Pagi itu,Maya tampak cantik dalam balutan seragam putih abu-abu,rambutnya yang panjang dikepang dua seperti biasanya. Bola matanya yang bulat berbinar-binar menatap kehadiran Ryan di depan pintu rumahnya. Cowok itu tampak sangat tampan mengenakan seragam yang sama dengannya.
“Kita berangkat sekarang yuk!”ajak Ryan sambil menatap gadis pujaannya.
Bagi si ganteng, Maya adalah sosok perempuan sederhana tapi penuh pesona dan kecantikan yang keluar dari dalamnya begitu mempesona. Bahkan ia mengabaikan kondisi kaki gadis itu yang menurut banyak orang berjalan timpang karena dua kakinya tidak sama panjang. Baginya Maya adalah gadis yang sabar dan pengertian tempat ia bertanya segala hal mengenai pelajaran. Sebaliknya bagi Maya, Ryan adalah sosok cowok sempurna secara fisik maupun mental. Sikapnya yang acuh dan sedikit bandel namun di balik itu banyak nilai kebajikan dalam diri cowok itu yang tidak ia temukan dari teman-teman lainnya.
“Ma..Maya pamit dulu,”seru Maya sambil mencium punggung tangan sang mama yang masih mengenakan daster batik motif parang barong.
“Permisi dulu,Tan.”
“Hati-hati di jalan ya!”
Mama berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiring kepergian sang putri hingga mobil Ryan hilang dari pandangan.
Mereka tiba di sekolah, pintu mobil terbuka ke atas ala scissor’s door. Beberapa siswa di sekolah berdecak kagum.
“Wow…Siapa sih itu?”seorang siswa kelas 10 yang ruang kelasnya terletak di bagian paling depan.
“Siswa baru…Gantengnya ckck.”
Keduanya berjalan di koridor sekolah,mengundang beberapa mata siswa laki-laki turut memandang, ada yang menatap dengan sinis, ada pula yang menertawakan pasangan itu.
“Aku kok jadi risih,”bisik Maya di telinga Ryan.
“Udah cuekin aja.”
Akhirnya sampailah mereka di depan kelas. Beberapa teman memandang mereka dengan wajah gembira, tak kurang yang memperlihatkan perasaan tak suka.
“Gue kira lo udah mati!”sindir Sandra ketika Maya lewat di depan mejanya.
Alisha tampak berdiri dengan mulut menganga,kemudian menatap sinis ketika keduanya menuju kursinya masing-masing. Alisha and the gang langsung berkumpul dan berbisik-bisik menertawakan pasangan itu. Ketiganya keluar kelas untuk berbaris sebelum masuk kelas.
“Dasar cewek pincang! Caper banget lo deket-deket Ryan macem jablay!”bisik cewek songong itu ketika melewati meja Maya.
Seketika mata gadis cantik berkepang dua terbelalak karena kaget,jantungnya terkesiap mendengar olok-olok kasar dari Alisha yang sangat membenci dirinya,terlebih sejak kehadiran Ryan di sekolah ini.
Ika mendekati Maya dan mengajaknya keluar kelas.
“Selamat datang kembali ke kelas,May! Kalau butuh catatan, boleh pinjam aku ya,”pesan Ika sambil tersenyum ramah.
“Terima kasih,Ka. Kira-kira aku bakal kewalahan gak ya?”
“Optimis aja,May. Kau murid paling piawai di kelas ini. Pasti bisa.”
Pak Tarno sangat gembira melihat kehadiran kembali Maya di kelas mereka. Sang wali kelas mengucapkan selamat pada Maya dan memberikan sederetan ulangan susulan yang harus diambil gadis itu untuk minggu depan. Maya mengambil selembar kertas dari meja guru dan kembali ke mejanya.
“Huuu..pincang!”teriakan lirih Alisha dari meja paling belakang.
Maya mendengarnya walaupun sangat lirih. Ryan memperhatikan kelakuan Alisha dengan sorot mata kurang suka,kemudian memberi kode dengan jarinya agar Maya tidak menghiraukan bully-an gadis songong itu. Maya menahan air matanya jatuh, dan membiarkan jari jemarinya menulis di atas kertas. Sebuah kata yang mampu membuat dirinya drop,”pincang”. Tiada pernah gadis itu mau menerima takdirnya sebagai si pincang, namun takdir berkata lain. Andai hidup boleh memilih pasti Maya ingin terlahir dari keluarga utuh yang kaya raya,punya rumah mewah,punya mobil mewah dan punya kaki yang dapat berjalan normal.
Guru mata pelajaran pertama pun masuk ke kelas saat Maya telah mengembalikan lembaran kertas itu pada Pak Tarno. Mata pelajaran Kimia hari ini adalah praktikum di laboratorium. Naasnya, dalam kelompok kerja, sang guru memasukkan Maya dalam kelompok Alisha and the gang. Ryan memperhatikan dari jauh dan perasaannya yang peka sebagai keturunan separuh vampire membuatnya melihat segala sesuatu hingga hal detail ketika guru mengharuskan mereka menuangkan zat-zat kimia dalam list untuk disatukan dalam tabung reaksi. Tangan Alisha dengan sengaja menyenggol asam sulphate agar jatuh tepat di pangkuan Maya dengan tujuan melukai kulit Maya agar melepuh dan rusak.
“Bbrrp…”dalam hitungan detik Ryan tiba di depan meja dan berhasil menahan botol cairan itu agar tidak terjatuh.
“What? Kenapa lu tiba-tiba ada di sini?”seru Alisha dengan mata melotot.
Maya yang tidak menyadari rencana buruk Alisha hanya menatap keduanya dengan pandangan aneh dan penuh tanda tanya. Gadis itu sadar ada sesuatu yang aneh dan luar biasa dalam diri cowok keren ini. Ingatannya akan bercak darah di t shirt putih saat ia menjemputnya juga masih terbayang-bayang,namun gadis itu tidak berani menanyakannya. Dan baru saja cowok itu membuat gerakan sangat cepat melebihi kecepatan kedipan mata manusia, Maya pun hanya menyimpannya dalam memori otaknya. Baginya Ryan adalah laki-laki baik yang bertanggung-jawab betapapun anehnya dia,gadis itu tetap tak mempedulikannya.
“Gue ingetin sekali lagi!Kalau lu sampai melukai Maya,urusan lo sama gue!”ancam Ryan di telinga Alisha yang membuat gadis songong itu ketakutan dan mengurungkan niatnya.
Guru kimia telah kembali ke mejanya dan menyuruh semua perwakilan kelompok membuat laporan percobaan dan mengumpulkannya sebelum bel istirahat berbunyi. Maya memperhatikan semua hasil campuran di tabung reaksi dan menuliskan laporan pada selembar kertas yang berisi nama-nama anggota kelompok mereka.
Pulang sekolah, Ryan menunggu Maya yang sedang rapat OSIS. Instingnya sebagai vampire mengatakan ada hal kurang beres dengan si gadis songong. Terlebih semalam Maya mengatakan ada suara yang mirip Alisha saat ia disekap dua laki-laki bertopeng yang sama sekali belum ia kenal. Diam-diam cowok itu memperhatikan dan mencatat plat nomor mobil Alisha yang konon berwarna putih dari satpam yang berjaga tiap hari.
“Ryan..Masih nungguin?”sebuah suara lembut milik Maya mengagetkan cowok keren itu.
“May..udah beres?’
“Maafin Maya ya..Bikin kamu nungguin lama.”
“Gak apa-apa. Yuk masuk,”ajak Ryan mengajak masuk Maya ke dalam mobilnya yang terbuka bagaikan kupu-kupu.
Maya meletakkan tasnya di jok belakang dan memasang seat belt. Ryan bersiap melajukan mobilnya keluar halaman sekolah.
“Kita makan bakso di pertokoan yuk!”
“Aku belum pamit sama mama.”
“Nanti aku pinjamin ponsel buat kamu telpon mama.”
“Memang kita mau ngapain?”
“Gak ngapa-ngapainlah. Cuma mau beliin kau ponsel baru.”
“Ah yang bener?”
Maya membelalakkan matanya hingga bola matanya bulat sempurna, wajahnya jadi makin imut dan menggemaskan. Ryan tertawa dibuatnya.
“Beneran. Tapi janji setelah itu kita mampir ke tempat terakhir kamu disekap.”
“Buat apa?Toh perkaranya udah di tangan polisi.”
“Ikutin aku,May. Ini demi kebaikanmu,”sahut Ryan sambil menggenggam tangan kanan Maya dengan lembut.
Bakso campur di pertokoan itu konon sudah berdiri selama dua abad, rasanya sangat lezat dan membuat Ryan ketagihan sejak pindah ke sekolah itu. Bahannya tanpa pengawet dan tanpa micin, hand made buatan sang pemilik warung.
“Enak kan?”tanya Ryan yang masih menambah satu mangkuk bakso lagi.
Maya hanya mengangguk sambil meneguk es jeruk yang ada di samping mangkuk bakso.
“Nah setelah ini kamu boleh pilih ponsel apa aja yang kamu suka.”
Keduanya berjalan ke toko yang letaknya hanya sepuluh langkah dari warung bakso.
“Ko..Mau cari smart handphone yang pakai tiga kamera.Paling bagus ya..”pinta Ryan sambil duduk di depan etalase toko. Maya mengambil kursi di sebelah Ryan.
“Tuh..Kamu pilih aja. Anggap hadiah dari aku. Upah jadi guru,”kata Ryan sambil tergelak.
Maya memilih ponsel yang sederhana, baginya itu sudah lebih dari cukup asalkan dia bisa browsing internet dan bisa menghubungi sang mama. Cowok itu membayarnya dengan menggesek kartu debitnya.
“Nah sekarang kamu tunjukin tempat kamu terakhir malam itu.”
Maya memberikan petunjuk dan Ryan memasang google map.
Dua puluh lima menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat yang agak sepi dan kanan kirinya ditumbuhi banyak pepohonan.
“Kira-kira di sini posisi aku waktu itu,”kata Maya sambil menunjuk sebuah titik di atas tanah padat yang berada sedikit di tikungan. Ryan merekamnya dalam memori seorang vampire, melihat sampai hal detail yang ada dalam struktur tanah dan pepohonan sekitarnya. Instingnya mengatakan ada sesuatu milik Maya yang tertinggal di sini tapi ia tak bisa melakukan di hadapan Maya dan membuka jati dirinya secara mendadak.
“Cukup,May. Yuk aku antar kamu pulang. Mama pasti udah nungguin.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments