Bima
"Dari mana lu dapat bayi? Maen ambil aja anak orang lu. Awas entar dikata maling baru nyaho lu," ketus seorang laki-laki paruh baya bertubuh tinggi besar dengan tato naga di tangannya.
"Gua nemu ni bayi di pinggir sawah, Bang. Kesian, Bang, dibawa-bawa sama anjing tadi. Gua kira boneka, eh ... dia nangis. Ya udah, gua sambit, deh, tuh binatang biar bisa ambil ni bayi," terangnya sembari menimang bayi di gendongannya. Ia tersenyum, sesekali mengajak bicara bayi itu yang terlihat nyaman di pelukannya.
Laki-laki bertato tadi melengos, duduk di kursi rotan sambil membuka sepatu kulit usang yang setia melekat di kakinya. Ia melirik istrinya, wanita itu terlihat bahagia menimang bayi entah siapa orang tuanya. Ia mengangkat kedua kaki, menumpuknya di atas meja mencari kenyamanannya.
Laki-laki itu berjengit tatkala sang istri cepat-cepat mendatanginya.
"Lihat, deh, Bang. Bayinya cakep banget, hidungnya mancung persis kaya gua. Emang dah, ini udah rezeki kita. Bertahun-tahun kita pengen punya anak, sekarang Allah kasih mana ganteng pisan," katanya sambil menunjukkan bayi laki-laki di gendongan pada suaminya.
Kepala laki-laki itu sedikit terangkat, penasaran juga dia ingin melihat bagaimana rupa bayi yang ditemukan istrinya itu.
"Ni bayi laki? Kagak salah lu?" Jari telunjuknya mengarah pada wajah di bayi yang nampak tampan sekaligus cantik jika dilihat sekilas saja.
"La, iya, Bang. Tadi, 'kan, gua mandiin jadi tahu ... Eh, Bang, Abang beliin salep bayi, gih. Kesian kulitnya pada memar kayanya ni bayi jatoh dari atas." Memerintah tak tahu suami lelah sepulang bekerja.
Ia berdecih, memalingkan wajah dari sang istri yang melayangkan tatapan memohon padanya. "Elah, Tin, pake aja salep nyang di rumah napa? Kagak bakal kenapa-napa juga ntu bayi," ucapnya enteng. Ia menarik sebatang rokok dari tempatnya, membakarnya, dan mulai bersantai ria menikmati sore hari yang damai.
Wanita paruh baya itu mendengus, wajahnya sudah tak sedap dipandang. Hanya saja, sang suami tak acuh dan berpaling darinya.
"ABANG! Ini bayi, Bang. Bukan Abang, kulitnya masih sensitif entar kalau kenapa-napa Abang mau tanggung jawab bawa dia ke rumah sakit? Kagak, 'kan?" cecarnya dengan nada tinggi melengking.
Ia kelabakan saat bayi di gendongannya ikut menjerit karena terkejut mendengar suara tinggi sang Ibu angkat.
"Cup-cup ... jangan nangis, Tong! Maafin Nyak, ya. Duh ... gara-gara Abang, sih! Jadi nangis, 'kan." Masih saja menyalahkan suaminya, padahal suara tingginya yang membuat bayi itu menangis.
Laki-laki itu menutup telinganya yang berdenging hebat. Suara istrinya yang tepat di telinga, membuat kepalanya ikut merasa pening.
"Duh, bisa kagak lu ngomong pelan-pelan? Pengang kuping gua! Tuh, dia juga ikutan nangis, 'kan!" sungutnya sambil mengusap-usap telinga yang masih memperdengarkan bunyi ribuan tawon menyambar itu.
"Lagian Abang, suruh beli salep bayi aja kagak mau. Duh, Bang, kagak mau berenti nih. Gimana, Bang?" Bingung sendiri karena tangis bayi itu tak juga mereda.
Laki-laki itu pun ikut panik, ia mematikan rokok yang baru saja disulutnya. Bangkit dari kursi kebesarannya dan pergi begitu saja.
"Eh, Bang! Mau pegi ke mana?" teriaknya lagi melambai-lambaikan tangannya memanggil sang suami.
Laki-laki itu mendengus sebelum berbalik. Ia berkacak pinggang sambil menatap bingung pada istrinya itu.
"Lah, tadi lu nyuruh gua buat beli salep. Lu gimana, sih?" katanya sedikit kesal, tapi raut cemas nampak jelas di wajahnya.
Tina, istrinya itu tersenyum malu. Ia lantas mengibaskan tangan mengusir sang suami agar secepatnya pergi membeli salep.
"Jangan lupa susu bayi sekalian, Bang! Asi gua kagak keluar!" Berteriak lagi sambil meletakkan sebelah tangannya di pinggir mulut. Laki-laki itu hanya mengibaskan tangan mengerti, tak perlu diberitahu lagi karena dia sendiri pun amat mendambakan seorang anak.
Mereka sudah sepuluh tahun lebih menikah, tapi tak kunjung dikaruniai anak. Ini karena kebiasaan buruk sang suami yang tak dapat menghentikan rasa candunya terdapat minuman beralkohol. Beruntung, Tina begitu sabar hidup dengannya. Menerima segala kekurangan suaminya walaupun hidup hanya pas-pasan.
Karena sejatinya, menikah itu bukanlah tentang mencari yang sempurna, tapi melengkapi kekurangan pasangan agar menjadi sempurna.
Dewa, nama laki-laki itu, dia adalah seorang yang romantis, penyayang, perhatian, sekalipun pekerjaannya hanyalah seorang preman. Dia juga kerap membantu orang-orang yang kesulitan di pasar tempatnya mengais rezeki.
Tina tersenyum, dia yang hanya seorang yatim piatu pada saat menikah dengan Dewa itu, merasa sempurna hidupnya setelah berumahtangga sekian lama walaupun kadang merasa kesepian karena tak ada gelak tawa dari anak-anak. Akan tetapi, Dewa selalu punya cara untuk menghangatkan hatinya yang kesepian.
Mereka tinggal di sebuah rumah semi permanen yang sederhana. Tidak besar, tidak pula kecil. Ada sepasang kursi rotan di teras rumah mereka, tempat bersantai menikmati waktu pagi dan sore hari.
Tak banyak perabot di dalam rumahnya bahkan sofa saja tidak ada. Hanya sebuah tikar tempat mereka saling memijit dan saling bersenda gurau melepas lelah.
Bunyi sepeda motor khas milik suaminya berderu di halaman. Tina berhambur keluar, bayi di gendongannya sudah lebih tenang dari sebelumnya.
"Dapet, Bang!" sambarnya segera. Tak sabar ingin membuatkan bayi itu susu karena sejak pagi, ia hanya memberinya air gula.
Dewa mengangkat kantong kresek besar di tangannya, dengan senyum tersemat di bibir ia mendekati sang istri.
"Banyak bener, Bang. Apa aja yang Abang beli?" tanyanya sambil menerima kantong kresek dari tangan suaminya. Susu, salep, berikut pakaian untuk bayi itu semua ada dalam kresek yang dibawa Dewa. Sepertinya laki-laki itu menghabiskan semua uang yang dia dapat hari itu.
"Semua keperluannya Bima," katanya sambil melepas sepatu dan duduk di atas tikar bersama sang istri yang juga duduk di sampingnya.
"Bima?" ulangnya saat mendengar sebuah nama disebut.
"Ye, gua kasih nama Bima aja dia. Biar kuat kaya si Bima dan kaya Babehnya ini," katanya bangga mulai bermain dengan bayi Bima yang sudah dibaringkan di atas tikar beralaskan kain panjang saja.
"Bagus, gua suka." Diciumnya dahi bayi itu. Ternyata seperti ini rasanya menjadi seorang Ibu. Selalu bahagia apa pun yang menyangkut tentang anaknya. Tina mengusap matanya yang tiba-tiba berair karena terharu.
"Napa lu nangis, Dek?" Disapunya kepala sang istri dengan lembut. Tina berhambur memeluk suaminya, menangis haru dan bahagia.
"Gua bahagia, Bang. Bahagia banget. Terima kasih selama ini Abang selalu mencintai Tina. Abang selalu nurutin apa yang Tina mau, kagak pernah ngeluh sama sikap manjanya Tina. Terima kasih, Abang. Tina sayang Abang." Ia mengeratkan pelukan.
Dewa menciumi pucuk kepalanya bertubi-tubi. Betapa ia pun mencintainya. Tak ingin kehilangan sosok istri yang setia menemaninya dalam suka maupun duka.
"Abang juga sayang Adek. Maafin Abang kalo selama ini belum bisa bikin Adek bahagia. Terima kasih, Adek udah setia nemenin Abang sampe sekarang. Abang sayang Adek." Ia pun ikut mengeratkan pelukannya. Menciumi kepala sang istri yang amat ia cintai itu.
"Mulai sekarang, Abang mau cari kerjaan yang baek karena udah ada Bima. Abang kagak mau kasih makan dia dari uang yang kagak jelas. Biar jadi 'orang' gedenya," tuturnya lagi bersungguh-sungguh.
Tina mengangguk dalam pelukan. Ia tersenyum, bersyukur jika suaminya itu berubah. Kehadiran Bima benar-benar sebuah anugerah dari Yang Kuasa untuk mereka. Sekaligus membawa hidayah untuk suaminya.
Suara Bima menghentikan keharuan sepasang suami istri itu. Mereka sama-sama menatap Bima sambil tersenyum penuh syukur. Mulai hari ini Dewa berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi pribadi yang lebih baik, dan jika bisa ia ingin menghentikan candunya terhadap alkohol.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Bambang Ferdiansyah
mantap kak. lanjut
2022-06-03
1
Sartika
aku mampir tor.. seruuu kayaknya
2022-03-23
1
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
tp dari sinopsis si babeh ntar pergi ke kota itu knp ya ada apaya
2022-03-23
2