Ryan menyalakan lampu tanda darurat dan memarkirkan mobilnya di tepi jalan raya.
“Ada apa,Nak?”tanya Tante Wulan sambil memiringkan tubuhnya menghadap Ryan yang melongokkan kepala ke luar jendela mobil.
“Sepertinya menggilas sesuatu,Tan. Mudah-mudahan cuma batu,”sahutnya sambil menutup kembali daun jendela dan membuka pintu mobil.
Si ganteng berjongkok dan menundukkan kepala untuk meneliti keempat ban mobilnya. Di bagian kanan depan tampak seekor kucing warna kelabu belang putih tergilas dengan kepala berdarah, seketika bau darah itu membangkitkan semangat baru baginya. Ryan ingin sekali meminum darahnya, namun niat itu diurungkannya takut tiba-tiba Tante Wulan memergokinya dan niatnya semula bertemu Maya hancur berantakan.
“Ada apa,Nak?”tanya perempuan paruh baya yang kini berada di belakangnya.
“Kucing tergilas,Tan.”
“Waduh! Bahaya kita bisa kena sial. Cepat kau kuburkan pakai kain.”
“Saya gak punya kain,Tan. Cuma ada kain perban segulung di kotak P3K di dalam laci dashboard.”
Tante Wulan tampak kembali ke kursinya dan mengeluarkan semua isi tasnya satu-persatu. Ternyata masih ada dua pasang sarung tangan plastik dan sepotong kain perca warna putih yang merupakan sisa bahan ketika membuat kemeja putih untuk seragam Maya,putri tunggalnya. Tante Wulan mengerjakan sendiri semua seragam sang putri sejak dia masuk sekolah untuk menghemat pengeluaran.
“Biar tante yang ambil jenazah kucingnya,Nak?”
“Gausah,Tan. Biar Ryan aja sekalian nguburin deket sini. Tante di mobil aja deh. Hari udah malam.Gak bagus buat wanita keluar malam.”
Tante Wulan menyodorkan sarung tangan plastik dan kain perca warna putih kepada Ryan. Cowok keren itu memasangkan sarung tangan plastik ke tangannya yang dipenuhi urat-urat tangan yang menonjolkan kemaskulinannya, lalu menarik tubuh kucing yang terlindas ban.
“Ups..”bagian kaki belakangnya terlepas, putus dan tulangnya benar-benar hancur.
Ryan merebahkan tubuh kucing di atas kain putih dan meletakkan sisa potongan kaki sejajar dengan tubuh kucing lalu membungkusnya.
Jazad kucing kini berada dalam gendongannya.
“Tante.. Saya ijin cari tanah kosong dulu buat kuburin kucing.”
“Tante antar?Udah gelap takut ada apa-apa sama kamu.”
“Oh..Gak perlu,Tan. Ryan bisa sendiri kok.”
“Baiklah. Hati-hati ya!”
Pesan perempuan itu disambutnya dengan senyuman penuh arti.
Ryan tampak sangat tampan dengan t shirt warna putih dan jeans biru tua yang dipadukan sneakers warna putih. Di hadapan Tante Wulan, sosok Ryan telah memberikan kesan seorang laki-laki muda yang punya tanggung jawab dan lembut hati dengan peduli untuk menguburkan jazad kucing yang telah ditabraknya secara tak sengaja. Dalam hitungan detik,cowok sempurna itu telah menghilang dari pandangan. Ia berlari melebihi kecepatan cahaya menuju sebuah hamparan tanah yang luas yang banyak ditumbuhi pepohonan dan rerumputan. Udara dingin merasuk menembus kaus katun yang membalut tubuhnya yang bidang. Rasa dingin tak dihiraukan meskipun Ryan tak mengenakan sweater. Dicarinya tanah kosong dan membuat lubang dua kali besarnya dari jazad kucing dengan kedalaman sekitar 30 centimeter. Ada rasa sangat ingin menikmati darah segar dari kepala dan kaki kucing yang terluka dan masih mengucurkan darah segar. Cowok itu menengok ke kiri dan ke kanan. Setelah dipastikan tak ada seorang pun di sekelilingnya, ia lalu menghisap darah yang keluar dari kepala dan kaki kucing.
“Ah…”anak laki-laki yang rupawan itu memejamkan mata, sejuta kenikmatan yang membuat energinya berlipat ganda dapat meminum darah hewan yang sangat langka dapat ia nikmati selain daripada darah sapi yang ia minum tiap purnama.
Ryan buru-buru membungkusnya kembali dengan kain putih dan memasukkan ke dalam lubang kubur, menutupnya kembali dengan tanah dan menaburkan dengan bunga Waru yang tumbuh di sekitar sana. Kemudian ia membuang sarung tangan plastik yang telah kotor ke dalam bekas kaleng cat yang dibuang di tempat pembuangan sampah dekat sana.
Dalam hitungan detik pula,Ryan telah kembali berada di depan pintu mobil.
“Sudah beres,Nak?”
“Sudah,Tan. Kita langsung ke polsek?”
Tante Wulan mengangguk, sorot matanya tajam memperhatikan bagian dada Ryan yang ternoda darah.
“Nak..Itu ada bekas darah.”
Ryan kaget dan melihat ke arah dada, gerakannya menjadi salah tingkah,”Eh..Ini waktu gendong kucing tadi,Tan.”
“Yayaya…Yaudah kita jalan lagi. Hati-hati jangan nabrak binatang lagi.”
Ryan mengiyakan dan memasang seat belt serta memacu mobilnya agar cepat sampai ke tujuan.
Di kantor polisi, Mas Budi tampak mondar mandir di halaman depan sambil menunggu orang tua Maya datang menjemput.
“Mas…Laper,”rengek Wati pada suaminya.
“Oh..bapak sama Maya laper juga?”
Pak tua hanya mengangguk sementara Maya hanya menjawab,”Tak usah repot-repot,Mas. Masih kenyang.”
Seorang penjual nasi goreng lewat, hanya dialah satu-satunya pedagang keliling yang malam itu masih berkeliaran.
“Bang…Nasi gorengnya empat piring,”cegat Mas Budi sambil berlari ke arah luar polsek.
“Makan sini,Mas?”tanyanya sambil menepikan gerobaknya.
“Iyalah. Jangan pedes dua . Yang dua piring pedes banget,”pinta Mas Budi setelah mendata permintaan tingkat kepedasan nasi goreng masing-masing.
“Jual minumannya,Bang?”tanya Wati.
Penjual nasi goreng mengeluarkan air mineral dan teh botol dari bagian bawah gerobaknya yang biasa digunakan untuk menyimpan piring, sendok dan sebagainya.
Keempatnya duduk berderet di pelataran kantor polisi yang malam itu sudah tampak senyap. Hanya beberapa polisi yang masih bertugas, ada dua orang berjaga di depan dan menghabiskan waktunya dengan bermain catur.
“Enak,Pak?”tanya Wati kepada sang ayah.
“Lumayan.Namanya lagi laper semua pasti enak,”sahut sang bapak sambil tertawa, memperlihatkan deretan gigi depannya yang mulai tanggal.
Maya menghabiskan sisa nasi gorengnya yang terasa pedas dan membuat keningnya berkeringat. Gadis itu menyeka keringatnya dengan punggung tangan,hidungnya tampak kemerahan menahan rasa pedas, dan matanya sedikit berair.
“Mbak Maya gak biasa makan pedas ya? Mas Budi kenapa pesen pedes. Kasian tuh!”celetuk Wati menegur suaminya.
“Maaf. Saya pikir perempuan semua suka pedes. Abis mbaknya ditanya jawabnya ntar ntar mulu,” sahut Mas Budi membela diri.
“Gak apa-apa,Mas. Saya udah bersyukur sekali ditolong keluarga mas dan mbak Wati, juga Pak Suminta.”
“Sesama manusia kan memang harus saling menolong. Jangan sungkan-sungkan,”kata Wati sambil merangkul pundak Maya.
Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil memasuki pekarangan kantor kepolisian, sorot lampu terasa menyilaukan mata. Keempat orang itu telah menyelesaikan makan malamnya dan beranjak masuk ke dalam ruangan kembali.
“Brek..”suara pintu mobil ditutup.
Maya menoleh ke arah datangnya suara, dilihatnya seorang wanita paruh baya berambut sebahu turun dari mobil. Ia mengenakan rok terusan dengan motif bunga-bunga warna salem.
“Mama…”teriak gadis itu dengan wajah berbinar-binar.
Mama memeluknya dengan erat dan menciumi kepala putri tunggalnya.
“Kamu sehat-sehat aja,Nak?”tanya Tante Wulan dengan mata berkaca-kaca karena haru.
Perempuan paruh baya ini sempat mengira Maya meninggal dunia karena hampir satu minggu tak ada kabar berita hingga matanya sembab dan hidungnya merah berhari-hari.
“Coba kau liat siapa yang bersama mama?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments