Aqilla pergi kembali ke Kanada, ke negara di mana ia bekerja. Meninggalkan sosok Rayhan yang kelimpungan mencarinya.
Tidak seperti permintaan yang ditulis Aqilla dalam suratnya, Rayhan memilih untuk mencari wanita itu. Seluruh keluarganya pun turut mendukung agar dirinya mencari Aqilla. Bagaimanapun, Rayhan sudah melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan, ia ingin bertanggung jawab. Namun, wanitanya malah pergi begitu saja karena suatu alasan.
Beberapa hari berlalu, tidak ada informasi apa pun mengenai Aqilla. Bahkan, Alvin yang biasanya melakukan pekerjaan dengan sempurna juga tidak menemukan informasi setitik pun.
“Kau tidak menemukan apa pun, Alvin?” tanya Rayhan ketika Alvin menghadap padanya.
Alvin membungkuk hormat. “Maaf, Tuan Muda. Saya tidak bisa menemukan informasi apa pun mengenai Nona Aqilla.”
Rayhan yang sedang bersama Robert, Reva, dan Jessie di mansion pun terheran-heran. “Tidak ada sama sekali?” tanya Rayhan.
Alvin menggeleng. “Tidak, Tuan.”
“Kok, bisa?”
“Maaf, Tuan. Menurut perkiraan saya, karena Nona Aqilla adalah anggota kepolisian, maka identitas dan informasi mengenai dirinya disembunyikan oleh pemerintah. Maka dari itu, pihak kita kesulitan untuk mencari tahu,” jelas Alvin.
Mendengar hal itu, Rayhan terdiam. Logika dan hatinya membenarkan. Pekerjaan Aqilla memang berhubungan langsung dengan urusan negara. Pastinya pemerintah menutupi informasi soal wanita itu.
Rayhan menghela napas berat, tubuhnya mendadak lesu. “Lalu kita harus bagaimana?”
“Keputusannya ada pada Tuan. Apa Tuan masih ingin mencari Nona Aqilla? Jika iya, saya akan mengerahkan lebih banyak orang untuk mencari informasi. Jika tidak, saya akan memberhentikan pencarian.”
Lelaki yang menjabat sebagai Presdir RH Group itu terdiam seribu bahasa. Ia ingat isi surat Aqilla. Wanita itu tidak ingin ia mencari keberadaannya.
Apa aku turuti saja, ya, permintaannya?
Lima menit bergulat dengan pemikirannya sendiri, akhirnya lelaki itu menjawab, “Sudahi pencarian kalian. Jika kami memang berjodoh, aku yakin Allah akan mempertemukan kami lagi suatu hari nanti.”
...👑👑👑...
Satu bulan kemudian...
Calgary, Kanada
“Qilla! Cepetan, ih!” teriak Ely tak sabar.
Aqilla datang dengan tergopoh-gopoh. Ia melirik sinis sahabatnya yang sedang marah-marah itu. “Santai aja napa, sih. Lagian cuma check up bulanan doang,” balasnya.
Ely memutar bola matanya malas. “Qilla, kamu tau, kan, kalau di tempat kita bekerja itu ada peraturan khusus soal kesehatan? Kita disuruh check up setiap bulan biar kita bisa tau kesehatan kita sendiri,” omel Ely panjang lebar.
“Apalagi check up ini wajib dan kita harus lapor sama atasan. Kan, ribet urusannya nanti,” tambah gadis itu lagi.
Aqilla menghela napas jengah. “Terserah.”
Daripada mendengar ocehan Ely yang masih terus berlanjut, Aqilla memilih untuk pergi terlebih dahulu. Nggak peduli, deh, sama teriakan Ely yang terus memanggilinya.
Aqilla mualesss tenan!
...👑👑👑...
“What? I am pregnant?” pekik Aqilla terkejut. Ely yang berada di sebelahnya pun tak kalah kaget.
Heh! Aqilla belum menikah! Bagaimana bisa dia hamil?
Dokter dengan wajah bule di depan mereka mengangguk dengan senyuman. “Yes, Miss. You are two weeks pregnant. I congratulate you, Miss.”
Pikiran Aqilla mendadak kosong. Ucapan dokter selanjutnya sudah tidak ia dengarkan, hanya alunan yang melewati telinganya. Ely yang paham arti raut wajah sahabatnya berinisiatif untuk mendengarkan. Sepertinya ada sesuatu yang Aqilla sembunyikan.
Setelah mendapat saran mengenai tata cara menjaga kandungan yang masih muda, keduanya pergi dari rumah sakit. Berkali-kali Ely mencoba memanggil nama Aqilla, namun tidak ada sahutan. Wanita itu masih terlampau syok.
“Hei, Qill, are you okay?” tanya Ely prihatin.
Aqilla menoleh dengan gerakan lambat. “Aku hamil, El?” lirihnya seraya menyentuh perut.
Ely mengangguk, meyakinkan Aqilla bahwa semua ini nyata. “Kenapa kamu bisa hamil, Qill? Apa... terjadi sesuatu?”
Helaan napas berat terdengar. Mau tak mau, Aqilla bercerita mengenai malam itu, malamnya dengan Tuan Muda Refalino. Ia tidak menyangka bahwa karena kejadian satu malam itu akan membuatnya hamil.
“Kalau begitu, ayo kita ke Indonesia. Kita beritahu mereka kalau kamu sedang hamil anak Tuan Rayhan,” saran Ely. “Kamu yang paling tau, Qill, bagaimana hidup tanpa orang tua. Iya, kan?”
Aqilla termenung. Perkataan Ely ada benarnya. Ia tahu betul bagaimana rasanya berjuang untuk bertahan hidup tanpa hadirnya sosok keluarga. Huh.. Aqilla, kan, hanya anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.
“Baiklah, ayo.”
Aqilla dan Ely segera berkemas-kemas setibanya di rumah. Aqilla hanya membawa beberapa potong pakaian dan barang penting saja. Sepertinya, kedatangannya ke Indonesia kali ini akan lebih memakan waktu dari kunjungan sebelumnya.
“Udah siap?” tanya Ely.
Aqilla mengiyakan.
“Ayo kalo gitu.”
Keduanya berjalan beriringan keluar rumah. Pintu utama terbuka lebar dan sosok lelaki dengan sorot mata tajam berdiri di depan rumah mereka. Tatapan yang begitu mengintimidasi atmosfer.
Deg!
Aqilla meneguk salivanya susah payah. Kepalanya menunduk perlahan, tak sanggup menatap lebih lama sorot tajam itu.
“Aku tidak menyangka akan disambut dengan cara seperti ini olehmu, Lala...”
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments