Disepertiga malam ku terjaga dari tidur menepikan rasa kantuk yang masih tampak dipelupuk mata.
Ku bentangkan kembali sajadah, mulai melakukan shalat tahajud yang sudah rutin ku lakukan selama seminggu ini.
Setelah selesai ku raih Al - quran di atas nakas, sengaja ingin ku berlama - lama melantunkan ayat - ayat suci sambil menunggu adzan subuh berkumandang.
Rasa tenang, nyaman dan tanpa ada rasa terbebani aku rasakan setiap ingin lebih dekat dengan diriNya.
Fajar pun menyingsing setelah selesai shalat subuh seperti biasa aku lakukan aktifitas sebagaimana mestinya seorang ibu rumah tangga urusan dapur dan sumur dipagi hari menjadi kebiasaan sehari - hari.
Sampai saat ini Mas Ardi belum kembali ke rumah ini, setelah pernyataannya 10 hari yang lalu. Aku pun masih enggan untuk menghubunginya atau bertanya kabarnya kepada orang tua Mas Ardi. Bagi ku biarkan begini dulu aku masih butuh waktu meski kadang luka karna sakit hati ini masih terbuka dan basah.
"Mungkin ini definisi sakit tapi tak berdarah"
Tersungging sebuah senyuman dibibirku.
"Hmmmm aku bagaikan remaja labil saja memakai makna itu" monolog ku
Aku memang hanya wanita biasa, kadang sisi rapuh itu ada. Meski semua orang terdekat ku mengira bahwa aku sosok wanita dewasa yang pandai menyikapi sisi positif setiap masalah.
Nyatanya aku hanya wanita biasa sedih itu ada, sakit itu terasa, tapi tak harus aku umbar karna sejatinya kekurangan seseorang itu termasuk aib dirinya yang kalau bisa jangan sampai kita perlihatkan kepada orang lain masa - masa terpuruk kita.
Bukan karna tidak mau berbagi tapi cukuplah hanya aku yang bersedih. Terlebih bila ada orang yang tidak menyukai kita mereka akan tertawa dengan puas hati atas kesusahan yang kita alami. Bukannya turut prihatin manusia iri dengki seperti itu akan selalu mengorek setiap kesalahan dan kesusahan yang kita rasakan.
Siang ini aku berniat untuk berkunjung ke rumah Mbak Yeni yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah ku hanya berjarak beberapa meter saja tepat di jalan besar sebelum masuk ke pemukiman kampung ini.
Setelah beres urusan rumah aku bersiap - siap untuk pergi,
"IBU...huhuhuhu!" Teriakan Adam memekakan telinga kulihat dia dibopong oleh seorang pria, darah bercucuran di lutut kanan Adam siku dan pergelangan tangannya pun tak luput dari luka lecet dan memar biru ke unguan.
"Ada apa ini? Mas kenapa?!!" Ku ambil Adam dari gendongan pria itu, ku dudukan Adam di atas bale bambu di depan rumah.
"Maaf saya tidak sengaja menabrak anak ibu, saya tidak tau kalau akan ada sepeda yg keluar kencang dari gang kecil depan jalan raya itu"
"Tadinya mau saya bawa ke rumah sakit, tapi anak ibu terus berteriak minta dibawa pulang." Jelas nya panjang lebar.
"Anak saya tidak akan mau pergi ke rumah sakit bahkan ke klinik sekalipun tanpa saya"
"Kenapa?Apa takut dengan saya?" Tanya pria itu
"Bukan dia takut jarum suntik."
"Mas ibu obatin boleh?" Tanyaku lembut sesekali ku hapus air matanya dengan ibu jari.
"Iya ibu saja yang obatin Mas ga mau dibawa ke rumah sakit" jawab Adam masih dengan sesegukan meski terdengar lirih
Aku dengan cepat masuk ke kamar mencari kotak P3K. Ku basuh luka dengan air mengalir takut ada debu atau tanah yang masuk ke dalamnya setelah bersih.
Aku coba menuangkan alkohol sedikit demi sedikit ke area luka, terdengar ringisan dari bibir kecil Adam. Luka itu cukup lebar hampir memenuhi area lutut meski tak terlalu dalam.
Setelah selesai membalut luka aku kembali masuk untuk pergi ke dapur membuat 2 cangkir teh hangat untuk Adam dan pria itu.
"Silahkan, maaf hanya teh hangat. Minumlah anda pasti sama terkejutnya dengan saya."
"Yah.. saya pertama kali menabrak orang. Jujur saya memang ketakutan." Raut wajah memang tidak pernah berbohong.
"Sekarang Mas minum dulu, coba ceritakan sama ibu kenapa Mas bisa mendapatkan luka seperti ini?" Tanyaku sambil menunjuk luka dan sedikit menekannya.
"IBU..!! Sakit!"
"Iya Mas yang salah, Mas tadi balapan sama Anton dan Tomy sampai gak sadar sudah keluar perbatasan jalan raya. Mas juga ga liat kanan kiri"
"Minta maaf ya om?" Adam menatap pria tersebut dengan mata berkaca - kaca
"Om juga salah, Om minta maaf ya?"
Adam mengangguk dan tersenyum.
Pria itu merogoh saku celana nya diberikannya beberapa lembar uang kertas berwarna merah ke tangan ku.
"Ini untuk biaya berobat dan ganti rugi sepeda yang saya tabrak"
"Maaf tapi sepertinya tidak usah luka yang anak saya dapat tidak begitu parah sepeda nya pun masih bisa diperbaiki"
"Kalau begitu ambillah ini untuk biaya perbaikannya" tawarnya
"Baiklah satu lembar saja saya rasa sudah lebih dari cukup"
Pria itu tersenyum.
"Saya bersyukur ibu tidak langsung marah dengan kejadian ini biasanya orang-orang malah langsung meminta ganti rugi"
"Namanya juga musibah, tidak ada orang yang meminta kemalangan dan disini anak saya juga salah"
"Terimakasih bu, kalau begitu saya mohon undur diri saya harus ke pasar mengantar sayuran"
"Oh iya silahkan terimakasih sudah mengantarkan anak saya"
"Iya bu, Assalamualaikum"
"Wa'alaikumus salam"
Pria itupun pergi dengan mengendarai mobil bak terbuka dengan berkarung- karung sayur mayur dibelakangnya.
Dering bunyi ponsel mengalihkan pandangan ku. Ku lihat nama Mbak Yeni di layar benda pipih itu.
"Asalamualaikum Mbak"
"Wa'alaikumus salam, kamu katanya mau mampir ke rumah Mbak?"
"Maaf Mbak sepertinya gak jadi Adam jatuh dari sepeda tadi, mau tak tinggal tapi kasian dirumah sendirian gak ada orang"
"Oalah pasti Adam ngebut lagi yo? Memang Ardi masih dirumah mertuamu nduk? Yo wis nanti sore Mbak aja yang main kerumah ada yang mau Mbak omongin sekalian Mba bawa asinan kedondong buatan Mbak"
Seketika air liurku serasa mengalir terbayang rasa asam dari buah kedondong dan pedas manis dari air asinannya.
"Buat banyak Mbak?" tanya ku antusias.
"Mbak pasti buat banyak, klo enggak Mba dan Mas Sapta gak bakalan kebagian, habis kamu kalau makan asinan kedondong kaya orang kalap" terdengar suara tawa Mbak Yeni di ujung sana.
Mbak Yeni memang beruntung mendapatkan lelaki seperti Mas Sapta dia lelaki yang gigih dalam bekerja meski pernah di PHK di perusahaan yang dulu, dia tidak berpangku tangan dalam menafkahi Mbak Yeni meski Mbak Yeni memiliki warung sembako didepan rumahnya.
Dalam keterpurukannya dia segera bangkit dan membuka bengkel motor kecil - kecilan hingga kini menjadi bengkel motor dan mobil yang mempunyai 5 orang karyawan.
Mas Sapta pun tidak berniat mencari istri lagi atau menceraikan Mbak Yeni, meski tau rahim Mbak Yeni bermasalah hingga dinyatakan mengalami kesulitan dalam memiliki buah hati. Hampir 7 tahun mereka berumah tangga tapi belum juga dikaruniai anak diantara mereka.
Bila melihat betapa harmonisnya rumah tangga mereka kadang terbersit rasa iri. Mereka yang selalu melengkapi, hingga sosok anak tak membuat lunturnya rasa cinta meski tubuh hampir termakan usia.
Manusia memang diberi cobaan berbeda - beda. Aku dan Mas Ardi dengan kondisi ekonomi sedangkan Mbak Yeni dan Mas Sapta dengan tak kunjung tibanya tanda 2 garis merah. Semua cobaan yang Allah berikan memang sesuai dengan kemampuan masing - masing tanpa melewati batas kemampuan hambanya. Hanya bagaimana kita menyikapinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments