husein selalu menganggapku Humairah nya. Mereka manis bukan tapi tak sampai membuat ku ingin mendapatkan status lebih meski hati ini selalu ingin jatuh cinta cukup dalam diam saja cinta ini aku rasakan, karna perbedaan kasta diantara kami aku cukup sadar diri.
Mereka orang terpandang aku hanyalah anak bawang.
"Apa aku harus mampir ke yayasan lagi?" tanya ku
"Tentu saja kau harus harus belajar mengaji dengan kami kan? Apa kau sudah bosan berteman dengan ku" ujar Husein sendu
"Bukan begitu kaka kelas, tapi ku rasa kalian selama ini membodohi ku? bukankah kalian sudah pandai mengaji kenapa harus selalu aku temani dengan alasan bila aku yang menerangkannya kalian lebih mengerti dari pada Ust Imran yang ajarkan" tanyaku mencoba menginterogasi dengan sedikit memicingkan mata bergantian ke arah Hasan dan Husein
"Aku senang berteman denganmu Humairah abang pun begitu iya kan?" tanya Husein pada Hasan
"Kau bila sudah tidak punya alasan pasti aku kau sudutkan, Indri tetaplah mengaji bersama kami sangat membosankan rasanya bila setiap hari aku selalu melihat wajah sok manis Husein dengan adanya kau akan memperindah penglihatan ku" ujar Hasan dengan senyum tipisnya
"Dia bilang apa? Memperindah penglihatannya apa dia sedang memujiku? Apa si dingin ini menyukaiku? Apa boleh aku mempunyai rasa lebih padanya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments