Sepuluh tahun berlalu, Bima tumbuh dengan baik dibawah asuhan orang tua angkatnya. Dia menjadi pribadi yang ceria, supel, dan kerap membantu orang-orang di sekitar rumahnya. Perbedaan didikan antara keduanya, tak menjadikan Bima anak yang tak memiliki pendirian.
Dia bersekolah sama seperti anak-anak yang lainnya meskipun kerap mendapat cemoohan karena katanya wajah yang dia miliki sama sekali tak serupa dengan Ayah dan Ibunya.
Namun, itu semua tak membuat Bima menyurutkan langkah untuk tetap pergi ke sekolah. Dia anak yang kuat dan tahan banting, sesuai harapan kedua paruh baya itu saat menyematkan mana Bima padanya.
"Gimana sekolah lu, Tong? Bisa kagak lu belajarnya?" tanya Dewa saat menyambut kedatangan putranya. Bima yang selalu nampak cerah, datang menghadap sang Ayah. Meraih tangan yang masih kekar di masa tua itu, menciumnya dengan takzim sebelum menunjukan hasil ulangan harian matematika padanya.
"Gampil banget, Beh. Bima libas semuanya cuma lima menit," katanya bangga menunjukkan lima jarinya di depan wajah sang Ayah. Lalu, menepuk dada jumawa.
"Emang dah, anak gua nyang paling top!" Tina menyambar di ambang pintu, tersenyum saat Dewa menunjukkan hasil ulangan anak mereka padanya. Memegang sptula di tangan, ia berdiri berkacak pinggang sebelah tangannya.
"Nyak!" Bima mendekati Tina dan mencium tangannya, "Nyak masak apaan? Bima laper," lanjutnya sambil mengusap perut yang sejak tadi keroncongan.
"Ayo, masuk! Nyak udah masakin kesukaan Bima. Oreg tempe sayur asem," katanya sambil merangkul bahu anak itu dan masuk ke dalam rumah.
"Eh, lah, gua kagak diajak makan nih? Emang dasar lu, ya!" gerutu Dewa merasa tak diacuhkan oleh istri dan anaknya.
"Abang, 'kan, bisa jalan ndiri. Noh, gua udah bikinin sambel terasi kesukaan Abang. Nyok, makan!" Tina tersenyum manis dan hangat meskipun suaranya selalu tinggi bagai awan di langit.
Dewa tersenyum sumringah, sayur asem, tempe goreng, sambal terasi, lalap pete, masakan bini tercinta emang asoy! Ia terkekeh sendiri sambil membawa langkahnya masuk ke dalam rumah.
Harum aroma terasi yang khas, menyeruak menusuk indera pembau miliknya.
"Ugh! Mantap nih! Emang masakan bini gua yang nomor wahid. Kagak ada lagi yang bisa ngalahin," pujinya sebelum duduk di kursi miliknya dan membalik piring.
Dua centong nasi mendarat di atas piring miliknya, satu mangkok sayur asem, tempe goreng berikut sambalnya, ia dekatkan. Bima terkekeh melihat sang Ayah makan dengan lahapnya.
"Pelan-pelan napa, Bang! Entar keselek." Tina tersenyum, rasa bahagia hadir setiap kali melihat sang suami makan dengan lahap masakan yang dibuatnya. Dewa hanya tersenyum dengan mulutnya yang penuh.
Ia ikut duduk dan makan bersama. Kesederhanaan yang disuguhkan, memberikan kehangatan yang luar biasa pada hati ketiga orang itu. Tak perlu makanan mahal, tak perlu kursi makan yang mewah, cukup yang sederhana saja yang penting syukur tak tertinggal. Itulah qanaa'ah, selalu merasa cukup dengan rezeki yang diterima.
"Lu mau ikut Babeh, Tong?" Dewa bertanya usai mengisi penuh perutnya. Nasi sebakul habis sendirian. Ia sedang memakai sepatu kebanggaannya, sedangkan rokok di mulutnya tersulut.
"Ke lapak, Beh?" Antusias bertanya. Wajahnya nampak sumringah, segar, dan ceria. Di tangannya masih memegang gelas belum selesai dengan air minumnya sendiri.
"Iya, mau kagak?" Menjawab setelah menghisap rokok di tangannya.
"Mau banget, Beh. Bima izin Nyak dulu, ya!" Dewa mengangguk. Ia menunggu sambil menghabiskan sisa rokok di tangannya. Menatap arak-arakan awan di langit yang berjalan lambat layaknya kura-kura yang merangkak.
Bibirnya tersenyum mengingat hidup yang dia jalani sekarang lebih berwarna dan bermakna. Kehadiran Bima merubah perilaku hidupnya. Ia bahkan mulai menjalani ibadah lima waktu meskipun masih tertatih.
"Bang Dewa! Lagi santai?" tegur salah satu warga yang melintas di halaman rumahnya. Dewa menegakkan tubuh, menurunkan kaki yang ia letakkan di atas meja, menyambut kedatangan tetangga ke rumahnya.
"Eh ... ada apa, Bang? Tumben maen ke rumah?" Dewa menyambut uluran tangan tetangganya itu. Ia mempersilahkan duduk padanya untuk sekedar mengobrol.
"Ayo, Beh!" Bima datang setelah berpamitan pada Tina. Ia terdiam saat melihat Babehnya itu sedang mengobrol.
"Bentar, Tong. Babeh lagi ngobrol dulu, ya." Bima mengangguk, lantas kembali masuk ke dalam tidak menguping pembicaraan orang tua.
"Itu anak lu, Bang? Udah gede aja, cakep pisan. Kalo udah gede pasti rebutan gadis-gadis tuh, Bang," celetuk tetangga itu asal. Ia tertawa bersama Dewa yang juga tertawa merasa bangga, padahal Bima yang dipuji.
"Yah, tapi anak gua kudu dapat bini kaya Nyaknya. Mau menerima apa adanya dia, mau diajak hidup susah dan kagak pernah ngeluh," ucapnya terlihat bahagia di mata lelaki itu.
"Iya lah, Bang. Zaman sekarang susah nyari bini kaya Mpok Tina." Obrolan basa-basi memakan waktu tak penting.
"Begini, Bang. Saya mau minta tolong, Abang bisa kagak bersihin rumput di belakang rumah saya besok? Ntu rumput cepet tingginya, Bang. Kalo kagak besok juga kagak apa-apa, Bang. Sesempatnya aja," ucapnya mengutarakan maksud tujuannya datang.
Dewa berpikir sejenak, mengingat esok hari apa? Dia tak pernah mengingat-ingat tentang hari.
"Ya udah, gua usahain. Besok Bima juga libur, jadi bisa bantu-bantu." Setelah mengingat esok hari Minggu. Bima bisa membantunya membersihkan ladang tetangga itu.
"Ya udah, Bang. Makasih, ya. Saya pamit dulu. Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!"
Itulah pekerjaan Dewa sekarang, apa pun akan dia lakukan demi bisa menghidupi anak dan istrinya yang penting uang yang dihasilkan halal dimakan keluarganya. Tak perlu malu karena dia bukan maling. Tak perlu gengsi karena dia bukan siapa-siapa.
"Bima! Ayo, berangkat!" Bima datang tergopoh bersama Ibunya, Tina.
"Jangan ngajarin anak gua yang macam-macam, ya, Bang. Awas aja kalo Abang ngajarin yang kagak-kagak ama dia. Jangan mau lu, Tong, kalau Babeh lu ngajarin yang kagak bener. Lu kudu inget Nyak, ya." Tina memperingatkan keduanya sebelum berangkat.
"Elah, Tin. Dia juga anak gua. Kagak mungkin gua ngajarin nyang kagak bener. Dah lah, kita pamit. Assalamualaikum!" Tina meraih tangan suaminya, dan menciumnya dengan takzim. Bergantian dengan Bima yang menyalami tangannya.
"Assalamualaikum, Nyak!" ucapnya memberikan senyum manis sebelum menyusul sang Ayah.
"Wa'alaikumussalaam. Ati-ati!" Bibir Tina membentuk senyuman. Meskipun tak pernah terucap secara lisan, tapi semua tindak tanduknya menyatakan keikhlasan hatinya menjalani peran sebagai istri Dewa yang bukan siapa-siapa, juga Ibu dari Bima yang bukan anak kandungnya.
Ia menutup pintu, melanjutkan pekerjaannya membuat sapu lidi. Sapu-sapu itu akan dijual Bima dan Dewa di pasar. Lumayan, untuk tambahan uang jajan Bima.
Sementara anak dan suaminya baru saja tiba di lapak usaha mereka. Sebuah lahan parkir di pasar. Dewa menginvestasikan semua uangnya untuk membuka lahan parkir tersebut. Dari sanalah penghasilan utamanya didapat.
Di usianya yang masih sangat belia, Bima sudah mampu merapikan sepeda-sepeda motor di lahan parkiran tersebut. Ada sekitar lima orang yang bertugas secara bergantian. Hasil dari pungutan tersebut akan dibagi bersama mereka.
"Tong, lu mau ke mana?" teriak Dewa memanggil anaknya yang berlari entah karena sebab apa.
"Bentar, Beh!" Bima terus berlari ke luar parkiran, tepatnya ke arah pintu pasar.
"Lu kagak apa-apa, Neng?" tanyanya sembari membantu membangunkan seorang gadis kecil yang terjatuh dan menangis.
Ia mendongak, air matanya meleleh membanjiri pipi. Pandang keduanya beradu untuk pertama kalinya.
"Cantik bener!"
"Kenapa aku merasa tak asing dengan Kakak ini?"
Keduanya saling membatin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Daliffa
mampir Thor, lnjut 💪💪💪🙏
2022-10-09
1
Windy Lyana
suka baca nya gak kebanyakan kata pengantar atau penjelasan.jadi dialog nya enak gak bertele" .
2022-09-15
1
lidia
gmn kbr ayra sm razka dan aulia y thor 🤔🤔🤔..?? kangen jga sm mreka..
ap lgi adik kmbar dr baim dr ayah razka..
2022-02-28
1